Kamis, 02 Januari 2014

Menabur Benih Gandum Sembari Berdzikir

Di sebuah desa, di dekat kota Thus tinggallah seorang hamba Allah yang saleh. Imam Ghazali yang telah kembali ke kota Thus pun segera mengunjunginya. Menyaksikan kedatangan Imam Ghazali, orang saleh yang sedang menabur benih gandum di kebunnya tersebut, serta merta menyambutnya. Salah seorang teman orang saleh itu bermaksud menggantikannya menabur benih gandum sementara dia menemui Imam Ghazali, namun orang saleh tersebut menolak permintaannya.
Dalam hati, Imam Ghazali bertanya-tanya, mengapa ia tidak mau digantikan? Beberapa waktu kemudian beliau pun menanyakan alasan orang saleh itu tidak membiarkan temannya menggantikannya menabur benih gandum tersebut. Orang saleh itu pun menjawab, “Aku selalu menabur benih gandum ini dengan hati yang khusyuk dan lisan yang berdzikir kepada Allah. Aku berharap agar setiap orang yang memanen gandum ini nantinya memperoleh keberkahan. Karena itulah aku tidak menyerahkan benih ini kepada seseorang yang akan menaburnya dengan hati yang tidak khusyuk dan lisan yang tidak berdzikir kepada Allah.
Orang-orang saleh terdahulu selalu menanamkan niat yang baik dalam setiap gerak dan diam mereka. Karena itulah, kehidupan orang-orang saleh terdahulu diliputi keberkahan. Lain halnya dengan kita yang hidup di zaman sekarang. Saat ini, jangankan ketika menanam benih, dalam shalat pun kita sering lupa dan tidak mengingat Allah. Yang teringat adalah dunia; anak, pasangan hidup, pekerjaan, dan berbagai kegiatan duniawi yang mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Alangkah indahnya jika kita dapat mencontoh akhlak orang saleh dalam kisah di atas. Bagaimana kiranya jika ketika menanak nasi, memasak di dapur, menyuapi anak, dan sejenisnya, semua itu dilakukan sembari berdzikir kepada Allah….?
« Ta’riful Ahya Bifadhailil Ihya, Darul Fikr, Beirut, Juz.I, Hal.172


Membangun Surga Di Muka Bumi

Dalam kisah jaman dahulu kala ternyata di bumi ini pernah bertengger 4 penguasa penuh, yg 2 orang muslim yakni Nabi Sulaiman as bin Dawud as dan Iskandar Dzulqornain, 2 orang lagi kafir yakni Namrudz bin Kan’an bin Nuh as, dan Syidad (bin ‘ Ad bin ‘Aush bin Irom bin Sam bin Nuh as).
Konon Syidad ini ukuran tubuhnya lebih besar dari rata-rata manusia biasa, usianya mencapai 1000 tahun, memiliki 1000 orang istri dan 4000 anak. Dengan kekuasaan penuh di muka bumi dia bisa melakukan apa saja yang diinginkan. Kabar tentang sifat-sifat surga yang dia baca dari kitab-kitab para nabi tergugah hatinya untuk membuat surga di muka bumi.
Mulailah dia mengumpulkan menteri-menterinya yang berjumlah 1000 orang, para pembesar, para ahli dan arsitek, dikerahkan seluruh manusia untuk mencari, menggali dan mengumpulkan seluruh benda-benda barang tambang berharga, seperti emas, perak intan, zamrud, zabarjud, marjan dan mutiara. Marmer terbaik yang ada di bumi ini diangkut, juga tak ketinggalan bahan-bahan  parfum dan misik pun dikumpulkan.
Setelah terkumpul dalam jumlah besar dan terus sambil mencari, Syidad mendelegasikan pakar-pakar geografi dan arsitek untuk menelusuri lokasi-lokasi di penjuru bumi. Mereka mendapati sebuah kawasan luas ada dataran rendah dan tinggi yang banyak sumber airnya.
Kawasan terindah masa itu adalah daerah Yaman. Mereka mengambil kawasan 80 km x 80 km dan dibuatnya benteng seputarnya dengan marmer yang sangat tinggi dan di atasnya dibuat dinding bata dari emas. Setelah selesai bangunan benteng tersebut mulailah membangun istana inti dengan bahan mas bertatahkan batu-batu permata yang berkilauan, di sekeliling istana dibangun bungalau2 untuk istri-istri dan anak-anak mereka, serta kawasan taman rekreasi yang sangat indah dan berbagai bangunan lainnya
Di sekitar istana dibangunlah sungai-sungai yang bertebing batu-batu mulia dan pohon-pohon berdaun emas berbatang zamrud dan zabarjud. Negeri indah ini selesai pembangunannya dalam waktu 300 tahun, Imam Wahab bin Munbih mengatakan kota indah seperti ini tak akan dijumpai lagi di muka bumi,
Firman Allah :” Bangsa Irom yang memiliki bangunan-bangunan megah yang tak dibuat di negeri-negeri lainnya”.
Setelah usai sempurna pembangunan tersebut raja Syidad memerintahkan untuk memboyong kekayaannya ke istana baru tersebut dan mengusungnya memakan waktu 10 tahun. Mulailah Syidad boyong menuju istana baru dengan keluarga besarnya serta para menteri dan pembesar kerajaan. Namun apa yg terjadi ?
Hanya kehendak Allahlah yang berlaku pada setiap makhluk-NYA. Sesampainya Syidad di gerbang istana tiba-tiba datang seorang malaikat dan berkata :  ” Hai Syidad jika kamu mengakui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, aku persilahkan kamu tinggal di istana ini, jika tidak maka aku cabut nyawamu sekarang juga “
Mendengar perkataan itu Syidad menjadi marah dan bengis serta bertambah tambah kesesatannya, maka berteriaklah malaikat tersebut hingga Syidad dan rombongannya mati seketika, dan tak seorangpun yang masuk ke kota megah tsb, ada yang berpendapat kota itu ikut hancur seluruhnya, ada juga yang berpendapt kota itu tetap dalam keindahannya hingga masa-masa berikutnya, wallahu a’lam
(Sumber : Kitab Badai’uz zuhur)


http://www.sarkub.com/2012/membangun-surga-di-muka-bumi/

makanan orang mulia adalah obat

Suatu hari Imam Syafii berkunjung ke rumah Imam Ahmad Ibn Hanbal.  Setelah usai dijamu oleh Imam Ahmad, dengan makanan-makanan, Imam Syafii tidur di kamarnya.
Saat pagi menjelang, putri Imam Ahmad Ibn Hanbal berkata pada ayahnya: “wahai ayah, benarkah ini Imam Syafii yang sering kau ceritakan?”
.
Imam Ahmad menjawab: “benar putriku!”
“Ada tiga hal yang saya perhatikan darinya, pertama saat kami suguhkan makanan kepadanya, dia makan banyak sekali,
Kedua saat dia masuk kamar dia tidak menjalankan shalat malam,
Ketiga saat shalat subuh dengan kita, dia tidak berwudlu.” kata sang putri.
Tiba-tiba saat Imam Syafii berpapasan dengan Imam Ahmad Ibn Hanbal, Imam Syafii menjawab tiga hal yang dipertanyakan putrinya.
“Wahai, Ahmad!” tegur Imam Syafii, “aku makan banyak sekali, karena tahu bahwa makan-makananmu dari harta yang halal, sesungguhnya engkau adalah orang mulia, dan makanan orang mulia adalah obat, dan makanan orang kikir adalah penyakit. saya tidak makan untuk sekedar kenyang, sesungguhnya aku memakan  makananmu untuk obat.”
“Adapun mengenai aku tidak shalat malam, karena setiap aku meletakkan kepalaku untuk tidur, saya melihat seakan didepanku ada al-quran dan al-hadits, Allah membukanya untukku dengan 72 masalah ilmu fiqh. saya berharap ummat memanfaatkannya, dan saya tidak menemukan kesempatan untuk shalat malam.”
“Terkait dengan shalat subuh yang tanpa wudlu’, Demi Allah saya tidak tidur kecuali sebelumnya saya memperbarui wudlu”, sepanjang malam saya tidak tidur, maka saya shalat subuh dengan kalian dengan wudlu’ shalat isya’”
Referensi Fawaidul Mukhtaroh hal. 171-172 berdasar Anis al Mu’minin hal. 80



Maimun, Budak Hina Yang Doanya Mustajab

Basrah, Iraq. Sudah beberapa lama tidak turun hujan. Hari itu belum beranjak siang. Terik matahari mulai terasa. Angin musim kemarau berhembus. Angin kering padang pasir menerpa wajah. Orang-orang mulai kesulitan mendapati air. Demikian juga binatang peliharaan yang kelihatan kurus-kurus.
Hari itu penduduk Basrah sepakat untuk mengadakan shalat Istisqa’. Untuk meminta hujan yang sudah sekian lama tertahan. Shalat itu akan dihadiri para ulama Basrah dan tokoh masyarakatnya. Yang langsung akan dipimpin oleh salah seorang ulama pilihan di antara mereka. Nampak di antara para ulama yang sudah hadir Ulama Besar Malik bin Dinar, Atho’ As-Sulaimi, Tsabit Al-Bunani, Yahya Al-Bakka, Muhammad bin Wasi’, Abu Muhammad As-Sikhtiyani, Habib Abu Muhammad Al-Farisi, Hasan bin Abi Sinan, Utbah bin Al-Ghulam, dan Sholeh Al-Murri.
Benar-benar sebuah sholat Istisqo’ yang istimewa. Dihadiri orang-orang terbaiknya. Tentunya dengan harapan agar Allah menurunkan kembali hujan yang ditahan karena dosa-dosa manusia.
Para penduduk nampak berduyun-duyun mendatangi lapangan yang telah ditentukan. Para ulama pun sudah mulai nampak di lapangan itu.
Anak-anak kecil yang asyik belajar di tempat pengajian Al-Qur’an mereka, juga nampak berlarian menuju lapangan. Demikian juga para wanitanya. Besar, kecil, laki, perempuan, tua, muda, semuanya tidak ada yang ketinggalan untuk mengikuti sholat. Dengan hanya satu harapan, agar hujan kembali turun.
Sholat dimulai. Dua rokaat sudah. Selesai itu sang imam menyampaikan khutbah dan doa panjangnya. Mengakui segala kelemahan dan kesalahan manusia yang menyebabkan murka Allah. Dan mengharap kembali turunnya berkah hujan dari langit. Karena masih ada orang tua dan binatang yang tidak bersalah ikut menanggung akibat dosa sebagian orang. Doa terus dipanjatkan.
Waktu terus beranjak siang. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Mendung tak kunjung datang. Langit masih terlihat cerah. Matahari semakin terasa terik. Sholat Istisqa’ selesai. Semua penduduk pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah para ulama yang masing-masing bertanya dalam hati mengapa hujan tak kunjung datang. Padahal telah berkumpul orang-orang baik dan pilihan di masyarakat Basrah.
Akhirnya diputuskan untuk menentukan hari lain. Mengulang sholat Istisqa’ berharap untuk kali ke dua ini, Allah mengabulkan doa mereka. Sholat kedua ditentukan. Suasana sholat ketika itu tidak jauh berbeda dengan sholat sebelumnya. Dan kali ini pun belum ada tanda-tanda dikabulkannya doa. Langit masih sangat cerah dengan terik matahari tengah hari. Tanda tanya di hati para ulamanya semakin besar.
Sholat ketiga pun segera menyusul. Semoga yang ketiga inilah yang didengar, begitu harapan mereka. Persis seperti yang pertama dan kedua, sholat yang ketiga pun mempunyai suasana yang sama. Dan ternyata hasilnya pun sama. Hujan masih tertahan entah karena apa. Tanda tanya di hati para ulama Basrah kian menggelayut di dalam hati mereka masing-masing. Tanpa jawaban. Seluruh penduduk dan ulamanya pulang ke rumah dan tidak tahu kapan musim kering itu berlalu.
Tersisa Malik bin Dinar dan Tsabit Al-Bunani di lapangan terlihat berbincang serius. Perbincangan itu dilanjutkan di masjid yang tidak jauh dari tempat itu. Hingga malam datang menjelang. Masjid sudah sepi, tidak ada lagi yang sholat. Karena sudah malam larut.
Tiba-tiba mereka berdua dikejutkan oleh seorang dengan kulit berwarna gelap, wajah yang sederhana, dengan betis tersingkap yang terlihat kecil, dengan perut buncit. Orang itu memakai sarung dari kulit domba, demikian juga kain yang dipakainya untuk atas badannya. “Aku memperkirakan semua yang dipakainya tidak melebihi dua dirham saja,” kata Malik bin Dinar. Yang menunjukkan bahwa orang itu hanyalah orang miskin yang tidak memiliki banyak harta.
Malik bin Dinar mengamati gerak-geriknya, ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh orang hitam itu di larut malam seperti ini. Orang itu menuju tempat wudhu. Setelah selesai wudhu, seperti tanpa mempedulikan Malik dan Tsabit yang mengamatinya dari tadi, orang itu menuju mihrab imam kemudian sholat dua rokaat. Sholatnya tidak terlalu lama. Surat yang dibaca tidak terlalu panjang. Ruku’ dan sujudnya sama pendeknya dengan lama berdirinya.
Selesai sholat, orang itu menengadah tangannya ke langit sambil berdoa. Malik bin Dinar mendengar isi doa yang disampaikan dengan suara yang tidak terlalu tinggi tapi terdengar. “Tuhanku, betapa banyak hamba-hamba-Mu yang berkali-kali datang kepada-Mu memohon sesuatu yang sebenarnya tidak mengurangi sedikitpun kekuasaan-Mu. Apakah ini karena apa yang ada pada-Mu sudah habis? Ataukah perbendaharaan kekuasaan-Mu telah hilang? Tuhanku, aku bersumpah atas nama-Mu dengan kecintaan-Mu kepadaku agar Engkau berkenan memberi kami hujan secepatnya.”
Setelah mendengar itu Malik bin Dinar berkata, “Belum lagi dia menyelesaikan perkataannya, angin dingin pertanda mendung tebal menggelayut di langit. Kemudian tidak lama, hujan turun dengan begitu derasnya. Aku dan Tsabit mulai kedinginan.”
Malik dan Tsabit hanya bisa tercengang melihat orang hitam itu. Mereka berdua menunggu hingga orang itu selesai dari munajatnya. Begitu terlihat orang itu selesai, Malik menghampirinya dan berkata, “Wahai orang hitam tidakkah kamu malu terhadap kata-katamu dalam doa tadi?” Orang tdai bertanya, “Kata-kata yang mana?” “Kata-kata: dengan kecintaan-Mu kepadaku,” kata Malik. “Apa yang membuatmu yakin bahwa Allah mencintaimu?” sambung Malik. Orang itu menjawab, “Menyingkirlah dari urusan yang tidak kamu ketahui, wahai orang yang sibuk dengan dirinya sendiri! Dimanakah posisiku ketika aku dapat mengkhususkan diri kami untuk beribadah hanya kepada-Nya dan ma’rifat kepada-Nya. Mungkinkah aku dapat memulai hal itu jika tanpa cinta-Nya kepadaku sesuai dengan kadar yang dikehendaki dan cintaku kepada-Nya sesuai dengan kadar kecintaanku.”
Setelah berkata itu, dia pergi begitu saja dengan cepatnya. Malik memohon, “Sebentar, semoga Allah merahmatimu. Aku perlu sesuatu.” Orang itu menjawab, “Aku adalah seorang budak yang mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah tuanku.”
Akhirnya Malik dan Tsabit sepakat untuk mengikuti dari jauh. Ternyata orang itu memasuki rumah seorang yang sangat kaya di Basrah yang bernama Nakhos. Malam sudah sangat larut. Malik dan Tsabit merasakan sisa malam begitu panjang, karena rasa penasarannya untuk segera mengetahui orang itu di pagi harinya.
Pagi yang dinanti akhirnya tiba. Malik yang memang mengenal nakhos itu segera menuju rumahnya untuk menanyakan budak hitam yang dijumpainya semalam. “Apakah engkau punya budak yang bisa engkau jual kepadaku untuk membantuku?” kata Malik bin Dinar beralasan untuk mengetahui budak hitam yang dijumpainya semalam. Nakhos berkata, “Ya, saya mempunyai seratus budak. Kesemuanya bisa dipilih.” Mulailah Nakhos mengeluarkan budak satu per satu untuk dilihat Malik. Sudah hampir semuanya dikeluarkan, ternyata Malik tidak melihat budak yang dilihatnya semalam. Sampai Nakhos menyatakan bahwa budaknya sudah dikeluarkan semua. “Apakah masih ada yang lain?” tanya Malik. “Masih tersisa satu lagi,” jawab Nakhos.
Saat itu waktu mendekati waktu dhuhur. Saat istirahat siang. Malik berjalan ke belakang rumah menuju suatu kamar yang sudah terlihat reot. Di dalam kamar itulah Malik melihat budak hitam yang dilihatnya semalam sedang tertidur lelap. “Nakhos, dia yang saya mau, ya demi Allah dia,” kata Malik semangat. Dengan penuh keheranan Nakhos berkata, “Wahai Abu Yahya, itu budak sial. Malamnya habis untuk menangis dan siangnya habis untuk sholat dan puasa.” “Justru untuk itulah aku mau membelinya,” kata Malik. Melihat kesungguhan Malik, Nakhos memanggil budak tadi.
Dengan wajah kuyu, dengan rasa kantuk yang masih terlihat berat budak itu keluar menemui majikannya. Nakhos berkata kepada Malik, “Ambillah terserah berapa pun harganya agar aku cepat terlepas darinya.”
Malik mengulurkan dua puluh dinar sebagai pembayaran atas harga budak itu. “Siapa namanya?” tanya Malik yang sampai detik itu masih belum mengetahui namanya. “Maimun.”
Malik menggandeng tangan budak itu untuk diajak ke rumahnya. Sambil berjalan, Maimun bertanya, “Tuanku, mengapa engkau membeliku padahal aku tidak cocok untuk membantu?”
Malik berkata, “Saudaraku tercinta, kami membelimu agar kami bisa membantumu.” “Kok bisa begitu?” tanya Maimun keheranan. “Bukankah kamu yang semalam berdoa di masjid itu? Tanya Malik. “Jadi kalian sudah tahu saya?” Maimun kembali bertanya. “Ya akulah yang memprotes doamu semalam,” kata Malik.
Budak itu meminta untuk diantar ke masjid. Setelah sampai ke pintu masjid, dia membersihkan kakinya dan masuk. Langsung sholat dua rokaat. Malik bin Dinar hanya bisa diam sambil mengamatinya dan ingin tahu apa yang ingin dilakukannya. Selesai sholat, orang itu mengangkat tangannya berdoa seperti yang dilakukannya kala malam itu. Kali ini dengan doa yang berbeda, “Tuhanku, rahasia antara aku dan Engkau telah Engkau buka di hadapan makhluk-makhluk-Mu. Engkau telah membeberkan semuanya. Maka bagaimana aku nyaman hidup di dunia ini sekarang. Karena kini telah ada yang ketiga yang menghalangi antara aku dan diri-Mu. Aku bersumpah, agar Engkau mencabut nyawaku sekarang juga.”
Tangan diturunkan, budak itu kemudian sujud. Malik mendekatinya. Menunggu dia bangun dari sujudnya. Tetapi lama dinanti tak juga bangun. Malik menggerakkan badan budak itu, dan ternyata budak itu sudah tidak bernyawa lagi.


http://www.sarkub.com/2013/maimun-budak-hina-yang-doanya-selalu-di-ijabah-oleh-allah/

Kisah Tujuh Malaikat Penjaga Pintu-Pintu Langit

Telah diceritakan oleh Ibnu al-Mubarak tentang seorang laki-laki yang bernama Khalid bin Ma’dan, dimana ia pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal ra., salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw.
“Wahai Mu’adz! Ceritakanlah kepadaku suatu hadits yang telah engkau dengar langsung dari Rasulullah saw., suatu hadits yang engkau hafal dan selalu engkau ingat setiap harinya disebabkan oleh sangat kerasnya hadits tersebut, sangat halus dan mendalamnya hadits tersebut. Hadits yang manakah yang menurut engkau yang paling penting?”
Kemudian, Khalid bin Ma’dan menggambarkan keadaan Mu’adz sesaat setelah ia mendengar permintaan tersebut, “Mu’adz tiba-tiba saja menangis sedemikian rupa sehingga aku menduga bahwa beliau tidak akan pernah berhenti dari menangisnya. Kemudian, setelah beliau berhenti dari menangis, berkatalah Mu’adz: Baiklah aku akan menceritakannya, aduh betapa rinduku kepada Rasulullah, ingin rasanya aku segera bersua dengan beliau”
Selanjutnya Mu’adz bin Jabal ra. mengisahkan sebagai berikut, “Ketika aku mendatangi Rasulullah saw., beliau sedang menunggangi unta dan beliau menyuruhku untuk naik di belakang beliau. Maka berangkatlah aku bersama beliau dengan mengendarai unta tersebut. Sesaat kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke langit, kemudian bersabdalah Rasulullah saw.:”
“Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang memberikan ketentuan (qadha) atas segenap makhluk-Nya menurut kehendak-Nya, ya Mu’adz!”. Aku menjawab, “Labbaik yaa Sayyidal Mursaliin”.
“Wahai Mu’adz! Sekarang akan aku beritakan kepadamu suatu hadits yang jika engkau mengingat dan tetap menjaganya maka (hadits) ini akan memberi manfaat kepadamu di hadhirat Allah, dan jika engkau melalaikan dan tidak menjaga (hadits) ini maka kelak di Hari Qiyamah hujjahmu akan terputus di hadhirat Allah Ta’ala!”
“Wahai Mu’adz! Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menciptakan tujuh Malaikat sebelum Dia menciptakan tujuh lelangit dan bumi. Pada setiap langit tersebut ada satu Malaikat yang menjaga khazanah, dan setiap pintu dari pintu-pintu lelangit tersebut dijaga oleh seorang Malaikat penjaga, sesuai dengan kadar dan keagungan (jalaalah) pintu tersebut.
Maka naiklah al-Hafadzah (malaikat-malaikat penjaga insan) dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang telah ia lakukan semenjak subuh hari hingga petang hari. Amal perbuatan tersebut tampak bersinar dan menyala-nyala bagaikan sinar matahari, sehingga ketika al-Hafadzah membawa naik amal perbuatan tersebut hingga ke Langit Dunia mereka melipat gandakan dan mensucikan amal tersebut. Dan ketika mereka sampai di pintu Langit Pertama, berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya! Akulah ‘Shaahibul Ghiibah’, yang mengawasi perbuatan ghiibah (menggunjing orang), aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal ini melewatiku untuk menuju ke langit yang berikutnya!”
Kemudian naiklah pula al-Hafadzah yang lain dengan membawa amal shalih diantara amal-amal perbuatan seorang hamba. Amal shalih itu bersinar sehingga mereka melipat-gandakan dan mensucikannya. Sehingga ketika amal tersebut sampai di pintu Langit Kedua, berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, karena ia dengan amalannya ini hanyalah menghendaki kemanfaatan duniawi belaka! Akulah ‘Malakal Fakhr’, malaikat pengawas kemegahan, aku telah diperintah Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan ini melewatiku menuju ke langit berikutnya, sesungguhnya orang tersebut senantiasa memegahkan dirinya terhadap manusia sesamanya di lingkungan mereka!”. Maka seluruh malaikat mela’nat orang tersebut hingga petang hari.
Dan naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba yang lain. Amal tersebut demikian memuaskan dan memancarkan cahaya yang jernih, berupa amal-amal shadaqah, shalat, shaum, dan berbagai amal bakti (al-birr) yang lainnya. Kecemerlangan amal tersebut telah membuat al-Hafadzah takjub melihatnya, mereka pun melipat-gandakan amal tersebut dan mensucikannya, mereka diizinkan untuk membawanya. Hingga sampailah mereka di pintu Langit Ketiga, maka berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal ini ke wajah pemiliknya! Akulah ‘Shaahibil Kibr’, malaikat pengawas kesombongan, aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan seperti ini lewat dihadapanku menuju ke langit berikutnya! Sesungguhnya pemilik amal ini telah berbuat takabbur di hadapan manusia di lingkungan (majelis) mereka!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah yang lainnya dengan membawa amal seorang hamba yang sedemikian cemerlang dan terang benderang bagaikan bintang-bintang yang gemerlapan, bagaikan kaukab yang diterpa cahaya. Kegemerlapan amal tersebut berasal dari tasbih, shalat, shaum, haji dan umrah. Diangkatlah amalan tersebut hingga ke pintu Langit Keempat, dan berkatalah Malaikat penjaga pintu langit kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal ini ke wajah, punggung, dan perut dari si pemiliknya! Akulah ‘Shaahibul Ujbi’, malaikat pengawas ‘ujub (mentakjubi diri sendiri), aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku menuju ke langit berikutnya! Sesungguhnya si pemilik amal ini jika mengerjakan suatu amal perbuatan maka terdapat ‘ujub (takjub diri) didalamnya!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba hingga mencapai ke Langit Kelima, amalan tersebut bagaikan pengantin putri yang sedang diiring diboyong menuju ke suaminya. Begitu sampai ke pintu Langit Kelima, amalan yang demikian baik berupa jihad, haji dan umrah yang cahayanya menyala-nyala bagaikan sinar matahari. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya dan pikulkanlah pada pundaknya! Akulah ‘Shaahibul Hasad’, malaikat pengawas hasad (dengki), sesungguhnya pemilik amal ini senantiasa menaruh rasa dengki (hasad) dan iri hati terhadap sesama yang sedang menuntut ilmu, dan terhadap sesama yang sedang beramal yang serupa dengan amalannya, dan ia pun juga senantiasa hasad kepada siapapun yang berhasil meraih fadhilah-fadhilah tertentu dari suatu ibadah dengan berusaha mencari-cari kesalahannya! Aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku untuk menuju ke langit berikutnya!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang memancarkan cahaya yang terang benderang seperti cahaya matahari, yang berasal dari amalan menyempurnakan wudhu, shalat yang banyak, zakat, haji, umrah, jihad, dan shaum. Amal perbuatan ini mereka angkat hingga mencapai pintu Langit Keenam. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu ini kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, sesungguhnya sedikitpun ia tidak berbelas kasih kepada hamba-hamba Allah yang sedang ditimpa musibah (balaa’) atau ditimpa sakit, bahkan ia merasa senang dengan hal tersebut! Akulah ‘Shaahibur-Rahmah’, malaikat pengawas sifat rahmah (kasih sayang), aku telah diperintahkan Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan seperti ini melewatiku menuju ke langit berikutnya!”
Dan naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang lain, amal-amal berupa shaum, shalat, nafaqah, jihad, dan wara’ (memelihara diri dari perkara-perkara yang haram dan subhat/meragukan). Amalan tersebut mendengung seperti dengungan suara lebah, dan bersinar seperti sinar matahari. Dengan diiringi oleh tiga ribu malaikat, diangkatlah amalan tersebut hingga mencapai pintu Langit Ketujuh. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya, pukullah anggota badannya dan siksalah hatinya dengan amal perbuatannya ini! Akulah ‘Shaahibudz-Dzikr’, malaikat pengawas perbuatan mencari nama-diri (ingin disebut-sebut namanya), yakni sum’ah (ingin termashur). Akulah yang akan menghijab dari Rabb-ku segala amal perbuatan yang dikerjakan tidak demi mengharap Wajah Rabb-ku! Sesungguhnya orang itu dengan amal perbuatannya ini lebih mengharapkan yang selain Allah Ta’ala, ia dengan amalannya ini lebih mengharapkan ketinggian posisi (status) di kalangan para fuqaha (para ahli), lebih mengharapkan penyebutan-penyebutan (pujian-pujian) di kalangan para ulama, dan lebih mengharapkan nama baik di masyarakat umum! Aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini lewat dihadapanku! Setiap amal perbuatan yang tidak dilakukan dengan ikhlash karena Allah Ta’ala adalah suatu perbuatan riya’, dan Allah tidak akan menerima segala amal perbuatan orang yang riya’!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum, haji, umrah, berakhlak baik, diam, dan dzikrullah Ta’ala. Seluruh malaikat langit yang tujuh mengumandang-kumandangkan pujian atas amal perbuatan tersebut, dan diangkatlah amalan tersebut dengan melampaui seluruh hijab menuju ke hadhirat Allah Ta’ala. Hingga sampailah dihadhirat-Nya, dan para malaikat memberi kesaksian kepada-Nya bahwa ini merupakan amal shalih yang dikerjakan secara ikhlash karena Allah Ta’ala.
Maka berkatalah Allah Ta’ala kepada al-Hafadzah, “Kalian adalah para penjaga atas segala amal perbuatan hamba-Ku, sedangkan Aku adalah Ar-Raqiib, Yang Maha Mengawasi atas segenap lapisan hati sanubarinya! Sesungguhnya ia dengan amalannya ini tidaklah menginginkan Aku dan tidaklah mengikhlashkannya untuk-Ku! Amal perbuatan ini ia kerjakan semata-mata demi mengharap sesuatu yang selain Aku! Aku yang lebih mengetahui ihwal apa yang diharapkan dengan amalannya ini! Maka baginya laknat-Ku, karena ini telah menipu orang lain dan telah menipu kalian, tapi tidakklah ini dapat menipu Aku! Akulah Yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib, Maha Melihat segala apa yang ada di dalam hati, tidak akan samar bagi-Ku setiap apa pun yang tersamar, tidak akan tersembunyi bagi-Ku setiap apa pun yang bersembunyi! Pengetahuan-Ku atas segala apa yang akan terjadi adalah sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala yang baqa (kekal), Pengetahuan-Ku tentang yang awal adalah sama dengan Pengetahuan-Ku tentang yang akhir! Aku lebih mengetahui perkara-perkara yang rahasia dan lebih halus, maka bagaimana Aku dapat tertipu oleh hamba-Ku dengan ilmunya? Bisa saja ia menipu segenap makhluk-Ku yang tidak mengetahui, tetapi Aku Maha Mengetahui Yang Ghaib, maka baginya laknat-Ku!”
Maka berkatalah malaikat yang tujuh dan 3000 malaikat yang mengiringi, “Yaa Rabbana, tetaplah laknat-Mu baginya dan laknat kami semua atasnya!”, maka langit yang tujuh beserta seluruh penghuninya menjatuhkan la’nat kepadanya.
Setelah mendengar semua itu dari lisan Rasulullah saw. maka menagislah Mu’adz dengan terisak-isak, dan berkata, “Wahai Rasulullah! Engkau adalah utusan Allah sedangkan aku hanyalah seorang Mu’adz, bagaimana aku dapat selamat dan terhindar dari apa yang telah engkau sampaikan ini?”
Berkatalah Rasulullah saw., “Wahai Mu’adz! Ikutilah Nabi-mu ini dalam soal keyakinan sekalipun dalam amal perbuatanmu terdapat kekurangan. Wahai Mu’adz! Jagalah lisanmu dari kebinasaan dengan meng-ghiibah manusia dan meng-ghiibah saudara-saudaramu para pemikul Al-Qur’aan. Tahanlah dirimu dari keinginan menjatuhkan manusia dengan apa-apa yang kamu ketahui ihwal aibnya! Janganlah engkau mensucikan dirimu dengan jalan menjelek-jelekan saudara-saudaramu! Janganlah engkau meninggikan dirimu dengan cara merendahkan saudara-saudaramu! Pikullah sendiri aib-aibmu dan jangan engkau bebankan kepada orang lain”
“Wahai Mu’adz! Janganlah engkau masuk kedalam perkara duniamu dengan mengorbankan urusan akhiratmu! Janganlah berbuat riya’ dengan amal-amalmu agar diketahui oleh orang lain dan janganlah engkau bersikap takabbur di majelismu sehingga manusia takut dengan sikap burukmu!”
“Janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang sementara di hadapanmu ada orang lain! Janganlah engkau mengagung-agungkan dirimu dihadapan manusia, karena akibatnya engkau akan terputus dari kebaikan dunia dan akhirat! Janganlah engkau berkata kasar di majelismu dan janganlah engkau merobek-robek manusia dengan lisanmu, sebab akibatnya di Hari Qiyamah kelak tubuhmu akan dirobek-robek oleh anjing-anjing neraka Jahannam!”
“Wahai Mu’adz! Apakah engkau memahami makna Firman Allah Ta’ala: ‘Wa naasyithaati nasythan!’ (‘Demi yang mencabut/menguraikan dengan sehalus-halusnya!’, An-Naazi’aat [79]:2)? Aku berkata, “Demi bapakku, engkau, dan ibuku! Apakah itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. bersabda, “Anjing-anjing di dalam Neraka yang mengunyah-ngunyah daging manusia hingga terlepas dari tulangnya!”
Aku berkata, “Demi bapakku, engkau, dan ibuku! Ya Rasulullah, siapakah manusia yang bisa memenuhi seruanmu ini sehingga terhindar dari kebinasaan?”
Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Mu’adz, sesungguhnya hal demikian itu sangat mudah bagi siapa saja yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala! Dan untuk memenuhi hal tersebut, maka cukuplah engkau senantiasa berharap agar orang lain dapat meraih sesuatu yang engkau sendiri mendambakan untuk dapat meraihnya bagi dirimu, dan membenci orang lain ditimpa oleh sesuatu sebagaimana engkau benci jika hal itu menimpa dirimu sendiri! Maka dengan ini wahai Mu’adz engkau akan selamat, dan pasti dirimu akan terhindar!”
Khalid bin Ma’dan berkata, “Sayyidina Mu’adz bin Jabal ra. sangat sering membaca hadits ini sebagaimana seringnya beliau membaca Al-Qur’aan, dan sering mempelajari hadits ini sebagaimana seringnya beliau mempelajari Al-Qur’aan di dalam majelisnya”.



Kisah Penjual Halwa Pengamal Shalawat

Tausyiah Alhabib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan di Palembang tahun 2000
Saat Haul Syekh Abu Bakar bin Salim
Dikisahkan di kota Addan, ada seorang pedagang Halwa (manisan), beliau sering dan suka bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Setiap ia memanggil pelanggan, ia berkata:
“HALWA.. HALWA.. SHOLLU ‘ALAN NABIY”.
Kebetulan ia mengontrak di suatu kios dan sang pemilik kios ini tidak suka bershalawat dan paling benci siapa saja yang mengatakan itu. Dalam beberapa hari pemilik kios itu makin tidak suka kepada pedagang itu dan ingin mengusirnya dari rumah yang dikontrakkannya. Akan tetapi, sebelum niat itu terwujud, Allah memberikan rezeki kpd pemilik kios itu untuk pergi Umroh. Sang pemilik kios pun melaksanakan umroh di Mekkah dan diteruskan berziarah ke makam sayyidina Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam di Madinah.
Sesampainya di makam Sayyidina Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam, ia mendengar perkataan sang pedagang, yaitu: “HALWA.. HALWA.. SHOLLU ‘ALAN NABIY”. Lalu tiba-tiba ia menangis saat mendengar kata-kata itu didepan makam sayyidina Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Ia langsung pulang ke kota Addan dan meminta maaf kepada pedagang itu dan ingin terus mendengar ia bershalawat kpd sayyidina Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, kemudian ia berkata: “Aku mendengar shalawatmu di depan makam sayyidina Muhammad” “HALWA.. HALWA.. SHOLLU ALLAN NABIY”. Lalu si pedagang itu tersenyum dan bergembira. Sang pemilik kios pun memeluk si pedagang tersebut sambil meneteskan air mata.
Ya rosulallah salaamun ‘alaika ya rofi ‘asyani waddaroji..
ahlul baitil musthofa thuhuri hum amanul ardhi faddakiri..

http://www.sarkub.com/2012/kisah-penjual-halwa-pengamal-shalawat/

Kisah Karomah Mbah Ma’shum Lasem

Mbah Ma’shum Lasem, Jawa Tengah, adalah ulama besar yang tindakannya sering sulit dicerna nalar awam. Setelah peristiwanya, barulah orang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.
Diperkirakan, Mbah Ma’shum lahir pada tahun 1868. Dia adalah anak bungsu pasangan Ahmad dan Qosimah. Oleh orangtuanya dia kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama, karena sejak kecil diatelah ditinggal wafat oleh ibunya. Dari Kiai Nawai dia mendapat pelajaran dasar ilmu alat (nahwu) yang diambil dari kitab Jurumiyyah dan Imrithi.
Pengembaraannya mencari ilmu tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (Kiai Abdullah, Kiai Abdul Salam, dan Kiai Siroj), Kudus (Kiai Ma’shum dan Kiai Syarofudin), Sarang Rembang (Kiai Umar Harun), Solo (Kiai Idris), Termas (Kiai Dimyati), Semarang (Kiai Ridhwan), Jombang (Kiai Hasyim Asy’ari), Bangkalan (Kiai Kholil), hingga Makkah (Kiai Mahfudz At-Turmusi), dan kota-kota lain.
Suatu saat, di Semarang, dia tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Ketika di Bojonegoro, dia tidak hanya bermimpi, melainkan, antara tertidur dan terjaga, dia bertemu dengan Nabi, yang memberikan ungkapan La khayra ilia fi nasyr al-ilmi, yang artinya “Tidak ada kebaikan (yang lebih utama) daripada menyebarkan ilmu”.
Di rumahnya sendiri, dia bermimpi kembali. Dalam mimpinya, ia bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW, yang berpesan, “Mengajarlah, segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”
Di kemudian hari, Mbah Ma’shum menjadi ulama besar yang dikenal memiliki banyak karamah. Inilah beberapa kisah karamahnya:
Walisanga Bertamu
Ada satu kisah karamah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum.
Namun, karena tuan rumah sedang tidur, Ahmad, seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan. Ternyata mereka menolak.
Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan.
“Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?” tanya Ahmad sekali lagi.
“Tidak usah,” ujar me­reka serempak lalu pergi.
Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi.
Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya.
Tapi apa lacur, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum.
Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, Mbah Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisanga dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel.
Setelah mengucapkan kalimat terse­but, Mbah Ma’shum tertidur pulas lagi.
Beras Melimpah
Di depan para cucunya, Mbah Ma’shum memimpin pembacaan istighatsah dan membaca potongan syair Al-Burdah yang artinya, “Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat untuk mencari perlindungan kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka nan besar nanti.”
Syair tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.”
Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.”
Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….”
Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan, ke tempat Mbah Ma’shum.
Masih soal beras. Pada kali yang lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, Mbah Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis.
“Ya Allah, Gusti, saya minta beras….”
“Amin…,” ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum, khidmat menyambung doanya.
Jam sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung be­ras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah Banyuwangi.
Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.
Suatu saat ketika berkunjung ke Banyuwangi, Mbah Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir- hampir tak ada yang kelebihan rizqi. Lalu siapa yang mengirim beras?
“DuaTahun Lagi Saya Menyusul”
“Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusui dua tahun kemudian,” demikian reaksi Mbah Ma’shum ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari itu, 11 Desember 1970.
Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusui.”
Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum’at di masjid jami’ Lasem, tak jauh dari rumahnya.
Persis seperti ucapannya, menyusui dua tahun setelah pamandanya wafat.
Mengajar atau Menolong Orang  juga “Dzikir”
Kisah lain, sambil memijit badan Mbah Ma’shum, Abrori Akhwan, yang kala itu, awal dekade 1960-an, masih menjadi santri di pesantren Mbah Ma’shum, Al-Hidayat, dalam benaknya terlintas pertanyaan, kenapa Mbah Ma’shum tak pernah menggunakan peci haji atau sorban bila keluar rumah, tidak pernah berdzikir dalam waktu yang lama, dan tidak banyak kitab kuning di rumahnya.
Pikiran itu rupanya terbaca oleh Mbah Ma’shum. Tak lama kemudian, ia berujar, “Seorang kiai tidak harus meng­gunakan peci haji atau sorban. ‘Berdzikir’ kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktek, seperti misalnya kita mengajar atau menolong orang, tidak harus dalam waktu lama dengan bebe­rapa bacaan tertentu. Kitab kuning sebenarnya banyak, tapi dipinjam oleh Ali, anak sulungku.”
Insya Allah akan Kembali
Ketika dalam perjalanan silaturahim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mbah Ma’shum kehilangan kacamata di kereta api yang tengah meluncur, antara Tegal dan Pekalongan. Menyadari hal itu, ia kemudian mengajak para pengikutnya membaca surah Adh-Dhuha. Dan ketika sampai ayat wawajadaka dhaallam fahada, ayat tersebut dibaca delapan kali.
“Dengan membaca surah tersebut, insya Allah barang kita yang hilang akan kembali. Setidaknya Allah akan memberikan ganti yang sesuai,” katanya kemudian.
Ketika rombongan mampir ke rumah Kiai Faturrahman di Kebumen, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata di lemari kaca tuan rumah, persis miliknya yang hilang. Dengan spontan ia berkata, “Alhamdulillah.”
Kepada Faturrahman, ia bertanya, “Apa ini kacamata saya?”
Dijawab Kiai Faturrahman dengan terbata-bata, “Ya mungkin saja, Mbah….”
Kemudian kacamata itu diambil dan dipakai oleh Mbah Ma’shum.
Kendaraan Soal Belakang
Kali ini soal dokar. Santri yang mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. Se­telah maghrib, sudah menjadi kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang berani keluar ke­cuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma’shum berkata, “Shalat dulu, kendaraan soal belakang.”
Ketika itu rombongan Mbah Ma’shum sudah sampai di sebuah mushalla. Maka shalatlah mereka secara berjama’ah. Bahkan dilanjutkan hingga shalat Isya.
Setelah semua selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari halaman mushalla, lewatlah sebuah do­kar kosong. Mereka pun menaikinya. Subhanallah,…

(Disadur dari Majalah Alkisah No. 26/Tahun VII)


http://www.sarkub.com/2012/kisah-karomah-mbah-masum-lasem/

Kisah Gadis Shalehah, Penjual Susu Yang Jujur

Di malam yang pekat dan angin dingin semilir menusuk, Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab sedang menelusuri kota Medinah melalui lorong demi lorong. Di saat seluruh penduduk kota terlelap, sang khalifah tetap terjaga mendatangi satu demi satu rumah untuk mengetahui kondisi rakyatnya.
Ia sadar bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, ia tidak ingin ada seorang pun dari rakyatnya yang terzalimi.
Malam makin larut hingga tibalah fajar menyingsing. Ketika hendak beranjak ke masjid, langkahnya tertahan di depan sebuah gubuk reot. Dari dalam gubuk itu terdengar percakapan lirih antara seorang ibu dan putrinya. Dari percakapan itu ternyata mereka adalah penjual susu kambing yang akan menjual hasil perahannya di pasar pagi itu.
“Nak, campurlah susu itu dengan air,” pinta sang ibu kepada putrinya. Sang ibu berharap agar ia memperoleh keuntungan lebih banyak dari hasil penjualan susu oplosannya (campuran).
Putrinya menjawab, “Maaf, Bu, tidak mungkin aku melakukannya. Amirul Mukminin tidak membolehkan untuk mencampur susu dengan air, kemudian menjualnya,” tolak putrinya dengan halus.
Sang ibu tetap bersikukuh, “Itu suatu hal yang lumrah, Nak. Semua orang melakukannya. Lagi pula Amirul Mukminin tidak akan mengetahuinya,” bujuk sang ibu lagi.
“Bu, boleh jadi Amirul Mukminin tidak mengetahui apa yang kita lakukan sekarang, tetapi Allah SWT Maha Melihat dan Mengetahui!” jawab sang putri salehah.
Haru dan bahagia membuncah di dada Amirul Mukminin. Betapa ia kagum akan kejujuran dan keteguhan hati sang gadis miskin tersebut. Mungkin gadis tersebut miskin harta, tetapi begitu kaya hatinya. Amirul Mukminin teringat akan tujuannya semula dan bergegas menuju masjid untuk shalat Fajar bersama para sahabat.
Usai melaksanakan shalat di masjid, Umar bin Khaththab segera memangil putranya yang bernama ‘Ashim. Beliau segera memerintahkan ‘Ashim untuk melamar putri penjual susu yang jujur tersebut karena memang sudah saatnya ‘Ashim untuk berumah tangga. Tidak lupa Amirul Mukminin menceritakan keluhuran hati gadis penghuni gubuk reot tersebut kepada putranya.
“Aku melihat dia akan membawa berkah untukmu kelak jika kamu mempersuntingnya menjadi istrimu. Pergilah dan temui mereka, lamarlah dia untuk menjadi pendampingmu. Semoga kalian dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat kelak!” ujar Umar bin Khaththab kepada putranya, ‘Ashim.
Akhirnya, ‘Ashim menikahi gadis berhati suci itu dan lahirlah seorang putri bernama Laila. Ia tumbuh menjadi gadis yang taat beribadah dan cerdas. Saat dewasa, Laila dipersunting oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan keduanya lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin besar yang disegani. Dia mewarisi keagungan akhlak neneknya dan kepemimpinan buyutnya, Umar bin Khaththab.

http://www.sarkub.com/2011/kisah-gadis-shalehah-penjual-susu-yang-jujur/

Karomah KH Falak

KH. Tubagus Muhammad Falak bin Tubagus Abbas adalah seorang ulama kharismatik yang sampai saat ini masih diziarahi oleh banyak orang, ini menunjukan suatu bukti bahwa semasa hidupnya beliau memiliki kedalaman ilmu dan pengaruh yang sangat luas diberbagai khayalak.

Pernyataan seperti itu didukung oleh pengakuan beberapa ulama besar termasuk para Habib di nusantara, mereka memberikan pengakuan bahwa KH Falak merupakan seorang Waliyullah, hal itu pernah disampaikan oleh Habib Umar Bin Muhammad bin Hud Al-Attas (Cipayung ), Habib Soleh Tanggul Jawa Timur dan Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Jakarta.

Salah satu karomah KH. Falak adalah ketika tiga hari menjelang wafatnya beliau sempat dikunjungi oleh para gurunya yang telah tiada, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Said Abdul Turki, Syekh Abdul Karim bahkan juga Syekh Abdul Qodir Jailani. Selain itu diterangkan pula, bahwa KH. Falak sering melakukan perjalanan singkat antara Pagentongan–Banten. Selama di Banten beliau menjadi seorang ulama besar yang menjadi pusat kunjungan berbagai kalangan masyarakat Banten. Artinya, disana dapat dilihat tidak semata-mata seorang individu yang memiliki pengaruh luas. Tapi, jelas ada konteks kekaromahan yang dimilikinya dan diyakini khalayak masyarakat yang tidak mungkin dapat dituangkan secara keseluruhan didalam tulisan yang serba singkat ini.

Menurut KH. Zein Falak yang pernah menuturkan pengalamannya selama menjadi pengawal pribadi KH Falak. “Subhanallah -Tabarakallah. Abah Falak itu seorang yang Alim, Wali, ‘allamah, perawakannya kecil, kulitnya putih berseri. Beliau sangat ramah dan selalu tersenyum kepada yang menyapanya”, tutur KH. Zein.

Lebih jauh, lelaki keturunan kelima dari KH Falak yang lahir tahun 1940 itu menuturkan, “Abah Falak tinggi badannya sekitar 150 cm, Abah selalu memakai udeng (sorban yang dililitkan dikepala-red), wajahnya selalu berseri, tutur katanya lembut namun tegas dan jelas. Bahkan dikagumi oleh semua orang, baik dengan para ulama, habaib dan sahabat-sahabatnya yang datang bersilaturahmi kepadanya, Abah Falak dalam berbicara selalu menggunakan bahasa Arab yang fasih, sedangkan kalau kepada santri-santri dan tamunya selalu menggunakan bahasa sunda atau bahasa Indonesia.

Abah Falak, termasuk ulama besar yang selalu menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya Karena itu sudah menjadi kebiasaan setiap pagi memakan dua telur ayam kampung, kemudian jalan-jalan sambil melihat-lihat pondok pesantren, madrasah, majlis ta’lim dan masjid”, tutur KH Zein.
Semasa hidupnya KH. Falak dikenal sebagai seorang yang dermawan, banyak orang yang datang kepadanya untuk meminta tolong dan beliau selalu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang meminta pertolongan.

Yang tidak kalah menarik menurut penuturan KH. Zein, bahwa apabila kedatangan tamu yang niatnya tidak bagus, maka beliau seperti orang tuli.
“Pernah suatu saat Abah Falak kedatangan tamu yang minta nomor buntut. Pada saat orang itu mengutarakan maksudnya, Abah Falak bertanya berulang kali seolah-olah sama sekali tidak mendengar apa yang diutarakan orang itu, bahkan secara tiba-tiba, Abah Falak menyuruh orang itu pulang”. ujar KH Zein.

KH. Tubagus Muhammad Falak wafat pada waktu subuh pukul 04.15 hari Rabu tanggal 19 Juli 1972 atau tanggal 8 Djumadil Akhir 1392 H di usianya yang ke, 130 tahun di Pagentongan, Bogor. Beribu-ribu jemaah datang dari berbagai kalangan baik tokoh agama, politik dan militer serta masyarakat luas yang berasal dari dalam dan luar negeri. Alhamdulillah, hingga saat ini Pesantren Al-Falak peninggalan KH. Tubagus Muhammad Falak diteruskan oleh anak cucu dari keturunan beliau. Semoga anak cucu dan keturunan beliau diberikan kesabaran, ketabahan dan kekuatan untuk meneruskan toriqoh dan perjuangan beliau ilaa yaumil qiyamah

http://sobrujamil.wordpress.com/2011/05/29/tokoh-sufi-tanah-jawa/

Biografi KH Ali Shodiq Umman Pendiri Pondok Hidayatul Mubtadien Ngunut Tulungagung

demikian nama aslinya,lahir sekitar tahun 1929 m di gentengan link IV Ngunut,sebuah kota industri yang berada di sebelah timur dan termasuk wilayah Tulungagung, di mana masyarakat Ngunut waktu itu sangat minim pengetahuan agamanya atau boleh di katangan abangan, ayahnya pak uman adalah kurir dokar yang sederhana dan taat beribadah,dan ibunya ibu marci,pasangan suami istri yang datang dari Leran kec Manyar kab Gresik ini sangat mendambakan seorang anak yang ‘alim ‘allamah dalam masalah agama, Sehingga pak uman sangat senang dan hormat kepada kiyai dan santri-santri, setiap santri yang menumpang dokar beliau, beliau siap mengantar kemana santri itu pergi tanpa memungut upah darinya.

DI ASUH PAMAN DARI IBU
ALI SHODIQ adalah anak ke 7 dari 18 bersaudara,namun yang hidup hingga dewasa adalah 10 orang,masing-masing adalah INTIAMAH, M. SYARIF, MARKATAM, ABDUL SYUKUR, ABDUL GHONI, UMI SULKAH, ALI SHODIQ, AMINI, KHOIRUL ANAM dan MARZUKI, sedangkan yang 8 wafat ketika masih kecil sehingga tidak jelas namanya. Sejak umur sepasar (lima hari) beliau di asuh paman beliau,pak tabut yang masih adik ibu marci,seorang pedanggang batik dan pemborong palawija yang cukup mapan perekonomiannya,beliau tinggal bersama istrinya ibu urip dari olak alung ngunut yang konon daerah ini merupakan daerah basis pki tepatnya di jln raya 1no 34 ngunut yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadien.


Beliau sangat di sanyang oleh bpk Tabut dan istrinya ibu Urip,yang tidak di karuniai seorang anakpun. Dalam momongan pak tabut ALI SHODIQ kecil hidup dalam kecukupan,segala keinginan terpenuhi, sejak itu pula beliau sangat suka dengan kuda, namun di balik itu semua beliau yang masih muda merasa prihatin dengan keadaan/kondisi masyarakat Ngunut yang dalam pola hidupnya jauh dari nilai-nilai agama. Hingga sejak kecil beliau mulai belajar mengeja huruf-huruf Al-Qur’an dan cara-cara beribadah kepada bpk Mahbub di Kauman, Ngunut.

Setelah menamatkan sekolah rakyat,beliau mulai melanglang dari satu pesantren ke pesantren lainnya selama 26 tahun. Di awali dari pondok krapyak Yogyakarta,beliau di sini tidak begitu lama,kemudian beliau nyantri di pondok Jampes yang waktu itu di asuh oleh K.H. IHSAN DAHLAN, seorang ‘ulama ahli tasawuf pengarang kitab SHIROJUT THOLIBIN, sebuah syarah dari kitab MINHAJUL ‘ABIDIN karya IMAM GHOZALI, di mana sampai sekarang kitab tersebut populer di kalangan pesantren, bahkan menjadi literatur wajib di universitas al-Azhar Mesir.

Sepeninggal kyai ihsan beliau pindah ke pondok Lirboyo Kediri,untuk bulan puasa beliau sering mondok di Tertek Pare Kediri yg di asuh oleh K.H JUWAINI dan pernah juga ke Mojosari Nganjuk asuhan K.H ZAINUDDIN ,juga pernah tabarukan ke pondok Tebu ireng Jombang asuhan K.H H ASYIM ASY’ARI dan pada K.H MA’RUF Kedunglo Kediri.

Sewaktu beliau masih mondok di jampes kediri, beliau meminta kepada ibu angkat beliau mbah Urip untuk mendirikan sebuah langgar kecil yang kelak kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PONDOK PESANTREN HIDAYATUL MUBTADIIEN.

DARI LIRBOYO KE PELAMINAN
Menurut K.H IHSAN (pengasuh ponpes abul faidl bakalan wonodadi blitar) setelah K.H IHSAN jampes wafat sekitar tahun 1952,K.H ALI SHODIQ UMMAN pindah ke ponpes Lirboyo yang waktu itu masih di asuh oleh K.H ABDUL KARIM, di waktu beliau mondok di sinilah,a da peristiwa yang penting yakni sekitar tahun 1958, ada seorang kyai dari Mbaran Kediri, yakni K.H UMAR SUFYAN yang menghendaki beliau sebagai menantu untuk di jodohkan dengan putri beliau yang bernama H AULIYAH (setelah ibadah haji di ganti menjadi HJ.SITI FATIMATUZZAHRO’) yang waktu itu masih berumur 7 tahun. Akad nikahpun di laksanakan dengan sederhana namun cukup meriah, hari bahagia nan penuh berkah,akad nikah seorang kyai dengan putri seorang kyai berlangsung jua,dengan di antar beberapa santri Lirboyo,beliau berangkat dari ponpes lirboyo menuju baran ke mertua beliau.

SANTRI YANG TEKUN
Di mata kawan sesama santri K.H ALI SHODIQ muda di kenal sebagai santri yang tekun cerdas dan sangat ta’dhim (hormat) kepada guru-guru beliau,Hingga beliau menjadi kiyai kharismatik di wilayah tulungagung beliau masih ta’dhim kepada dzuhrriyah-dzuhrriyahnya. Walopun mereka sudah berada di alam kubur,bahkan ketika sowan ziyaroh ke makam guru-guru beliau melepas sandal dan berjalan dengan jongkok,setiap beliau mbalah (mengaji kitab) selalu mencari waktu yang tidak bersamaan dengan qori’ atau pengkaji yang lain,yaitu di atas jam 12:00 malam yang biasa bertempat di panggung lama atau di AL-IKHWAN karena biasanya beliau banyak di minati santri,akhirnya para qori’ yang lain sepi dari pengikut jika di lakukan bersamaan.

Beliau juga di kenal sebagai AHLI TAHQIQ, sebab setiap mau mbalah jika belum memahami apa yang akan di kaji beliau tidak jadi melakukan dan menunggu sampe faham betul terhadap hal yang akan di kaji oleh beliau tersebut, juga beliau sering mengikuti satu kitab secara berulang-ulang, dengan setiap ikut kitabnya selalu baru,menurut pak ghufron(salah seorang teman sekaligus santri beliau) ketekunan beliau sulit di gambarkan sehingga tidak pernah di ketahui kapan beliau tidur seakan-akan waktu hanya di curahkan untuk mathala’ah yang bahkan beliau sering ketiduran dalam keadaan mathala’ah atau belajar,beliau juga menyoroki (mengajar menmbaca) al-qur’an para santri yang bertempat di kamar beliau pada waktu setelah jama’ah magrib sampe lonceng sekolah berbunyi.

Hari-hari senantiasa di lewati dengan berpuasa dan beliau juga seorang qona’ah terbukti dengan makan beliau sedikit dan seadanya sesuai dengan yang di sajikan oleh juru masak beliau,sampe-sampe dalam sehari-seharinya beliau memakai bengkungan di perut yang sangat kencang di karenakan sedikitnya makan walopun menurut beliau sering juga di beri uang saku oleh keluarga padahal uang saku bulan sebelumnya belum habis,satu hal lagi yang menunjukan ketekunan dan himmah beliau dalam tholabul ilmi adalah walopun beliau sudah meningkah beliau tetap mukim di PONPES LIRBOYO kediri,sebab di samping untuk memperdalam ilmu tenaga dan fikiran beliau masih di perlukan di sana,Hanya saja kalau memasuki BULAN ROMADLON beliau mengadakan pengajian pasan di mbaran kediri,rumah mertua beliau.

Sekitar tahun 1958 pengajian pasan pertama yang di adakan di mbaran di ikuti oleh 7 orang santri lirboyo dan pada tahun berikutnya di ikuti oleh 40 santri,hal ini berlangsung selama beberapa tahun hingga tahun 1966,Selama itu beliau telah menamatkan kitab SIROJUT THOLIBIN karya K.H IHSAN JAMPES yang menjadi guru beliau sendiri dan beberapa kitab kuning ,karya ulama terkenal lainya. Bahkan pernah membaca kitab MUHADZDZAB khatamnya sudah pada tgl 1 syawal pukul 01 siang.

MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN
Pada tahun 1967 K.H ALI SHODIQ UMMAN dengan berat hati pindah ke ngunut meninggalkan mbaran untuk mengemban amanat dan tugas dari guru beliau sewaktu nyantri di lirboyo yakni K.H MARZUQI DAHLAN dan K.H MAHRUS ALI untuk mengembangkan ilmu beliau dan mendidik masyarakat ngunut yang waktu itu masih belum mengenal ajaran islam(abangan). Pada masa perintisan aktivitas dakwah beliau di pusatkan di sebuah langgar kecil yang telah di dirikan pak tabut,juga ikut mengajar di PGA Ngunut (sekarang SMP 1 Ngunut).

Tantangan dan rintangan datang silih berganti terutama dari masyerakat sekitar yang masih buta agama,Teror fisik atau teror yang bersifat non fisik / rohani(jengges/santet) tak henti-henti,tetapi dengan penuh kesabaran beliau tetap menyiarkan AGAMA ALLAH. Bukti kesabaran beliau terlintas dalam sebuah kejadian,pada saat pondok mengadakan sebuah acara yang di hadiri oleh K.H MAHRUS ALI lirboyo,pada saat itu beliau (K.H MAHRUS ALI) berkenan ke kamar kecil,beliau melihat masyarakat di sekitarnya melakukan kegiatan yang mengganggu acara tersebut dan pengajian rutin yang di selenggarakan setiap hari,K.H MAHRUS ALI berkata”mbok di hizib nashor wae,ben ndang bar” lalu K.H ALI SHODIQ menjawab “ingkang kawulo rantos anak putu nipun” Dengan di ikuti 50 santri dari lirboyo pengajian pasan pertama di laksanakan dengan penuh hidmah,Hingga 4 tahun kemudian beliau berhasil menamatkan kitab ‘IHYA ULUMUDDIN karya HUJJATUL ISLAM IMAM GHOZALI.

Pada bulan syawal tahun yang sama pengajian sistem klasikal dan non klasikal mulai di terapakna walopun dengan materi pelajaran yang masih sederhana sesuai dengan kemampuan santri yang ada,pada tahun berikutnya jumlah santri bertambah,terutama santri senior lirboyo dan dari daerah ngunut dan sekitarnya,sehingga K.H ALI SHODIQ menetapkan TGL 01 JANUARI 1967 bertepatan dengan TGL 21 ROJAB 1368 sebagai hari berdirinya PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN sebuah nama yang di ambil dari ponpes lirboyo dengan niat TAFA’ULAN(ngalap ketularan).sejak saat itulah sistem pendidikan di PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN mulai di tata dan bisa berjalan sampai sekarang.

Untuk mempermudah penyampean materi dan untuk menertipkan pengorganisasian jenjang pendidikan PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN di bagi menjadi dua tingkatan,IBTIDA’IYAH dan TSANAWIYAH. Waktu pun terus berjalan,zaman semakin berkembang,iptek semakin canggih namun di lain fihak dengan perkembangan ini timbul pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakt,untuk itu di butuhkan deneresi ISLAM yangintelek dan berwawasan luas sehingga KH ALI SHODIQ UMMAN di samping mengembangkan lembaga pendidikan yang sudah ada,yaitu PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN putra dan putri murni mempelajari kitab kuning,beliau juga mendirikan pondok kanak-kanak dengan pendidikan formal SDI SUNAN GIRI,PONPES PUTRA SUNAN GUNUNG JATI,PONPES PUTRI SUNAN PANDAN ARAN yang menampung santri yang belajar di smpi dan smui sunan gunung jati. Langkah yang di ambil K.H ALI SHODIQ UMMAN mendapat smbutan hangat dari masyarakat,terbukti banyak masyarakat yang menyekolahkan dan memondokkan putra putrinya di lembaga yang di asuh oleh beliau.Dan untuk mempermudah pengelolaan lembaga tersebut pada TGL 03 DESEMBER 1992 atas inisiatif K.H ALI SHODIQ UMMAN di bentuklah YAYASAN SUNAN GIRI yang terdaftar di kantor pengadilan negri tulungagung denga nomor 14/X/92/PN/TA.

Begitulah perjuangan beliau yang tak kenal lelah guna mempersiapkangenerasi islam yang menghadapi tantangan zaman.bukan hanya pendidikan saja yang K.H ALI SHODIQ UMMAN perhatikan,dalam tuntunan hidup sehari-hari beliau sering memberikan mau’idzoh hasanah dengan tutur bahasa yang khas”CHO NENG NGENDI WAE AWAKMU MANGGONOJO LALI KARO PESENKU,
1. AKHLAQUL KARIMAH,
2. PINTER-PINTER NDELEHNO AWAK,
3. NGEKEH-NGEKEHNO BALI MARI ALLAH
Beliau sangat sabar dan istiqomah dalam mendidik santri-santrinya,setiap pagi beliau dengan halus membangunkan santri-santinya dari satu kamar ke kamar lainnya untuk jama’ak shubuh,karena beliau dalam membina santri-santrinya sangat menekankan sholat jama’ah.

JAMA’AH DENGAN DIPAPAH
Setelah menunaikan ibadah haji yang ke tiga kali,tahun 1997 kondisi kesehatan K.H ALI SHODIQ UMMAN sering terganggu,maklum usia beliau mulai beranjak sepuh. Sementara tugas sebagai pengasuh yang kian berkembang pesat cukup menyita waktu,tenaga dan fikiran beliau.Akan tetapi yang cukup menyedihkan kesehatan kiyai mulai menurun,sehingga kaki beliau tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya sehingga untuk menjalankan tugas sehari-harinya,memberi pengajian,menjadi imam jama’ah beliau harus di papah oleh satu ato dua orang santri. Akan tetapi berkat kesabaran K.H ALI SHODIQ UMMAN hari-hari beliau yang panjang itu di lalui dengan tabah,malahan beliau tidak pernah meninggalkan tugas yang beliau emban.

SABTU KELABU
Pada hari jum’at 23 JULI 1999 K.H ALI SHODIQ UMMAN jatuh sakit dan kemudian di bawa ke RSI ORPEHA Tulungagung, beliau di rawat di pavilium arafat, perawatan intensif terus menerus di lakukan, namun keadaan pun tak semakin membaik,akhirnya atas kesepakatan keluarga dan saran dari pihak kedokteran RSI ORPEHA, pada hari RABU 10 AGUSTUS 1999, beliau di bawa RS DARMO Surabaya. Selama 4 hari beliau menjalani opname di Surabaya, namun kondisi beliau tak kunjung membaik, bahkan harapan untuk kesembuhan kian tipis, hingga pada hari SABTU 14 AGUSTUS 1999 pukul 10.00 BBWI (pagi) rupanya ALLAH SWT, telah menggariskan untuk memanggil K.H ALI SHODIQ UMMAN , sehingga di pagi yang cerah itu dengan KHUSNUL KHOTIMAH beliau kembali ke hadiratnya, INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN. Beliau wafat pada usia 71 tahun dengan meninggalkan seorang istri (yang pada akhirnya 7 bulan kemudian menyusul), 9 putra putri (6 putra dan 3 putri), serta 12 cucu laki-laki dan perempuan. Berita wafatnya K.H ALI SHODIQ UMMAN di terima keluarga di Ngunut jam 11.00 pagi lewat telfon dan 30 menit kemudian orang-orang yang melayat mulai berdatangan, mereka menggu kedatangan jenazah K.H ALI SHODIQ UMMAN sambil berdzikir, jenazah tiba di ngunut pukul 16.00 BBWI. Keesokan harinya (ahad) pukul 10.00 BBWI setelah di lakukan sholat jenazah sebanyak 47 kali, lalu jenazah beliau di makamkan di makam keluarga di sebelah barat MASJID SUNAN GUNUNG JATI, sampai di liang lahat jenazah beliau di sambut oleh menantu beliau K.H DARORI MUKMIN, K.H MAHRUS MARYANI, dengan di sertai putra beliau KH AGUS BADRUL HUDA ALI, K.H AGUS IBNU SHODIQ ALI, K.H ADIB MINANURROHMAN ALI, AGUS MINANURROHIM ALI.

Beliau pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya,menggoreskan kenangan,meninggalkan sebongkah jasa untuk kita, beliau menuju alam damai dan abadi. Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…. Semoga blog kumpulan biografi ulama ini bisa bermanfaat umumnya untuk Anda dan khususnya untuk saya pribadi.

BEBERAPA KEISTIMEWAAN K.H ALI SHODIQ UMMAN
Pada waktu MBAH KYAI ALI SHODIQ menjadi kepala pondok LIRBOYO,saat ada acara rapat umum tahun ajaran baru bertepat di serambi,sudah menjadi hal yang wajar dan lumrah bila semua santri berkumpul calam satu majlis suasana ramai dan ricuh,pada waktu itu pengurus memberi arahan/membacakan peraturan-peraturan pondok pada santri baru,para santri bersorak-sorai,ramai dan sangat ricuh,setelah itu MBAH KYAI melewati sebelah barat santri yang ramai,para santri seketika terdiam. MBAH KYAI ALI SHODIQ seorang pencak yang sangat mumpuni,beliau salah satu murid kesanyangan dan andalan MBAH KYAI ALI SHODIQ BAHRI TANEN. MBAH KYAI ALI SHODIQ seorang yang sangat sakti / jaduk,tapi beliau sangat pandai dan rapat dalam menutupi dan menyimpan hal tersebut.

Ada cerita bersumber langsung dari MBAH KYAI ALI SHODIQ yang dawuh pada salah satu momongan beliau, “MBAH KYAI baru saja pindah pondok dari jampes ke lirboyo, pada waktu itu ada kekosongan,mustahiq kelas III tsanawiyah (jauhar maknun),sebelumnya beliau bermimpi di ajak oleh K.H MARZUKI DAHLAN tetapi dawuhe MBAH KYAI terbangnya K.H MARZUKI selalu di atas MBAH KYAI, sampai-sampai K.H MARZUKI tidak kelihatan dan MBAH KYAI selalu di bawahnya, pada akhirnya MBAH KYAI di utus menjadi mustahiq kelas III tsnawiyah, padahal beliau mengaku belum pernah belajar dan mengaji JAUHAR MAKNUN, berkat kelimpatan, ketekunan dan rasa tawadlu’ beliau terhadap guru, pada akhirnya beliau dapat menjadi mustahiq kelas III tsanawiyah tersebut, yang di antara santri kelas itu putra K.H MARZUKI yakni AGUS IDRIS MARZUKI.” Setiap MBAH KYAI tidur sore beliau pesan agar di bangunkan pada waktu jama’ah atau waktu mengaji, kepada salah seorang khodim dekat beliau dengan memakai 1 jari dengan 3 ketukan ringan, dan setiap jari tangan menyentuh kaki atau tangan beliau, beliau langsung memukul apa saja yang ada di dekatnya, sampai-sampai dinding kamar kan roboh. Begitulah haliyah K.H ALI SHODIQ UMMAN yang tidak di miliki oleh orang lain.

http://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/01/09/biografi-kh-ali-shodiq-umman-pendiri-pondok-hidayatul-mubtadien-ngunut-tulungagung/

Bidadari yang Cantik Jelita

Mereka sangat cangat cantik, memiliki suara-suara yang indah dan berakhlaq yang mulia. Mereka mengenakan pakaian yang paling bagus dan siapapun yang membicarakan diri mereka pasti akan digelitik kerinduan kepada mereka, seakan-akan dia sudah melihat secara langsung bidadari-bidadari itu. Siapapun ingin bertemu dengan mereka, ingin bersama mereka dan ingin hidup bersama mereka.

Semuanya itu adalah anugrah dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan sifat-sifat terindah kepada mereka, yaitu bidadari-bidadari surga. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati wanita-wanita penghuni surga sebagai kawa’ib, jama’ dari ka’ib yang artinya gadis-gadis remaja. Yang memiliki bentuk tubuh yang merupakan bentuk wanita  yang paling indah dan pas untuk gadis-gadis remaja. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari, karena kulit mereka yang indah dan putih bersih. Aisyah RadhiAllohu anha pernah berkata: “warna putih adalah separoh keindahan”

Bangsa Arab biasa menyanjung wanita dengan warna puith. Seorang penyair berkata:

Kulitnya putih bersih gairahnya tiada diragukan
laksana kijang Makkah yang tidak boleh dijadikan buruan
dia menjadi perhatian karena perkataannya lembut
Islam menghalanginya untuk mengucapkan perkataan jahat

Al-’In jama’ dari aina’, artinya wanita yang matanya lebar, yang berwarna hitam sangat hitam, dan yang berwarna puith sangat putih, bulu matanya panjang dan hitam. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari yang  baik-baik lagi cantik, yaitu wanita yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Ciptaan dan akhlaknya sempurna, akhlaknya baik dan wajahnya cantk menawan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang suci. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya:  “Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci.” (QS: Al-Baqarah: 25)

Makna dari Firman diatas adalah mereka suci, tidak pernah haid, tidak buang air kecil dan besar serta tidak kentut. Mereka tidak diusik dengan urusan-urusan wanita yang menggangu seperti yang terjadi di dunia. Batin mereka juga suci, tidak cemburu, tidak menyakiti dan tidak jahat. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang dipingit di dalam rumah. Artinya mereka hanya berhias dan bersolek untuk suaminya. Bahkan mereka tidak pernah keluar dari  rumah suaminya, tidak melayani kecuali suaminya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang tidak liar pandangannya. Sifat ini lebih sempurna lagi. Oleh karena itu bidadari yang seperti ini diperuntukkan bagi para penghuni dua surga yang tertinggi. Diantara wanita memang ada yang tidak mau memandang suaminya dengan pandangan yang liar, karena cinta dan keridhaanyya, dan dia juga tidak mau memamndang kepada laki-laki selain suaminya, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair: Ku tak mau pandanganmu liar ke sekitar jika kau ingin cinta kita selalu mekar.

Di samping keadaan mereka yang dipingit di dalam rumah dan tidak liar pandangannnya, mereka juga merupakan wanita-wanita gadis, bergairah penuh cinta dan sebaya umurnya. Aisyah RadhiAllohu anha, pernah bertanya kepad Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, yang artinya: “Wahai Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, andaikata engkau melewati rerumputan yang pernah dijadikan tempat menggembala dan rerumputan yang belum pernah dijadikan tempat menggambala, maka dimanakah engkau menempatkan onta gembalamu?”  Beliau menjawab,”Di tempat yang belum dijadikan tempat gembalaan.” (Ditakhrij Muslim) Dengan kata lain, beliau tidak pernah menikahi perawan selain dari Aisyah.

Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepada Jabir yang menikahi seorang janda, yang artinya: “Mengapa tidak engkau nikahi wanita gadis agar engkau bisa mencandainya dan ia pun mencandaimu?” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany)

Sifat bidadari penghuni surga yang lain adalah Al-’Urub, jama’ dari al-arub, artinya mencerminkan rupa yang lemah lembut, sikap yang luwes, perlakuan yang baik terhadap suami dan penuh cinta. Ucapan, tingkah laku dan gerak-geriknya serba halus.

Al-Bukhary berkata di dalam Shahihnya, “Al-’Urub, jama’ dari tirbin. Jika dikatakan, Fulan tirbiyyun”, artinya Fulan berumur sebaya dengan orang yang dimaksudkan. Jadi mereka itu sebaya umurnya, sama-sama masih muda, tidak terlalu muda dan tidak pula tua. Usia mereka adalah usia remaja. Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan mereka dengan mutiara yang terpendam, dengan telur yang terjaga, seperti Yaqut dan Marjan. Mutiara diambil kebeningan, kecemerlangan dan kehalusan sentuhannya. Putih telor yang tersembunyi adalah sesuatu yang tidak pernah dipegang oleh tangan manusia, berwarna puith kekuning-kuningan. Berbeda dengan putih murni yang tidak ada warna kuning atau merehnya. Yaqut dan Marjan diambil keindahan warnanya dan kebeningannya.

Semoga para wanita-wanita di dunia ini mampu memperoleh kedudukan untuk menjadi Bidadari-Bidadari yang lebih mulia dari Bidadari-Bidadari yang tidak pernah hidup di dunia ini. Wallahu A’lam

(Sumber Rujukan: Raudhah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin [Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu], karya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah)

http://ruangmuslimah.wordpress.com/2009/12/01/bidadari-yang-cantik-jelita/