Sabtu, 09 November 2013

Makna Suara Katak

Sufyan berkata: "Tidak ada sesuatu yang lebih banyak bertasbih kepada Allah dari pada katak".

Dalam Al-Kamil dari Ikrimah, dari Abdullah bin Abbas –radhiyallahu Anhuma—beliau berkata: "Konon katak menjatuhkan diri ke nyala api karena takut kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Lalu Allah memberinya pahala berupa dingingnya air dan menjadikan suaranya sebagai bunyi tasbih".

Dalam kitab Az-Zahir karya Abdullah Al-Qurthubi, diceritakan bahwa Nabi Daud –alayhissalam—berkata: "Sungguh aku akan bertasbih kepada Allah dengan bacaan tasbih yang tidak diucapkan oleh satupun makhluk Allah".

Seekor katak memanggilnya dari saluran air di rumahnya: "Wahai Daud! Engkau berbangga di hadapanAllah Azza wa jalla dengan tasbihmu. Sesungguhnya selama 70 tahun, lidahku tidak pernah kering dari dzikir kepada Allah. Dan sesungguhnya selama 10 malam aku tidak menginginkan makan dan minum, karena sibuk dengan dua kalimah".

Nabi Daud bertanya: "Kalimah apa itu?"

Si Katak menjawab:

يَا مُسَبَّحًا بِكُلِّ لِسَانٍ , وَمَذْكُورًا بِكُلِّ مَكَان

"Wahai dzat yang disucikan oleh setiap lisan, dan diingat di setiap tempat".

Nabi Daud berkata dalam hati: "Seandainya aku bisa mengucapkan yang lebih dari pada ini".

Dalam kitab "Su'ab al-Iman" karya Al-Baihaqi dari Anas –radhiyallahu anhu, seseungguhnya Nabi Daud menyangka bahwa tidak ada pujian kepada Allah yang lebih utama dari pada pujiannya. Lalu Allah menurunkan malaikat, sementara ia duduk di mihrabnya, yang di kiri dan kanannya ada sebuah kolam. Malaikat itu berkata: "Wahai Daud! Pahamilah suara katak dan dengarkanlah!". Si katak ternyata bersuara:

سُبْحَانَك  وَبِحَمْدِك مُنْتَهَى عِلْمِك

"Maha suci engkau Allah dan dengan memujimu sepanjang habisnya ilmuMu".

Malaikat itu berkata lagi: "Bagaimana kamu melihat?". Daud menjawab: "Demi Allah yang telah menjadikanku nabi, seseungguhnya aku tidak pernah memuji Allah dengan kalimat itu".

Dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَقْتُلُوا الضِّفْدَعَ , فَإِنَّهَا مَرَّتْ بِنَارِ إبْرَاهِيمَ عليه السلام فَحَمَلَتْ فِي أَفْوَاهِهَا الْمَاءَ وَرَشَّتْ بِهِ عَلَى النَّارِ

"Jangan kalian membunuh katak. Karena sesungguhnya ia melintasi api yang membakar nabi Ibrahim, membawa air dengan mulutnya dan memercikannya ke arah api".

Wallahu A'lam

Sumber: Ghada'al Albab

http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/11/makna-suara-katak.html

Anak Cucu Pangeran Syarif Ali Alaydrus

Manaqib Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus
bin Asy-Syarif As-Sayyid Abdurrahman Al-Idrus Sabamban Kal-Sel

Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus adalah pendiri dari kerajaan Sabamban dengan nama lain yang dikenal oleh masyarakat setempat “ Makam Keramat Dermaga “ (Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan) pada pertengahan abad ke-18, kurang lebih hampir bersamaan dengan periode pemerintahan Sultan Adam (Raja Banjar ke-12 periode 1825-1857).

Orang tua Sultan Asy-Syarif Ali Al-Idrus yaitu Asy-Syarif Al-Habib Abdurrahman Al-Idrus adalah anak dari Sultan Asy-Syarif Al-Habib Idrus Al-Idrus pendiri dari Kerajaan Kubu pertama, sedangkan Uminya Syarifah Aisyah Al-Qadri Jamalullail adalah putri Sultan Asy-Syarif Al-Habib Abdurrahman Al-Qadri Jamalullail pendiri Kerajaan Pontianak dari istri yang bernama Putri Utin Chandra Midi yang bergelar Sri Paduka Ratu Sultan putri ketiga dari Panembahan Mempawah Opu Daeng Menambun bin Daeng Rilaga.

Perkawinan Asy-Syarif Al-Habib Abdurrahman Al-Idrus dengan Syarifah Aisyah Al-Qadri Jamalullail, lahirlah 6 (enam) orang putra yaitu :

1. Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus
2. Asy-Syarif Al-Habib Aqil Al-Idrus
3. Asy-Syarif Al-Habib Husein Al-Idrus
4. Asy-Syarif Al-Habib Dayud Al-Idrus
5. Asy-Syarif Al-Habib Saggaf Al-Idrus
6. Asy-Syarif Al-Habib Alwi Al-Idrus

Jadi keluarga dari sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus Sabamban mempertemukan 2 jalur darah kerajaan Kalimantan, yaitu dari jalur Raja Kubu (Al-Idrus) dan Raja Pontianak (Al-Qadri Jamalullail).

Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus diasuh serta dibina dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Kubu dan Kerajaan Pontianak dan dibina oleh Abahnya sendiri juga dibina oleh Ami-aminya yang salah satu Aminya menjabat Kesultanan Ambawang pertama yaitu Sultan Asy-Syarif Al-Habib Alwi Al-Idrus.

Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus pendiri kerajaan Sabamban yang merupakan cucu dari Tuan Besar Raja Kubu Sultan Asy-Syarif Al-Habib Idrus Al-Idrus ini pada awalnya beliau menetap di daerah Kubu bersama keluarga Abahnya dari kerajaan Kubu, pada masa itulah beliau mendapatkan istri dan berputra dua orang yaitu Asy-Syarif Al-Habib Hasan Al-Idrus dan Asy-Syarif Al-Habib Abu Bakar Al-Idrus.

Karena ada suatu konflik keluarga di Kubu, akhirnya Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus suka berkunjung ke tempat Kakeknya dari Umi di Pontianak yang merupakan Raja Pontianak, dari sana beliau mendapatkan informasi tentang jalur ke Kalimantan Selatan, karena kakeknya sering berlayar ke Negeri Banjar dari Mempawah dan tinggal di Negeri Banjar selama empat bulan, kemudian berlayar lagi ke Negeri Pasir (Kutai) dan berhenti di situ selama tiga bulan, setelah itu kembali ke Negeri Banjar setelah dua bulan menetap di sana, kakeknya Sultan Asy-Syarif Al-Habib Abdurrahman Al-Qadri Jamalullail di kawinkan dengan Putri Sultan Sepuh, Saudara dari Panembahan Batu yang bernama Ratu Syahbanun. Sebelum kawin, Kakeknya yang bernama Asy-Syarif Al-Habib Abdurrahman Al-Qadri Jamalullail di lantik oleh Panembahan Batu menjadi Pangeran dengan gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. dua tahun kemudian Syarif Abdurrahman Al-Qadri Jamalullail kembali ke Negeri Mempawah, setahun kemudian kembali lagi ke Negeri Banjar, selama empat tahun di Banjar beliau memperoleh dua orang anak. Anak yang laki-laki diberi nama Syarif Alwi diberi gelar Pangeran Kecil dan yang perempuan bernama Syarifah Salmah diberi gelar Syarifah Putri.

Dari kisah Kakeknya ini akhirnya Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus tambah mantap tekatnya untuk pergi ke negeri Banjar apalagi ada ajakan dari Abahnya Asy-Syarif Al-Habib Abdrurrahman bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Idrus Al-Idrus, ikut serta pula Sepupunya Asy-Syarif Al-Habib Ja’far bin Abu Bakar keturunan dari Asy_syarif Al-Habib Mustafa bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Idrus Al-Idrus dan juga Aminya Asy-Syarif Al-Habib Zain bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Idrus Al-Idrus, memutuskan untuk hijrah ke Banjar dengan meninggalkan istri serta kedua putranya yang masih berdiam di Kerajaan Kubu. Beliau berlayar melalui sungai Kapuas ke laut lepas lalu masuk sungai Barito hingga sampai ke daerah Sabamban di daerah Banjar Kalimantan Selatan, lalu beliau membuka wilayah pemukiman dan mendirikan kerajaan Sabamban serta beliau diminta menjadi Raja Sabamban pertama yang bergelar Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus.

Masyarakat Banjar umumnya pada waktu itu terbagi menjadi dua golongan sosial masyarakat yaitu : golongan Masyarakat Jaba ( awam ) dan golongan Tutus. Golongan masyarakat Jaba adalah golongan pengabdi kepada golongan masyarakat Tutus, sedangkan golongan Tutus itu sendiri adalah golongan masyarakat yang memiliki keturunan bangsawan Raja atau istilahnya darah biru. Masyarakat Banjar umumnya percaya golongan Tutus memiliki kekuatan Bathin / Rohani yang tidak bisa ditandingi oleh golongan masyarakat Jaba. Kedudukan Raja di anggap sebagai pelindung dan pemelihara masyarakat dari malapetaka dan bencana, dan Tahta memiliki kekuatan gaib yang hanya mampu di duduki oleh orang dari golongan Tutus. Istilah Tutus itu sendiri mengacu kepada pengertian kekuatan irasional yang berarti seorang Tutus itu adalah orang yang suci dan terlepas dari unsur-unsur duniawi serta pengaruhnya. Demikian pula halnya dengan tahta kerajaan yang dianggap bukan benda duniawi yang mana tahta di datangkan dari luar dunia, tahta adalah barang suci yang terbebas dari pengaruh dunia, oleh karena itu tahta hanya bisa diduduki orang Tutus, dan jika tidak maka itu akan menimbulkan bencana dan malapetaka. Jadi Raja dan Tahta adalah dwitunggal sebagai wujud kekuasaan religius dan pemerintahan.

Hal itu yang kemungkinan menyebabkan kenapa masyarakat Sabamban waktu itu meminta Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus menjadi Sultan Sabamban, karena Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus itu sendiri kalau Nasabnya di telusuri ke atas baik Nasab dari Abah maupun Umi beliau adalah merupakan Keturunan Bani Alawi Dzurriyatur-Rasul yang dikenal orang seluruh dunia dimana keturunan ini menurunkan para Imam, Auliya, Sholihin serta Shidiqin. Juga Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus merupakan keturunan daripada Raja-Raja besar seperti ; Kubu, Pontianak, Mempawah serta Mataram di Jawa. Hal itu tercermin dari pribadi Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus yang selain menjabat Raja Sabamban juga berperan sebagai Ulama yang giat menyebarkan agama Islam di wilayah Kalimantan, khususnya wilayah yang pernah beliau singgahi.

Pada saat Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus menjadi Raja Sabamban ini, beliau menikah lagi dengan tiga wanita, antara lain ; putri dari kesultanan Bone, putri dari Kesultanan Banjar di daerah Nagara Hulu Sungai Selatan, serta putri dari kesultanan Makasar. Dari ketiga istri beliau di Banjar Kalimantan Selatan serta seorang istri beliau di Kubu Kalimantan Barat, Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus memiliki 12 putra yaitu :

Dari istri pertama di Kubu :
1.Asy-Syarif Al-Habib Hasan Al-Idrus (Makamnya dekat makam Raja Sabamban)
2.Asy-Syarif Al-Habib Abu Bakar Al-Idrus ( Makamnya di Angsana, di Pantai)

Dari istri kedua putri kesultanan Bone Sulawesi Selatan :
3.Asy-Syarif Al-Habib Mustafa Al-Idrus (Makamnya di Tatatakan, depan Masjid Tambarangan Kabupaten Tapin)
4.Asy-Syarif Al-Habib Thoha Al-Idrus (Makamnya di Batulicin, Tanah Bumbu)
5.Asy-Syarif Al-Habib Hamid Al-Idrus (Makamnya di Batulicin, Tanah Bumbu)
6.Asy-Syarif Al-Habib Ahmad Al-Idrus (Makamnya di Batulicin, Tanah Bumbu)

Dari istri ketiga putri Kesultanan Banjar di daerah Nagara Hulu Sungai Selatan:
7.Asy-Syarif Al-Habib Thohir Al-Idrus ( Makamnya di Kalimantan Barat )
8.Asy-Syarif Al-Habib Umar Al-Idrus (Makamnya di Terjun, Kotabaru)
9.Asy-Syarif Al-Habib Husein Al-Idrus (Makamnya di Kotabaru)
10.Asy-Syarif Al-Habib Sholeh Al-Idrus (Makamnya di Angsana, di Pantai)

Dari istri keempat putri Sultan Makasar Sulawesi Selatan :
11.Asy-Syarif Al-Habib Muhammad Al-Idrus (Makamnya di Angsana, di Pantai)
12.Asy-Syarif Al-Habib Utsman Al-Idrus (Makamnya di Pagatan, Tanah Bumbu)

Pada masa Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus menjabat sebagai Raja Sabamban itulah daerah ini mulai berkembang ramai dan makmur, banyak para pedagang dari luar daerah berdatangan ke Sabamban. Dan dari para pedagang itulah tersebar berita tentang keberadaan serta kemasyhuran kerajaan Sabamban, sehingga sampailah berita itu ke tanah kelahiran Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus di Kubu dan Pontianak Kalimantan Barat. Yang mana ketika kedua anak beliau dari istri pertama di Kubu Kalimantan Barat yaitu Asy-Syarif Al-Habib Hasan Al-Idrus dan Asy-Syarif Al-Habib Abu Bakar Al-Idrus mendengar berita tentang keberadaan Abahnya di Sabamban akhirnya memutuskan menyusul Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus ke Sabamban serta menetap di sana bersama Abah dan saudara-saudara sebapak-lain ibu mereka.

Menjelang De Banjarmasinche Krijg ( Perang Banjar ) yang di mulai dari tahun 1859 M itulah, Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus wafat, lalu jabatan sebagai Raja Sabamban kedua yang seharusnya dijabat oleh Asy-Syarif Al-Habib Mustafa Al-Idrus selaku putra Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus yang pertama yang lahir di Negeri Banjar, akan tetapi karena beliau tidak berkenan dan tidak menginginkan kedudukan itu, maka keponakan beliau yang jadi yaitu Asy-Syarif Al-Habib Gasim bin Asy-Syarif Al-Habib Hasan bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus itulah yang menjabat sebagai Raja Sabamban II.

Setelah wafatnya dua Raja yang sangat gigih menentang Belanda yaitu: Raja Sabamban I Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus menjelang De Banjarmasinche Krijg serta wafatnya Sultan Adam Raja Banjar ke-12 pada tanggal 1 November 1857, maka pemerintah kolonial Belanda sebagai penjajah Indonesia termasuk Kalimantan Selatan waktu itu semakin semena-mena dan terjadilah kekacauan di mana-mana hingga pecahlah perang banjar yang pertama pada tanggal 28 April 1859 meliputi seluruh wilayah Kalimantan Selatan.

Adapun disebabkan berkobarnya perang dan pemerintah kolonial Belanda ingin menguasai kerajaan Sabamban beserta asetnya, maka dari pihak keturunan Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus yang sangat anti pada penjajah Belanda membumi hanguskan sendiri istana kerajaan Sabamban agar tidak bisa dikuasai pihak Belanda.

Akan tetapi sampai sekarang kita masih bisa menjumpai jejak warisan peninggalan kerajaan Sambamban ini berupa kehalusan Akhlaq budi pekerti para keturunannya serta kedalaman ilmu mereka yang merupakan Dzurriyatur-Rasul, di samping itu jejak fisik bukti peninggalan ini kerajaan Sabamban itu bisa kita temui berupa tiang-tiang pilar istana dan meriam milik kerajaan Sabamban yang sekarang di tempatkan di kantor kecamatan Angsana, serta makam Raja-Rajanya yaitu Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus dan Sultan Asy-Syarif Al-Habib Gasim Al-Idrus yang dikenal masyarakat sebagai “ Makam Keramat Dermaga “ di dekat pantai Sabamban, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Indonesia.

Akhirnya, sepanjang sejarahnya kerajaan Sabamban ini hanya dijabat oleh dua orang Raja saja yaitu ; Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus sebagai pendiri sekaligus Sultan pertama dan cucu beliau Sultan Asy-Syarif Al-Habib Gasim Al-Idrus sebagai sultan kedua, hingga akhirnya kerajaan Sabamban ini hilang dari muka bumi Kalimantan Selatan. Hanya saja, keturunan beliau hampir semua dijiarahi, yang dianggap makam keramat (Waliyullah).

Salah satu putra Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus yang bernama Asy-Syarif Al-Habib Thahir Al-Idrus ( adiknya Asy-Syarif Al-Habib Mustafa Al-Idrus ) dari Kotabaru merantau ke Sampit dan di sana kemudian menikah dengan perempuan asal Nagara. Di Sampit ini beliau memiliki kebun kelapa yang oleh beliau kemudian ditinggalkan karena Asy-Syarif Al-Habib Thahir Al-Idrus bersama sang istri pulang kampung, ke daerah asal istrinya di Nagara (Kandangan) . Suatu ketika Asy-Syarif Al-Habib Thahir Al-Idrus mengunjungi kakeknya di Pontianak yaitu Asy-Syarif Al-Habib Abdurrahman bin Sultan Kubu Asy-Syarif Al-Habib Idrus Al-Idrus. Akhirnya Asy-Syarif Al-Habib Thahir Al-Idrus tak kembali ke tanah Banjar karena meninggal dunia di Pontianak. Kebun kelapa di Sampit yang dtinggalkan Asy-Syarif Al-Habib Thahir Al-Idrus dan istrinya itu sebenarnya dititipkan kepada tetangga. Suatu ketika putra beliau yang tertua Asy-Syarif Al-Habib Ja'far Al-Idrus (saudara Asy-Syarif Al-Habib Hasan Al-Idrus) ke Sampit untuk melihat-lihat kebun kelapa itu. Namun si tetangga tak mengakui. Dan, akhirnya muntah darah-lah si tetangga yang khianat itu. Asy-Syarif Al-Habib Ja'far Al-Idrus punya anak namanya Asy-Syarif Al-Habib Salim Al-Idrus ( Abahnya Habib Yahya Al-Idrus, mantan Bupati Pangkalanbun), disamping itu juga ada salah satu buyutnya Asy-Syarif Al-Habib Thahir Al-Idrus yang bernama Asy-Syarif Al-Habib Ahmad Al-Idrus Tanjung, selaku yang menangani nasab dan mendata nasab yang dapat dipercaya sebagai dasar rujukan oleh Maktab Ad-Daimy dan Naqobatul Asyraaf untuk wilayah Kalimantan.

Kemudian Asy-Syarif Al-Habib Umar Bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus (Adik Asy-Syarif Al-Habib Mustafa Al-Idrus) yang bermukim di daerah Tarjun, Kotabaru. Beliau kemudian dikenal sebagai “ Pangeran Tarjun “ menyebarkan agama Islam atau Ulama di sana hingga akhir hayat beliau dan di makamkan di daerah Tarjun, yang selalu dijiarahi oleh masyarakat, karena memiliki karomah atau Waliyullah, tepatnya di dekat area pabrik semen Kotabaru.

Adapun Asy-Syarif Al-Habib Mustafa bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus setelah pernyataan ketidak inginan beliau untuk menjadi Sultan, maka beliau lebih memilih mengembangkan syi’ar agama Islam ke daerah-daerah lain di Kalimantan Selatan khususnya hingga akhir hayat beliau dan di makamkan depan Masjid Tambarangan di daerah Tatakan kabupaten Tapin yang terkenal dengan sebutan “ makam Turbah tua / Surgi Syarif Mustafa “ yang saat ini lagi dalam proses dibangun. Di sebelah makam Asy_syarif Al-Habib Mustafa bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus ini juga terdapat makam istri kedua beliau. Dan sampai sekarang, makam beliau menjadi salah satu tempat yang sering dijiarahi oleh masyarakat, Karena menurut cerita beliau adalah salah satu keturunan Sultan sekaligus Ulama dan Waliyullah yang memiliki banyak karomah.
Adapun beberapa karomah beliau antara lain :

1.ketika beliau berbicara dengan Abahnya Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus, suaranya masih ada di tampat, akan tetapi beliau berdua sudah tidak terlihat lagi karena sudah jauh menghilang.

2.Apabila beliau berada di suatu tempat, dan ada orang Belanda yang menunggang kuda atau naik Kereta Kuda, maka seketika juga kuda itu akan berhenti berjalan dan menurunkan ekornya menutupi bagian belakangnya.

3.Apabila beliau berwudhu, sewaktu-waktu beliau menceburkan diri ke sungai atau kolam, ketika beliau naik ke daratan maka bagian tubuh yang basah hanya daerah wudhu saja.

4.Ketika ditembak, peluru hanya menempel di jubah beliau dan ketika dikibaskan maka peluru itu berjatuhan di tanah, sebagian lagi mengenai pepohonan.

5.Bila ada burung yang terbang di atas makam beliau maka akan terjatuh seketika.

6.Di waktu malam hari, makam beliau seperti ada cahaya yang terang.

7.Masyarakat sekitar kadang-kadang melihat dua ekor Macan yang menjaga makam beliau.

Itulah beberapa karomah beliau yang sering diceritakan oleh masyarakat setempat dan para keluarga keturunan beliau.

Asy-Syarif Al-Habib Mustafa bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus meninggalkan beberapa putra dan putri dari tiga orang istri beliau, yaitu ;

Dari putri Bugis di Batulicin, melahirkan :
1.Asy-Syarif Al-Habib Muhammad Al-Idrus
2.Syarifah Syaikha Al-Idrus

Dari istri kedua di Tatakan yang bernama Alama binti Amidin, keturunan Datu Labas (makamnya di Lok Paikat, Tapin), melahirkan :
3.Asy-Syarif Al-Habib Umar Al-Idrus (Makamnya di belakang Masjid Tambarangan)
4.Syarifah Alaiyah Al-Idrus
5.Syarifah Qomariah Al-Idrus
6.Syarifah Masturah Al-Idrus
7.Asy-Syarif Al-Habib Hasyim Al-Idrus (Makamnya di belakang Masjid Tambarangan).

Dari istri ketiga, Syarifah Mujenah binti Al-Habib Ali Asseggaf (Kandangan) :
8.Asy-Syarif Al-Habib Alwi Al-Idrus, tidak memiliki keturunan.

Anaknya Asy-Syarif Al-Habib Mustafa bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus yang bernama Asy-Syarif Al-Habib Hasyim bin Asy-Syarif Al-Habib Mustafa Al-Idrus yang bermukim di daerah Tatakan, Rantau Kabupaten Tapin, memiliki tiga istri dan menurunkan keturunan yang antara lain :

1.Asy-Syarif Al-Habib Hasan Badri Al-Idrus (domisili Jogja atau Bulungan).
2.Asy-Syarif Al-Habib Ahmad Al-Idrus (makamnya di Halong, Paringin).
3.Asy-Syarif Al-Habib Abu Bakar Al-Idrus (makamnya di depan makam Asy-Syarif Al-Habib Mustafa Al-Idrus).
4.Asy-Syarif Al-Habib Abdul Hamid Al-Idrus (domisili Rantau)
5.Syarifah Aminah (domisili Rantau)
6.Syarifah Zubaidah (domisili dekat komplek makam Asy-Syarif Al-Habib Mustafa Al-Idrus).
7.Syarifah Aisyah (domisili dekat komplek makam Asy-Syarif Al-Habib Mustafa Al-Idrus).
8.Syarifah Nurhayati / Ibu Ifah Nur (domisili di depan Polsek Tambarangan)

Asy-Syarif Al-Habib Hasyim bin Asy-Syarif Al-Habib Mustafa Al-Idrus memiliki kegemaran berjiarah ke makam Syekh Maulana Abdussamad Al-Palimbangi yang lebih dikenal sebagai “ Datu Sanggul ” (Ulama yang sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari). Dan ketika bermunculan kelompok-kelompok “Gerombolan” di era pasca kemerdekaan antara tahun 1945 sampai tahun 1950, Asy-Syarif Al-Habib Hasyim bin Asy-Syarif Al-Habib Mustafa Al-Idrus ini merupakan figur tokoh kharismatik yang disegani baik dari pihak Gerombolan maupun dari pihak pemerintahan. dimana setiap yang memiliki hubungan dengan Asy-Syarif Al-Habib Hasyim Al-Idrus tidak akan diganggu oleh kelompok Gerombolan juga tidak akan ditangkap oleh Pemerintah. Beliau merupakan salah satu tokoh yang giat menyebarkan syi’ar Islam hingga beliau wafat pada tahun 1960 M, dan dimakamkan di belakang Masjid Tambarangan, Tatakan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan dan dikenal sebagai Keramat Betatak.

Mengenai gelar Keramat Betatak ini dikarenakan suatu ketika beliau hendak shalat subuh dan mengambil air wudhu di sungai, sarung beliau diinjak dari belakang oleh seorang pria dan seorang wanita yang menyimpan iri dengki kepada beliau, hingga menyebabkab beliau terjatuh dalam posisi tengkurap, lalu dua orang tadi yang sebelumnya sudah menyiapkan senjata tajam, segera menyerang Asy-Syarif Al-Habib Hasyim Al-Idrus. Akan tetapi serangan pria itu tidak dapat menembus kulit beliau sedikit pun, hanya wanita saja yang dapat melukai tubuh beliau, begitu juga wanita itu yang segera menyayat punggung beliau seperti menyayat ikan, namun sayatan itu tidak dapat begitu dalam melukai beliau, hanya sedalam kurang lebih ½ cm. Selama beberapa hari beliau berada di pinggir sungai dalam posisi tengkurap namun beliau tidak meninggal, sampai akhirnya ditemukan dan dibawa oleh sanak keluarga ke rumah, dan beliau kembali sehat seperti sedia kala hanya dalam tempo beberapa hari. Lain halnya dengan pria dan wanita pelaku penyerangan itu yang mengalami muntah darah dan menjadi gila hanya dalam tempo yang singkat setelah aksi jahat mereka, kemudian rumah mereka pun terbakar beserta pria dan wanita yang telah menjadi gila itu, dan mereka terbakar hidup-hidup di dalam rumah mereka. Sejak itulah Asy-Syarif Al-Habib Hasyim Al-Idrus di kenal sebagai Keramat Betatak.

Adapun salah Satu cucu Asy-Syarif Al-Habib Hasyim Al-Idrus yang bernama Asy-Syarif Al-Habib Muhamad Effendi bin Asy-Syarif Al-Habib Hasan Badri bin Asy-Syarif Al-Habib Hasyim bin Asy-Syarif Al-Habib Mustafa bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus Raja Sabamban pertama, telah dinobatkan selaku Imam Mursyid salah satu Thariqah Mu’tabarah pada hari Kamis 16 Ramadhan 1423 / 21-11-2002, oleh Rais Am Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah Indonesia yaitu Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya, Pekalongan (Jateng).

Demikianlah sedikit daripada kisah Raja Sabamban I Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus beserta keturunannya yang InsyaAllah akan bermanfaat, serta akan memberikan Barokah bagi kita semua yang membacanya.

Akhirul kalam, salah dan khilaf adalah semata dari saya yang dhaif ini dan kebenaran hanyalah kepada Allah Azza Wa Jalla. saya mohon ampunan atas kesalahan serta mengharapkan keridhoan-Nya. Amin Yaa Rabbal ‘Alamin.

.::SELESAI::.



Narasumber : Ir.Asy-Syarif Al-Habib Muhamad Effendi bin Hasan Badri bin Hasyim bin Mustafa bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus

Jiddah Syarifah Nurhayati Binti bin Mustafa bin Sultan Asy-Syarif Al-Habib Ali Al-Idrus


http://algembira.blogspot.com/2008/10/habib-hasyim-alaydrus.html

Ibrahim bin Adham: Meninggalkan Kekuasaan demi Akhirat

Ibrahim bin Adham bin Mansur bin Zaid bin Jabir al-‘Ijli adalah figur seorang pemimpin yang arif dan bersikap zuhud. Beliau dijahirkan sekitar tahun 100 H di sebuah kota besar bernama Yablakh. Beliau adalah salah satu dari para shalihin yang berasal dari keturunan para penguasa. Ayah beliau adalah seorang penguasa di Khurasan.

Suatu ketika beliau keluar rumah untuk berburu hewan. Di tengah keasyikannya berburu, telinganya mendengar suara tanpa rupa. Suara itu memanggilnya: “Wahai Ibrahim! Bukan untuk ini kamu diciptkan dan bukan dengan ini kamu diperintah!”.

Semenjak itu beliau bersumpah untuk tidak berbuat durhaka kepada Allah azza wa jalla dan meninggalkan kemewahan Istana. Beliau sering melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, agar mampu mendorong dirinya untuk semakin bersemangat dalam meningkatkan ibadah.

Dalam Risalah Al-Qusyairiyah disebutkan bahwa semenjak kejadian saat berburu, beliau meninggalkan istana, berjalan menuju padang pasir dan berguru dan berkhidmah kepada Sufyan Ats-Tsuri dan Fudlail bin ‘Iyadl. Suatu ketika, saat berada di Syam beliau bertemu seorang lelaki di tengah padang pasir. Ia mengajari beliau sebuah asma mu’adzom dan menyuruh beliau untuk selalu mengamalkannya dalam doa. Setelah beberapa waktu, Ibrahim bin Adham bermimpi bertemu Nabi Khidir.

Ibrahim bin Adham adalah seorang yang zuhud. Beliau meninggalkan kekuasaan dan kedudukan dan selalu berpakaian sederhana. Beliau sering berpuasa, walau dalam keadaan bepergian, sedikit tidur dan memperbanyak tafakur. Ia makan dari hasil pekerjaannya sendiri sebagai buruh panen dan penjaga kebun.

Abu Nu’aim dari Abu Ishaq al-Fazari, ia berkata bahwa Ibrahim bin Adham pada bulan ramadhan menjadi buruh panen di siang hari dan melakukan shalat pada malam harinya. Selama 30 hari ramadlan, beliau tidak pernah tidur, baik siang maupun malam.

Diantara kezuhudan beliau ialah jika mempunyai makanan yang enak, maka beliau menyuguhkannya kepada teman-temannya. Sementara ia makan hanya dengan sepotong roti dan minyak zaitun.

Ibnul Jawzi dalam kitab Shafwah al-Shafwah” menuturkan kisah dari Ahmad bin Daud bahwa suatu ketika Yazid berjumpa Ibrahim bin Adham yang sedang menjaga kebun. Yazib berkata: “Ambilkan aku anggur!”. Ibrahim berkata: “Pemilik kebun tidak mengizinkan aku!”. Yazid mengambil cambuk dan hendak mencambuk beliau. Beliau menundukkan kepada dan berkata: “Pukullah kepala yang dzalim dan durhaka kepada Allah Azza wa jalla.”

Karamah Ibhrahim bin Adham
Sebagaimana maklum bahwa pada sebagian aulia muncul karamah yang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan sebagai bukti kebenaran ittiba’ mereka kepada Rasulullah. Ibrahim bin Adham adalah bagian dari aulia itu, seperti yang dikisahkan oleh Yusuf An-Nabhani dalam kitab “Jami’ Karamat al-Aulia”. Suatu saat sekelompok orang datang kepada Ibrahim bin Adham dan berkata: “Hai Abu Ishaq! Ada harimau menghalangi jalan kami”. Beliau menghampiri Harimau itu dan berkata: “Hai Abu Harits, jika kamu diperintah sesuatu untuk kami, maka lakukan apa yang telah diperintahkan. Jika kamu tidak diperintah apa-apa, maka menyingkirlah dari jalan kami”. Si Harimau itupun melangkah pergi.

Dalam kitab “Raudl al-Rayyahin” disebutkan karamah Ibrahim bin Adham yang lain. Suatu saat beliau hendak menaiki perahu milik seorang nelayan. Tetapi nelayan itu tidak mau memuatnya kecuali memberinya satu dinar. Ibrahim bin Adham lalu mekalukan shalat 2 rakaat dan berdoa: “Ya Allah mereka meminta kepadaku sesuatu yang tidak pernah aku miliki. Sedangkan ia ada banyak di sisiMu!”. Pasir-pasir pun berubah menjadi dinar. Beliau hanya mengambil satu lalu memberikannya kepada nelayan itu. 

Banyak kata-kata hikmah yang muncul dari lisan beliau, diantaranya adalah: 

مَنْ عرف ما يطلب هان عليه ما يبذل، ومن أطلق بصره طال أسفه، ومن أطلق أمله ساء عمله، ومن أطلق لسانه قتل نفسه.

“Barang siapa tahu apa yang ia cari, maka apa yang ia berikan adalah hina. Barang siapa membebaskan pandangan, maka akan lama penyesalannya. Barang siapa membebaskan agan-ngannya, maka buruklah pekerjaannya. Dan barang siapa membebaskan lisannya, maka berarti ia telah membunuh dirinya sendiri”.

قلة الحرص والطمع تورِث الصدق والورع، وكثرة الحرص والطمع تورث الهم والجزع

“Sedikit keinginan dan ketamakan mengakibatkan kejujuran dan kehati-hatian. Banyaknya keinginan dan ketamakan menimbulkan kesusahan dan kesedihan”.

Diceritakan dari Ahmad bin Hadhrawaih bahwa sesungguhnya Ibrahim bin Adham berkata kepada seorang lelaki saat ia sedang thawaf di sekitar Ka’bah: “Ketahuilah bahwa, kamu tidak akan memperoleh derajat shalihin kecuali telah melewati enam tingkatan. Pertama: menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesusahan. Kedua: memutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan. Ketiga: menutup pintu santai dan membuka pintu semagat. Keempat: menutup pintu tidur dan membuka pintu terjaga. Kelima: menutup pintu kaya dan membuka pintu miskin. Keenam: menutup pintu angan-angan dan membuka pintu untuk bersiap untuk kematian”.

Beliau Wafat di Syam pada tahun 162 H, dimakamkan di perbukitan di pantai Suria. Al-Munadi mengatakan bahwa ia pernah menziarahi makamnya dan mendapatkan barakah. 

رحم الله سيدنا ابراهيم بن أدهم وأمدنا بأمداده وحشرنا في زمرته وزمرة الصالحين يوم الدين

http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/10/ibrahim-bin-adham-meninggalkan.html

Ibnu Abbas Ra

“Ya Ghulam, maukah kau mendengar beberapa kalimat yang sangat berguna?” tanya Rasulullah suatu ketika pada seorang pemuda cilik.

“Jagalah (ajaran-ajaran) Allah, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya selalu menjagamu. Jagalah (larangan-larangan) Allah maka engkau akan mendapati-Nya selalu dekat di hadapanmu.”

Pemuda cilik itu termangu di depan Rasulullah. Ia memusatkan konsentrasi pada setiap patah kata yang keluar dari bibir manusia paling mulia itu. “Kenalilah Allah dalam sukamu, maka Allah akan mengenalimu dalam duka. Bila engkau meminta, mintalah pada-Nya. Jika engkau butuh pertolongan, memohonlah pada-Nya. Semua hal telah selesai ditulis.”

Pemuda yang beruntung itu adalah Abdullah bin Abbas. Ibnu Abbas, begitu ia biasa dipanggil. Dalam sehari itu ia menerima banyak ilmu. Bak pepatah sekali dayung tiga empat pula terlam-paui, wejangan Rasulullah saat itu telah memenuhi rasa ingin tahunya. Pelajaran aqidah, ilmu, dan amal sekaligus ia terima dalam sekali pertemuan.

Keakrabannya dengan Rasulullah sejak kecil membuat Ibnu Abbas tumbuh menjadi seorang lelaki berkepribadian luar biasa. Keikhla-sannya seluas padang pasir tempatnya tinggal. Keberanian dan gairah jihadnya sepanas sinar matahari gurun. Kasihnya seperti oase di tengah sahara.

Hidup bersama dengan Rasulullah benar-benar telah membentuk karakter dan sifatnya. Sebuah kisah menarik melukiskan bagaimana Ibnu Abbas ingin selalu dekat dengan dan belajar dari Rasulullah. Suatu ketika, benaknya dipenuhi rasa ingin tahu yang besar ten-tang bagaimana cara Rasulullah shalat. Malam itu, sengaja ia menginap di rumah bibinya, Maimunah binti Alharits, istri Rasulullah.

Sepanjang malam ia berjaga, sampai terdengar olehnya Rasulul-lah bangun untuk menunaikan shalat. Segera ia mengambil air untuk bekal wudhu Rasulullah. Di tengah malam buta itu, betapa terkejutnya Rasulullah menemukan Abdullah bin Abbas masih terjaga dan menyediakan air wudhu untuknya.

Rasa bangga dan kagum membuncah dalam dada Rasulullah. Beliau menghampiri Ibnu Abbas, dan dengan lembut dielusnya kepala bocah belia itu. “Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu,” demikian do’a Rasulullah malam itu.
Setelah berwudhu, Rasul kembali masuk ke rumah untuk menunai-kan shalat malam bersama istrinya. Tak tinggal diam, Ibnu Abbas pun ikut menjadi makmumnya. Awalnya ia berdiri sedikit di belakang Rasulullah, kemudian tangan Rasulullah menariknya untuk maju dan hampir sejajar dengan beliau. Tapi kemudian ia mundur ke belakang, kembali ke tempatnya semula.

Usai shalat, Rasulullah bertanya pada Ibnu Abbas, kenapa ia melakukan hal itu. “Wahai kekasih Allah dan manusia, tak pantas kiranya aku berdiri sejajar dengan utusan Allah,” jawabnya. Di luar dugaan, Rasulullah tidaklah marah atau menunjukkan raut muka tidak suka. Beliau justru tersenyum ramah menyejukkan hati siapa saja yang melihatnya. Bahkan beliau mengulangi doa yang dipanjatkan saat Ibnu Abbas membawa air untuk berwudhu tadi.

Abdullah bin Abbas lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hij-rah. Saat Rasulullah wafat, ia masih sangat belia, 13 tahun umurnya. Semasa hidupnya Rasulullah benar-benar akrab dengan mereka yang hampir seusia dengan Abdullah bin Abbas. Ada Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan sahabat-sahabat kecil lainnya.

Kerap kali Rasulullah meluangkan waktu dan bercanda bersama mereka. Tapi tak jarang pula Rasulullah menasehati mereka.
Saat Rasulullah wafat, Ibnu Abbas benar-benar merasa kehilangan. Sosok yang sejak mula menjadi panutannya, kini telah tiada. Siapa lagi yang menghibur kepedihan di malam dingin dan gelap dengan senyum dan doa yang sejuk tiada tara. Siapa lagi yang menanam semangat saat jiwa layu dan hati lusuh tertutup debu.

Tapi keadaan seperti itu tak berlama-lama mengharu-biru pera-saannya. Ibnu Abbas segera bangkit dari kesedihannya, iman tak boleh dibiarkan terus menjadi layu. Meski Rasulullah telah berpu-lang, semangat jihad tak boleh berkurang. Maka Ibnu Abbas pun mulai melakukan perburuan ilmu.

Didatanginya sahabat-sahabat senior, ia bertanya tentang apa saja yang mesti ditimbanya. Tak hanya itu, ia juga mengajak sahabat-sahabat lain yang seusianya untuk belajar pula. Tapi sayang, tak banyak yang mengikuti jejak Ibnu Abbas. Sahabat-sahabat Ibnu Abbas merasa tak yakin, apakah sehabat-shabat senior mau memperhatikan mereka yang masih anak-anak ini. Meski demi-kian, hal ini tak membuat Ibnu Abbas patah semangat. Apa saja yang menurutnya belum dipahami, ia tanyakan pada sahabat-sahabat yang lebih tahu.

Ia ketuk satu pintu dan berpindah ke satu pintu rumah saha-bat-sahabat Rasulullah. Tak jarang ia harus tidur di depan pintu para sahabat, karena mereka sedang istirahat di dalam rumahnya. Tapi betapa terkejutnya mereka tatkala menemui Ibnu Abbas sedang tidur di depan pintu rumahnya.

“Wahai keponakan Rasulullah, kenapa tak kami saja yang mene-mui Anda,” kata para sahabat yang menemukan Ibnu Abbas tertidur di depan pintu rumahnya beralaskan selembar baju yang ia bawa.

“Tidak, akulah yang mesti mendatangi Anda,” kata Ibnu Abbas tegas. Demikiankan kehidupan Ibnu Abbas, sampai kelak ia benar-benar menjadi seorang pemuda dengan ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Saking tingginya dan tak berimbang dengan usianya, ada orang yang bertanya tentangnya.

“Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini, wahai Ibnu Abbas?”
“Dengan lidah dan gemar bertanya, dengan akal yang suka berpikir,” demikian jawabnya.

Karena ketinggian ilmunya itulah ia kerap menjadi kawan dan lawan berdiskusi para sahabat senior lainnya. Umar bin Khattab misalnya, selalu memanggil Ibnu Abbas untuk duduk bersama dalam sebuah musyawarah. Pendapat-pendapatnya selalu didengar karena keilmuannya. Sampai-sampai Amirul Mukminin kedua itu memberikan julukan kepada Ibnu Abbas sebagai “pemuda tua”.

Do’a Rasulullah yang meminta kepada Allah agar menjadikan Ibnu Abbas sebagai seorang yang mengerti perkara agama telah terwujud kiranya. Ibnu Abbas adalah tempat bertanya karena kege-marannya bertanya. Ibnu Abbas tempat mencari ilmu karena kesukaannya mencari ilmu.

Salah seorang sahabat utama, Sa’ad bin Abi Waqash pernah berkata tentang Ibnu Abbas. “Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti dan lebih tajam berpikirnya seperti Ibnu Abbas. Ia juga adalah orang yang banyak menyerap ilmu dan luas sifat santunnya. Sungguh telah kulihat, Umar telah memanggilnya saat menghadapi masalah-masalah pelik. Padahal di sekelilingnya masih banyak sahabat yang ikut dalam Perang Badar. Lalu majulah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar tidak hendak berbuat melebihi apa yang dikatakan Ibnu Abbas.”

Pada masa Khalifah Utsman, Ibnu Abbas mendapat tugas untuk pergi berjihad ke Afrika Utara. Bersama pasukan dalam pimpinan Abdullah bin Abi Sarh, ia berangkat sebagai mujahid dan juru dakwah. Di masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, ia pun menawarkan diri sebagai utusan yang akan berdialog dengan kaum khawarij dan berdakwah pada mereka. Sampai-sampai lebih dari 15.000 orang memenuhi seruan Allah untuk kembali pada jalan yang benar.

Di usianya yang ke 71 tahun, Allah memanggilnya. Saat itu umat Islam benar-benar kehilangan seorang dengan kemampuan dan pengetahuan yang luar biasa. “Hari ini telah wafat ulama umat,” kata Abu Hurairah menggambarkan rasa kehilangannya. Semoga Allah memberikan satu lagi penggantinya


Habib Muhammad bin Abdullah Al-Junaid

Antara Islam dan Kaum Muslimin
Jawaban bijak Habib Umar itu bagai air sejuk yang membasahi kerongkongannya yang tengah dahaga di tengah padang sahara. Jawaban itu pula yang seakan menjadi titik awal dari fase baru dalam kehidupannya.

Gagasan sang Guru Mulia Habib Umar Bin Hafidz beberapa tahun silam untuk membentuk sebuah wadah bersama bagi para ulama agar dapat duduk bersama dalam mengatasi berbagai problematik umat mendapat sambutan hangat di berbagai tempat. Kini, Majelis Muwasholah Antar Ulama Mus­limin, nama lembaga yang mewadahi para ulama tersebut, telah memasuki ta­hun kelima. Meski masih seumur jagung, lembaga tersebut sedemikian cepat me­lesat dan memiliki gaung yang besar, baik di Nusantara maupun mancanegara.
Sebagaimana yang pernah disampai­kan Habib Umar sendiri, lembaga ini di­harapkan dapat mengorganisir semua unsur yang terkait untuk kepentingan umat dengan didasari kerangka dan lan­dasan agama yang lurus dan terbuka tan­pa sikap fanatisme berlebihan atau hal yang membingungkan umat agar semua usaha dakwah dari semua unsur dapat lebih tercurahkan untuk kebutuhan yang ter­penting bagi umat dalam menjaga te­gaknya persatuan dan kebersamaan de­ngan mendahulukan sikap lentur dan meng­hargai yang lain. Karena, memang, Islam bukanlah agama yang sempit.
Mensinergikan berbagai unsur umat yang terkait dalam lembaga ini tentu bu­kan perkara yang mudah. Di sini berkum­pul para ulama yang datang dari berbagai latar belakang. Perlu kesungguhan yang ekstra keras, di samping pengalaman yang teruji dan wawasan yang luas bagi para penggiatnya agar kesemua unsur potensial itu dapat secara maksimal sa­ling bersinergi. Amanah berat tersebut kini terutama diemban Habib Muhammad bin Abdullah Al-Junaid, yang duduk se­bagai mudir (direktur) Majelis Muwa­sho­lah Antar Ulama Muslimin.

Menguasai Empat Bahasa
Terlahir pada tahun 1965 di Hadhra­maut, Habib Muhammad melewati masa kecil yang kurang beruntung. Saat mema­suki usia bersekolah, negerinya kala itu tengah dalam cengkeraman penguasa komunis, yang sangat membatasi ruang gerak para ulama. Rubath-rubath (lem­baga-lembaga pendidikan agama) di kota Tarim maupun kota-kota lainnya di Hadh­ramaut tak boleh beraktivitas.
Akibatnya, ia pun melewati pendi­dik­an dari masa kecil hingga remajanya ha­nya di madrasah umum di kota kelahir­an­nya itu. Bahkan selepas pendidikan se­tingkat SLTA, ia sempat ikut pelatihan wa­jib militer selama tiga tahun. Di sela-sela waktunya, bila situasinya memungkinkan, ia menyempatkan diri menghadiri majelis ilmu di tempat Habib Masyhur Bin Hafidz, kakanda Habib Umar Bin Hafidz.
Langkah kaki Habib Muhammad be­rikutnya mengantarkannya hingga sam­pai ke Ukraina. Di sana, selama enam ta­hun, ia menjadi mahasiswa di negeri yang saat itu menjadi salah satu negara bagian Uni Soviet itu. Ilmu kimia, itulah jurusan yang dipilihnya hingga ia lulus dan menggondol gelar sarjana sebagai se­orang insinyur ilmu kimia.
Selepas pendidikan di Ukraina, tahun 1993, ia kembali ke tanah kelahirannya dan mengabdikan diri sebagai salah se­orang tenaga pengajar pada sebuah insti­tusi pendidikan di sana. Tentunya, dalam bi­dang studi yang telah digelutinya sela­ma bertahun-tahun di Ukraina, yaitu ilmu kimia. Saat itu negerinya, Yaman Selatan, telah bersatu dengan Yaman Utara, dan hingga kini gabungan dua negara menye­but negara mereka sebagai Republik Yaman.
Kesungguhannya dalam belajar dan perjalanan hidupnya yang akrab dengan dunia akademis membuatnya memiliki kemampuan berbagai bahasa dunia se­cara aktif. Setidaknya, selain bahasa Arab tentunya, ia menguasai dengan baik ba­hasa Inggris, bahasa Rusia, dan bahasa Spanyol. Karena saat ini ia sering bolak-balik Hadhramaut-Jakarta dan kemudian memiliki banyak aktivitas di sini, yaitu da­lam kapasitasnya sebagai mudir di Maje­lis Muwasholah Antar Ulama Muslimin, tak mustahil bila ke depannya ia dapat pula berkomunikasi dalam bahasa Indo­nesia.

Mematikan Hati?
Selain bekerja sebagai seorang peng­ajar, ternyata Habib Muhammad adalah seorang pebisnis. Di negerinya sana, dulu, ia memiliki usaha sampingan, yaitu membuka sebuah toko yang menjual per­lengkapan suvenir khas Yaman. Sehari-hari, tokonya banyak dikunjungi turis man­canegara yang ingin membawa oleh-oleh suvenir setelah berkunjung ke Ya­man.
Saat itu, yaitu ketika ia mempunyai usaha toko suvenir itu, sesekali ia men­dengar ceramah agama yang disampai­kan beberapa pendakwah di sana. Na­mun hatinya terkadang bimbang dengan perkataan beberapa dai yang didengar­nya pernah menyatakan bahwa sering ber­interaksi dengan orang-orang kafir itu dapat mematikan hati.
Bagaimana tidak bimbang, ia memiliki usaha toko suvenir yang pelanggannya terbanyak adalah kalangan turis manca­negara, yang notabene non-muslim. Lalu, agar ia tak sampai memiliki hati yang mati, apakah ia harus menutup usaha toko su­venirnya itu?
Dalam kebimbangan hati yang ia alami, suatu ketika ia menghadiri sebuah majelis ilmu yang diisi oleh Habib Umar Bin Hafidz. Saat itu kebimbangan hati yang tengah melandanya tampak jelas dari raut wajahnya. Rupanya, Habib Umar memperhatikan hal itu.
Usai majelis, saat berdekatan de­ngan­nya, Habib Umar pun mengatakan kepadanya bahwa sejak tadi sepertinya ia sedang bingung memikirkan sesuatu. ”Ada apa gerangan?” tanya Habib Umar kepada Habib Muhammad.
Habib Muhammad pun mencurahkan isi hatinya saat itu. Ia menuturkan, ia te­ngah dilanda kebimbangan hati. Di satu sisi ia memiliki usaha yang konsekuen­si­nya ia harus sering-sering berinteraksi de­ngan para turis dari Eropa dan berbagai belahan dunia lainnya yang kebanyakan mereka adalah non-muslim, sementara pada sisi lain ia juga mendengar bahwa sering berinteraksi dengan orang-orang kafir dapat mematikan hati. ”Ya Habib...,” ia pun bertanya kepada Habib Umar, ”...apakah saya harus menutup usaha toko suvenir saya ini?”

Fase Baru Kehidupannya
Habib Umar tersenyum. Ia mencoba memahami kebimbangan hati Habib Mu­hammad sekaligus mencoba menenang­kan hatinya. Sejurus kemudian Habib Umar berkata, ”Perkataan itu adalah bagi kebanyakan awam, bukan dalam konteks umum yang membuat setiap kita dapat di­kenai perkataan itu. Bagi orang awam, yang tidak memiliki bekal agama yang cu­kup, sering berinteraksi dengan orang ka­fir dapat membawa alam berpikir mereka kepada pola pikir yang mengakrabi keka­firan, mengingkari ajaran syari’at. Itu artinya membuat hati mereka menjadi mati.
Sedangkan bagi kita, yang telah da­pat mengetahui dan meyakini hakikat ke­benaran agama ini, berinteraksi dengan mereka tidak menjadi masalah. Bahkan, semestinya kita memandang setiap pi­hak, termasuk orang-orang kafir itu, seba­gai lahan dakwah bagi kita. Di situlah pe­luang kita untuk dapat berdakwah terha­dap mereka, setidaknya dengan menun­jukkan akhlaq mulia kita sebagai muslim.”
Jawaban bijak Habib Umar itu bagai air sejuk yang membasahi kerongkong­annya yang tengah dahaga di tengah pa­dang sahara. Jawaban itu pula yang se­akan menjadi titik awal dari fase baru da­lam kehidupannya.
Dalam kesempatan itu pula, Habib Umar menghadiahinya buku-buku ka­rangan Syaikh Nuh Hamim Keller, se­orang mualaf asal Amerika yang menjadi seorang ulama besar dan terkenal. Tak tanggung-tanggung, saat itu ia sampai menerima 27 naskah karya Syaikh Nuh Hamim Keller. Di dalam buku tersebut, ba­nyak hal yang ia dapat, seperti keyakin­an terhadap kebenaran
 ajaran agama suci ini hingga hal-hal yang dapat mem­bawa inspirasi dakwah dalam kehidupan setiap insan muslim.
Keluar dari majelis Habib Umar itu, di dadanya tumbuh bergumpal-gumpal se­mangat dakwah yang kian hari kian mem­besar, menguat, dan menggelora. Ada tekad yang membara di hatinya saat itu. Ya, tekad dakwah, di mana pun dan ka­pan pun. Sejak itu, ia pun bertekad untuk berada dalam barisan dakwah bersama sang guru mulia, Habib Umar Bin Hafidz. Sejak itu pula, ia semakin intens terlibat dalam setiap majelis dan kegiatan dak­wah yang digerakkan Habib Umar.
Tak seberapa lama, ia pun sampai menyewa sebuah gedung untuk dijadikan tempat baginya dalam membantu gerak langkah dakwah sang guru, di antaranya de­ngan menerbitkan sejumlah media dak­wah yang dapat beredar di tengah masyarakat.
Allah SWT telah mentaqdirkannya se­bagai seorang ahli dalam ilmu kimia, yang ternyata hal itu sangat bermanfaat dalam salah satu aktivitasnya melestarikan nas­kah-naskah kitab tua yang masih dapat terselamatkan.
Berbasiskan ilmu pengetahuan yang ia miliki, bahkan ia berhasil menciptakan metode dan mesin tersendiri dengan for­mula kimia yang ia temukan, cara untuk memperbaiki kondisi naskah-naskah ki­tab tua yang masih dapat diselamatkan. Ia pun tercatat sebagai salah seorang mudir di Markaz An-Nur, sebuah lembaga yang bergerak secara khusus dalam pe­nelitian dan pelestarian kitab-kitab atau manuskrip kuno di Hadhramaut.
Beberapa tahun terakhir, ia aktif ter­libat dalam Majelis Muwasholah Antar Ulama Muslimin, dan bahkan kini diper­caya sebagai mudirnya. Sebuah tantang­an dakwah yang amat berat, tentunya. Di bawah koordinasinya, kini Majelis Mu­washolah banyak menjalin hubungan de­ngan berbagai instansi, baik swasta mau­pun pemerintah, dalam kerja sama demi kemaslahatan umat.
Saat berbincang dengan alKisah, ia mengkritisi pola hidup umat Islam yang tak lagi mencerminkan pola hidup se­orang muslim. Hal ini membuat pandang­an tak tepat kerap dialamatkan kepada ajaran Islam. Padahal, bukan Islam-nya yang bermasalah. Agama ini adalah aga­ma yang sempurna, indah, dan menga­gumkan bagi setiap orang yang mau dengan jujur menilainya. Tapi kini, seakan ada jurang yang amat dalam, yang me­misahkan umat Islam dari ajaran agama Islam.

Kisah Syaikh Nuh di Mesir
Kembali pada buku-buku Syaikh Nuh yang pernah dihadiahkan Habib Umar kepadanya. Di antara buku-bukunya itu, Syaikh Nuh, yang pada awalnya adalah seorang Katholik taat yang berprofesi se­bagai pelaut, menceritakan pengalaman­nya ketika suatu saat berada di tengah lautan mendapat guncangan ombak yang amat dahsyat dan luar biasa besar.
Saat itu, sebagaimana dikisahkan kem­bali oleh Habib Muhammad, ia me­rasakan betapa dirinya begitu kecil dan tak berarti. Sedemikian tak berartinya, bah­kan diri seorang manusia itu sesung­guhnya tak memiliki kuasa apa pun dalam menentukan kehidupannya sendiri.
Alhamdulillah, beberapa waktu kemu­dian, ombak pun mereda. Ia selamat.
Setelah peristiwa itu, ia mulai melaku­kan pencarian terhadap tuntunan sebuah agama yang lurus dan benar. Ia mem­pelajari kajian berbagai agama, sampai ia pun tertarik pada ajaran agama Islam. Untuk mengetahui lebih jauh, ia pun pergi ke Mesir.
Sampai suatu ketika, dalam pencari­annya berjalan ke sana dan ke sini di Negeri Piramid itu, ia memperhatikan ting­kah polah umat Islam yang ada di sana. Ia, yang saat itu berpakaian sangat lusuh, bertemu seorang nenek yang mendekati­nya dan memberinya uang.
Ia terkejut. Ia katakan kepada nenek itu, ”Bu, kenapa Ibu memberi uang ini ke­pada saya? Ibu tak kenal saya dan saya pun tak memiliki hubungan apa-apa de­ngan Ibu.”
”Ini shadaqah,”jawab sang nenek dengan tegas. ”Saya tak berharap apa pun dari shadaqah dan shadaqah juga bukan karena masalah dekat atau jauh de­ngan siapa pun. Saya hanya berharap balasan dari Allah SWT.”
Hatinya terperanjat mendengar ja­waban si nenek. Betapa kuatnya jalinan hati antara nenek itu dan Tuhannya. Be­gitu mungkin yang saat itu ada dalam pi­kirannya.
Di lain kesempatan, salah seorang ka­wan yang banyak menemaninya di per­jalanan, yang dikenalnya bukanlah se­orang muslim yang taat, tengah meng­angkut banyak barang dengan semacam troli, kereta dorong. Saat membawa troli itu, tiba-tiba ada salah satu barangnya yang terjatuh.
Keller ingin membantu temannya itu. Secara refleks, ia membungkukkan ba­dannya dan ingin memungut barang milik temannya yang jatuh itu.
Namun, secara refleks pula, sang te­man cepat mencegahnya. ”Jangan, ini Al-Qur’an!!!” teriak sang teman. Ternyata yang terjatuh itu adalah Al-Qur’an.
Sang teman segera mengambil air wudhu tak jauh dari lokasi itu, kemudian memegang dan mengangkatnya secara perlahan.
Sebelum meletakkan kembali di tem­pat semula dan lebih aman, sang teman mencium kitab suci umat Islam tersebut.
Bagai sedang menyaksikan sebuah drama, detik demi detik kejadian itu di­perhatikannya dengan serius. Hatinya ka­gum, sekaligus terharu, betapa kawannya itu, yang notabene di matanya pun bukan termasuk seorang muslim yang taat, amat menghormati kitab sucinya. Peman­dangan semacam ini tak pernah ia da­patkan bahkan pada komunitas Katholik yang taat sewaktu di negerinya dulu.
Sementara, pada tulisannya yang lain, Syaikh Muh Hamim mengisahkan penga­laman seorang mualaf, yang ter­tarik de­ngan Islam dan kemudian menjadi mus­lim, yang pernah mengatakan, ”Se­gala puji hanya milik dan bagi Allah, yang telah lebih dulu mempertemukanku de­ngan Islam sebelum mempertemukanku de­ngan kaum muslimin.” Sebuah ung­kap­an keprihatinan sang mualaf atas si­kap hidup sebagian besar umat Islam di hari ini yang tak lagi mencerminkan ajaran agamanya.

Habib Husein bin Muhammad Assegaf

Sinergi Dakwah dengan Tarbiyah
Dakwah akan kering jika tanpa diairi dengan ta’lim. Dan dakwah akan menuai sukses jika bertanzhim.

Pembawaannya tenang, polos, murah senyum, apa adanya, senang bicara ilmu dan dakwah. Itulah  yang tampak padanya saat kita bersua pertama kalinya. Saat alKisah tiba di kediamannya, habib muda ini tengah mengajar beberapa orang muridnya membaca kitab pelajaran bahasa Arab dan fiqih. Dialah Habib Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Assegaf.
Ia dikenal sebagai muballigh, guru, dan pendidik. Di kediamannya yang berukuran sedang dan sederhana itu juga terdapat beberapa anak santri yang mukim. Mereka belajar di bawah asuhan Habib Husein langsung, yang memang sangat perhatian dengan dunia pendi­dikan anak-anak dan remaja.
Habib Husein lahir di Jakarta, 21 September 1972, tepatnya di daerah Pasar Minggu. Ada kisah menarik ber­kaitan dengan kelahirannya di kampung keluarga Al-Haddad, yang terletak di belakang kantor Bakin saat ini.
Suatu ketika sang kakek, yang terkenal sebagai guru besar ulama-ulama Indonesia, ‘Allamah Al-Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf, hijrah dari Solo ke Jakarta. Ia diminta Habib Salim bin Thaha Al-Haddad Pasar Minggu untuk membantu kegiatan majelisnya dalam beberapa tahun. Habib Ahmad, yang memang berkecimpung di dunia pendidikan, tentu sangat senang men­dapatkan kehormatan besar itu. Selain mengajar, Habib Ahmad juga menjadi direktur madrasah Jamiat Kheir.
Setelah sekian tahun berada di Ja­karta dan beberapa kota besar di Jawa, ia memutuskan untuk pulang ke kam­pung halamannya, Hadhramaut.
Habib Ahmad wafat dalam perjalan­an pulangnya tersebut. Agar tak mati obor, kata orang Betawi, putra Habib Ahmad yakni Habib Muhammad men­coba merajut silaturahim yang telah dibangun ayahandanya dengan Habib Salim bin Thaha Al-Haddad. Ia rajin men­datangi majelis Habib Salim dan mem­bantu kegiatan ta’lim di kampung Al-Haddad ini. Di situlah Allah menakdir­kan­nya berumah tangga. Habib Mu­ham­­mad menikah dengan seorang wa­nita dari keluarga Al-Haddad, Syarifah Ni’mah binti Hasyim Al-Haddad. Dari per­nikahan itu, Habib Muhammad men­dapatkan beberapa orang anak, di an­taranya putra terkecilnya, tokoh figur kita kali ini, Habib Husein bin Muham­mad bin Ahmad bin Abdullah Assegaf.
Anak Angkat Habib Ali Johor
Habib Husein menempuh pendidikan dasarnya di Pasar Minggu. Saat baru be­berapa bulan melanjutkan pendidikan­nya di SMP, ayahandanya, Habib Mu­hammad, wafat.
Amminya (pamannya), Habib Abdul­lah, yang banyak aktif di Kantor Rabithah Alawiyah, sangat dekat dengan ketua Rabithah saat itu, Habib Syech bin Ali Al-Jufri. Habib Syech sering mondar-man­dir ke Malaysia, menemui salah se­orang sahabatnya, seorang alim dan pendidik yang kaya raya, Habib Ali bin Hasan Alatas, yang mengasuh madra­sah peninggalan kakeknya, Habib Ha­san bin Ahmad Alatas Johor.
Pada suatu kesempatan, Habib Ali bin Hasan Alatas meminta tolong ke­pada Habib Syech Al-Jufri agar dicarikan seorang anak untuk dijadikan anak angkatnya. Habib Syech meminta tolong kepada ‘Ammi Abdullah, apakah putra Habib Muhammad, yakni tokoh figur kita ini, bersedia menjadi anak angkat Habib Ali Johor dan tinggal bersamanya di Johor Malaysia.
Singkat cerita, Habib Husein muda menjadi anak angkat Habib Ali bin Hasan Alatas. Ia bersekolah di Madrasah Al-‘Attasiah, sekolah Islam tertua di Malay­sia, yang dibangun Habib Hasan bin Ahmad Alatas, seorang hartawan yang dikenal dermawan. Bahkan keterkenalan namanya diabadikan untuk sebuah pu­lau di kepulauan Malaysia dengan nama Pulau Hasan bin Ahmad Alatas. Habib Ali sendiri, yang tak lain cucu Habib Hasan, dikenal sebagai ketua jawatan pengusaha (seperti Kadin) se-Malaysia. Habib Ali sangat concern dengan dunia pendidikan. Ia juga senang berkumpul dengan para ulama.
Di madrasah Al-Attasiah, sering ada pertemuan ulama-ulama tingkat dunia. Tokoh-tokoh ulama besar seperti Habib Hasan Asy-Syathri, Habib Salim Asy-Syathri, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Umar Bin Hafidz, dan ba­nyak kiai dari Indonesia sering hadir dalam berbagai kesempatan di Madra­sah Al-Attasiah. “Alhamdulillah, ana ber­kesempatan mengenal langsung mere­ka, menyentuh tangan mereka, tabarruk kepada mereka...,” katanya penuh syukur.
Di Al-Attasiah, Habib Husein belajar dengan sungguh-sungguh. Selama tujuh tahun ia bersekolah di sana, di bawah asuhan dan bimbingan sejumlah guru yang tak hanya pandai mengajar dengan pengetahuan­nya, tapi juga mendidik dengan akhlaq­nya. Di antara guru-gurunya ialah Habib Muhsin bin Umar Alatas Lawang, Habib Zein Al-Habsyi, Habib Ahmad Nasim Alatas. Semua guru sa­ngat berkesan baginya, namun, “Habib Muhsin Alatas-lah yang meng­asuh ana selama tujuh tahun dengan segala per­hatiannya,” ujarnya menge­nang masa-masa belajar.
Setelah menempuh pendidikan Tsa­nawiyah hingga lulus Aliyah, pada tahun 1993 ia disuruh memilih untuk melanjut­kan pendidikan, ke Mesir atau lainnya. “Pada saat itu Malaysia lebih banyak berhubungan dengan Al-Azhar Mesir, se­­hingga ana ikuti apa yang ditawarkan Habib Ali bin Hasan Alatas, yakni ke Al-Azhar,” kata Habib Husein.
Sebelumnya ia sempat mengajar se­lama setahun di Malaysia. Honor meng­ajar itu dikumpulkannya demi pulang kampung menengok ibu dan saudara-saudaranya di Jakarta.
Setelah itu ia kuliah di Al-Azhar, mengambil jurusan bahasa Arab. Inilah jurusan yang sangat tidak diminati mahasiswa asing (non-Arab), karena tingkat kesulitan pada hafalan-hafalan syair Jahili, Andalusi, dan sebagainya. Belum lagi hafalan Al-Qur’an, hadits, dan berbagai kerumitan dalam gramatika. “Tapi lantaran cinta dan suka, ana jalani itu. Ana paling hobi membaca. Jika ke perpustakaan atau toko buku, ana bisa berjam-jam menghabiskan satu buku untuk ana baca. Ke toko buku bisa dari pagi sampe sore, padahal yang dibeli cuma satu-dua buku,” kata Habib Husein sedikit bergurau.
Habib Husein rutin menyambangi majelis-majelis ilmu yang diasuh Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, Syaikh As’ad, Syaikh Muhammad Hasan, dan bebe­rapa ulama lainnya. Bahkan ada rauhah (majelis) Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri di Kairo yang rutin dihadirinya. Be­gitu pula jika Habib Umar Bin Hafizh da­tang berkunjung, ia tak akan menyia-nyiakan waktunya untuk ber-muwajahah (tatap muka). “Mesir itu kota ilmu, ilmu apa saja ada. Pokoknya, masya Allah... tapi ana tetap merajut hubungan dengan habaib yang alim-alim ini, agar tak putus dengan akar kita,” demikian kata Habib berputra tujuh orang ini.
Selama kuliah di Mesir, ia merasa­kan beban berat menuntut ilmu. Maha­siswa Indonesia, tak seperti mahasiswa Malaysia, umumnya agak sulit secara ekonomi. Kalau Malaysia sangat diper­hatikan, baik oleh pemerintahnya mau­pun pribadi-pribadi yang dermawan. Me­reka disokong bantuan dan beasiswa yang memadai.
Alhamdulillah, perhatian Habib Ali bin Hasan Alatas, ayah angkatnya, sa­ngat besar. Habib Ali banyak membantu­nya di tanah rantau, di Negeri Seribu Me­nara itu.
Setelah enam tahun menimba ilmu di Mesir dan berhasil menamatkan pen­didikannya, ia kembali ke Malaysia.
Panggilan Dakwah
Sebagaimana lazimnya, ia diharus­kan mengabdi di almamaternya itu. Ia mengajar berbagai materi ilmu-ilmu Islam dengan kitab-kitabnya. Ia juga me­nyambi untuk mengajar di Singapura. Hingga hari ini ia masih berkunjung ke Singapura untuk keperluan mengajar tersebut.
Setelah mengabdi di Al-Attasiah, alma­maternya, selama tujuh tahun, pada tahun 2004 ia pulang ke tanah air.

Ia sempat mengajar agama dan ba­hasa Inggris di sebuah sekolah elite di kawasan utara Jakarta selama tiga tahun. Namun ia ingin fokus menggeluti dakwah, mengajar anak-anak pribumi muslim, yang terpinggirkan.
Ia sadar, kehidupan ekonominya akan berbalik 180 derajat. Namun pang­gilan dakwah itu begitu besar, “Hati ana hanya mau berkhidmah untuk dakwah dan mengajar anak-anak negeri ana, Indo­nesia, yang ana cintai. Karena me­rekalah yang butuh sentuhan tarbiyah dari kita, sebagaimana habaib kita di masa lalu mencontohkan,” katanya. Sehingga ia mengajukan pengunduran diri dari sekolah elite tersebut.
Suatu ketika ia bermimpi. Dalam mim­pinya itu, ada suara berkata, “Ya Husein, ente sebaiknya jualan genteng aja.”
Setelah bermusyawarah dengan sang istri, ia mendapat jawaban, “Habib kan Assaggaf, atap, nah atap itu berkait dengan genteng. Genteng dan atap itu menaungi yang di bawahnya, agar tak kehujanan dan kepanasan.” Dari mimpi itulah ia mendapati makna yang men­da­lam bahwa ia memang harus berkhid­mah dalam dakwah. Menaungi masya­rakat dengan ilmu dan dakwah agar se­lamat dari murka dan adzab, membim­bing mereka ke jalan Allah, Rasul, dan salaf yang shalih.
Habib Husein lalu membuat payung bagi kegiatan dakwahnya ini dengan nama “Ahbabu Rasulillah SAW”. Kegiat­annya pun beragam. Memadukan tab­ligh, ta’lim, dan tanzhim. Dengan  me­laku­kan ta’lim, misalnya, ia membimbing santri-santrinya dengan pengajian kitab secara keliling, membangun pondok tahfizh Qur’an, hadits, fiqih, serta bahasa.
“Santri-santri ana emang belum seberapa banyak. Tapi di antara mereka ada yang sudah piawai dalam bahasa Arab, hafal sekian juz Al-Qur’an, hafal kitab Matn Zubad, dan seratus hadits. Target ana, mereka bisa memimpin masyarakat dalam hal dakwah dan ibadah,” kata habib yang juga pernah menangani sebuah pondok di Mega­mendung, Bogor, ini. Putranya sendiri, yang digemblengnya sejak dua tahun belakangan ini, telah hafal 10 juz Al-Qur’an, kitab Zubad, dan setengah bagian dari kitab hadits Riyadhush Shalihin. Begitu juga dengan beberapa anaknya yang lain, dengan hafalan Al-Qur’an yang beragam jumlah juznya.
Selain mengajarkan bahasa Arab, Habib Husein juga membekali santrinya dengan bahasa Inggris. Tetapi dari itu semua, yang ia tekankan adalah hafalan Al-Qur’an dan hadits. Karena itu pintu gerbang bagi pendalaman ilmu-ilmu lainnya.
Dakwah dengan Tanzhim
Selain concern pada pendidikan, Habib Husein juga menekankan dak­wah­nya dengan tanzhim. Yaitu berlatih berorganisasi, aktif melakukan hubung­an sosial, menjalin hubungan erat de­ngan berbagai komponen masyarakat.
Misalnya, ia menjalin komunikasi yang intens dengan FPI (Front Pembela Islam), MER-C, Majelis Ustadz Arifin Ilham, dan berbagai kompenen dakwah lainnya, untuk bersinergi. “Kita ini jangan eksklusif. Kita kudu peka dengan apa yang terjadi di masyarakat. Lihat tuh, anak-anak yatim, Palestina, kemak­siat­an di masyarakat... siapa yang harus tu­run  tangan kalau bukan kita semua. Kita sentuh mereka dengan dakwah bil hik­mah wal maw’izhatil hasanah,” ujarnya.
Habib Husein pernah didatangi se­orang pendeta, yang ingin mengujinya dan mengkritisi gerakan dakwahnya. Ia pun menyambut kedatangan si pendeta. Ia hanya berkata, “Silakan buka Injil Anda, biar saya menyimaknya. Lalu akan saya jawab kekeliruan-kekeliruan Anda, dengan dalil dari Injil Anda juga.”
Si pendeta terkesiap dengan kata-kata sang habib, dan dia pun ngeloyor pergi begitu saja, seolah menyadari bah­wa dia telah kalah sebelum bertanding.
Habib Husein bin Muhammad Asse­gaf memang seorang dai dan pendidik sejati. Dakwah baginya kering jika tanpa diairi dengan ta’lim. Dan dakwah akan sukses jika bertanzhim. Kini ia  ber­dakwah seperti halnya datuknya, ‘Alimul ‘Allamah Faqidul ‘Ilm Wattarbiyah Asy-Sya’ir Al-Adib Al-Habib Ahmad bin Abdullah Asseggaf rahimahullah rahma­tal abrar, yang disebut murabbi dan mu’allim yang penuh inspirasi.