Rabu, 30 Oktober 2013

Habib Umar Abdul Aziz bin Abdurrahman Syahab

Pimpinan Pondok Pesantren Rubath al Muhibbien
Dari kana Habib Umar Abdul Aziz bin Abdurrahman Syahab dan Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani.

Tenang, hangat dalam bergaul, dan humoris itulah kesan habib kelahiran 1961 ini.

Habib Umar Abdul Aziz adalah putra Habib Abdurrahman bin Muhammad Shahab, seorang yang dikenal menyukai dan mencintai ulama , buah pernikahannya dengan syarifah Sidah binti Ahmad bin Abdurrahman Shahab. Masa kecil dihabiskan di kota palembang.

Pada tahun 1967, ia belajar di madrasah Baitul Ulum, asuhan K.H. Kemas Umar, yang tidak lain murid kakeknya. Kemudian pada tahun 1973 ia melanjutkan studinya kepondok pesantren Ar-Riyadh, yang diasuh Habib Ahmad bin Abdullah Al-Habsyi dan Habib Muhammad bin Hussein bin Shahab keduanya murid Habib Syekh bin Muhammad Al-Habsyi, saudara Habib Ali Shahibul Maulid. Di pesantren Ar-Riyadh itu Habib Umar adalah angkatan pertama.

Setelah menimba ilmu lima tahun lamanya, pada tahun 1976 ia meneruskan belajar ke Makkah bersama Habib Hamid Nagib bin Syaikh Abibakar bin Salim dan K.H. Usman bin Salman Lubis hingga tahun 1983. Bersama kedua kawannya, ia belajar di rubath yang di asuh Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani.

Setelah Lulus, ia mendapat izin untuk pulang ke tanah air dan mengabdikan diri di pesantren Ar-riyadh, ia mengabdi hingga tahun 2000.
Tahun 2000. Habib Umar mencoba merintis pendirian rubath yang dinamakannya Al-Muhibbien. Hingga kini jumlah santri yang di asuhnya mencapai 170 santri putra dan putri.

Santri Putri diasuh oleh Istri Habib Umar dengan pondok tersendiri yang bernama Rubath Darul Fuluh. Adalah Hababah Nur, Istri Habib Umar bin hafidz,  yang memberi nama Rubath khusus perempuan ini. Istri Habib Umar bin Shahab ini lulusan Daruz Zahra, Tarim, yang di asuh Hababah Nur.

Tentang Penamaan Rubath Al-Muhibbien, Habib Umar menyatakan, penamaan itu untuk menanamkan doktrin mencintai Allah dan Rasulullah SAW serta mencintai hal-hal yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Rubath yang di asuhnya ini memadukan materi yang diajarkan di Darul Musthafa dan Rubath Al-Maliki. Ia meyakini, kedua lembaga itulah yang menjadikan Khidmah dalam mentransfer keilmuan berdampak kemajuan bagi umat islam Indonesia. karena sumbernya yang terjaga oleh pelestari silsilah ilmu dari Rasulullah SAW.

Selain berkiprah di dunia pendidikan Habib Umar Abdul Aziz juga menyempatkan diri untuk berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Ia berdakwah ke berbagai pelosok Pulau Sumatera. Palembang, Bangka, Jambi, dan Lampung, adalah daerah yang paling sering di datanginya untuk berdakwah. Bahkan beberapa tahun belakangan ia sering ke Malaysia dan Singapore atas undangan para ulama setempat, seperti majelis Syed Ibrahim Bin Yahya di Pahang dan Kelantan.

Khidmatnya untuk berdakwah juga ditularkannya kepada para santri. Santri-santrinya itu dilatih untuk berdakwah ke beberapa daerah di Sumatera selatan.

Selain itu, Habib Umar juga mengasuh beberapa pengajian Majelis Taklim Al-Aqidah An-Nafi’ah di kampung hilir, dengan materi pembacaan kitab Al-Aqidah An-Nafiah, karya Habib Ali Bin Abibakar As-sakran. Kemudian Majelis Ta’lim Ahli Tarim dengan kitab ‘Umdatul Ahkam, Karya Syaikh Al-Hafizh Taqiyyudin Al-maqdisi, dengan syarahan Allamah Sayyid  Alwi bin Abbas Al-Maliki.


Habib Sholeh bin Muhammad Al-Jufri

Habib Sholeh Al-Jufri termasuk generasi pertama santri-santri dari Indonesia yang dididik oleh Habib Umar Al-Hafidz di Darul Musthofa, Tarim, Hadramaut. Ia terkenal sebagai penerjemah yang handal dari Surakarta.Wajah habib yang satu ini kerap muncul di acara maulid atau kegiataan perayaan hari besar Islam. Ia tampil setelah pembicara pertama yang memakai bahasa Arab sangat fasih. Tentu bagi para jemaah yang tidak mengetahui bahasa Arab, akan kesulitan menyimak isi taushiah pertama. Tapi dengan kehadiran Habib yang satu ini, taushiah dari pembicara pertama tadi dapat disimak dan dipetik hikmah mutiara kata-kata. Satu persatu isi taushiah, oleh habib yang berusia 39 tahun ini, diterjemahkan dengan lancar dan gamblang.
Itulah Habib Sholeh bin Muhammad Al-Jufri, selama ini memang lebih banyak dikenal sebagai penerjemah handal, khususnya bagi tamu dari Timur Tengah. Habib Sholeh Al-Jufri, demikian kerap para muhibbin memanggil habib kelahiran Surakarta, 30 September 1970. Selain dikenal sebagai penerjemah, ia juga mengisi kegiatan sehari-hari sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Darul Musthofa di Desa Salam RT 01/03, Kecamatan Karang Pandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Masa kecil Habib Sholeh banyak dididik oleh kedua orang tuanya di Surakarta. Selain itu, sang ayah juga mengundang guru mengaji ke rumah. Sehingga pendidikan dari sejak masa kanak-kanak sampai usia remaja, telah nampak sosok pada Habib Sholeh menjadi seorang dai. Selain itu, ia juga mengikuti pengajian di zawiyah Habib Anis Al-Habsyi di Gurawan, Solo, mulai 1985.
Saat menginjak kelas dua SMP, ia sudah bergabung dengan ahli-ahli dakwah keliling keluar kota seperti berdakwah ke daerah Tapanuli, Padang, Lampung, bahkan sampai ke luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia, Brunai dan lain-lain. Saat itu, ia bergabung dengan para dai yang ada di kota Solo seperti Ustadz Abdulrahiem, H Ikhwan, H Dimyati, H Jamil, dan lain-lain.
Pada tahun 1990, ia berkesempatan berkunjung ke India dan Pakistan untuk berziarah sekaligus bertemu dengan para alim ulama yang ada di dua negeri. Ketika di Pakistan itulah ia bertemu dengan salah seorang ustadz dari Yaman. Pada waktu itu Habib Sholeh belum lancar benar berbahasa Arab, dan akhirnya ia memakai pengantar bahasa Inggris dan bercakap-cakap dengan ustadz dari Yaman itu. Ternyata setelah berkenalan, ustadz dari Yaman itu mempunyai sebuah madrasah dan menawari Habib Sholeh untuk sekolah di di Yaman Utara.
Akhirnya sepulang dari Pakistan, ia semakin bergiat dengan persiapan-persiapan untuk berangkat ke sana. Pada akhir 1993 ia baru mendapat ijin dari orang tua untuk berangkat seorang diri ke Yaman dengan berbekal sebuah alamat dari seorang ustadz yang dikenalinya di Pakistan.
Sampai di Yaman ia langsung menuju alamat yang dipegang dan setelah mencari sebentar, akhirnya ia menemukan alamat tersebut. Di tempat tersebut, Habib Sholeh belajar pada Habib Musa Kadhim Assegaff dan Habib Abdurahman bin Hafizh (keponakan Habib Umar).
Melalui kedua gurunya itulah, Habib Sholeh mengetahui kalau Habib Musa Kadhim dan Habib Abdurrahman adalah murid dari Habib Umar Al-Hafizh, sehingga timbul dalam hatinya untuk belajar pada Habib Umar. Ia akhirnya mendapat ijin belajar pada Habib Umar di Hadramaut.
Ketika ia akan berangkat ke Hadramaut, tenyata di Yaman sedang terjadi perang saudara antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. “Waktu itu, kita bisa melihat peluru dan bom yang berseliweran di atas kepala. Apalagi saat itu cuaca sedang cerah karena musim panas yang luar biasa. Akibatnya kita tidak bisa tidur di dalam kamar, karena estalase listrik juga mati (habis). Mau tidak mau, kita tidur di atas bangunan (atap rumah). Alhamdulillah saya berada di tempat itu dan dalam keadaan aman. Baru ketika dipastikan keadaan Yaman sudah aman betul, saya baru bisa berangkat ke Hadramaut,” katanya.
Ketika situasi perang sudah mulai reda, kontak senjata pun sudah jarang terjadi, ia lalu berangkat menuju Tarim. Kota yang pertama kali dituju adalah kota Syihr, tepatnya Rubath (pesantren) Musthofa.
Selepas dari Rubath Musthofa dan singgah menetap selama kurang lebih 1 bulan, ia ke Tarim dengan maksud untuk bertemu dengan Habib Umar untuk meminta ijin mondok di Rubath Darul Musthofa, Tarim.
Saat itu Habib Umar memang sedang berada di Syihr dan saat bertemu dengan Habib Sholeh, Habib Umar langsung tertarik untuk mengangkat Habib Sholeh sebagai muridnya. Waktu itu murid-murid dari Indonesia yang sudah datang kira-kira sudah tinggal selama dua bulan. Generasi awal ini seperti Habib Jindan bin Novel Salim Jindan, Habib Munzir Al-Musawa, Habib Shodiq Baharun, Habib Quraisy Baharun, dan lain-lain. ”Jadi, Untuk kedatangan ke Tarim mereka dua bulan lebih dulu. Tapi kalau kedatangan ke Yaman, saya lebih dahulu,” ujarnya.
Kesan Tarim
Hari-hari di Darul Musthofa, Tarim dilalui dengan indah oleh Habib Sholeh. Setiap hari, waktu dimanfaatkan benar untuk belajar dan mengkaji ilmu agama. Apalagi keinginanannya untuk menguasai bahasa arab secara mendalam, dapat diperoleh di Rubath, yang terkenal telah menghasilkan ratusan ulama dari berbagai belahan dunia itu.
“Saya sangat terkesan sekali di Darul Musthofa.Walau dari kecil saya mengembara dakwah dengan para ustadz senior saya di Surakarta, dalam hati saya masih ada celah kekosongan. Itu semuanya saya peroleh di Darul Musthofa. Habib Umar duduk di situ, istilahnya bathin saya sangat terpenuhi dengan ilmu dan kerohanian dari Habib Umar,” katanya.
Uniknya, selama belajar di Darul Musthofa, ia banyak sekali mendapatkan keajaiban-keajaiban yang ditemukan baik secara lahir maupun bathin. Setiap kali ia punya permasalahan-permasalahan dan pertanyaan-pertanyaan di hati, kalau tidak mendapat jawaban dari Habib Umar dengan lisan, akan terjawab lewat mimpi. “Sehingga sembuh kalau ada keraguan atau yang bingung terpenuhi di antaranya lewat mimpi. Ini sungguh luar biasa bagi saya. Seperti tanah yang kering kemarau sangat lama, kemudian terkena hujan,” kata Habib Sholeh.
Selama di Darul Mustofa, ia pernah menjadi koordinator rekan-rekan senior, satu angkatan seperti Habib Munzir, Habib Hadi Alaydrus dan lain-lain dengan ijin Habib Umar ia bergabung dengan Jamaah Tabligh. Ia memprakasai kerjasama itu, di mana selama seminggu sekali santri-santri latihan untuk berdakwah.
Setelah berjalan beberapa bulan, akhirnya Habib Umar Al-Hafidz memutuskan gerakan dakwah para santri untuk berdikari atau berdiri sendiri. “Sampai sekarang, langkah dakwah para santri Darul Musthofa masih berjalan, mulai dari yang mingguan dan bulanan,” tuturnya.
Di mana setiap hari Kamis siang, para santri Darul Musthofa diwajibkan untuk berangkat dakwah ke suatu daerah dan baru boleh pulang pada Jumat sore. Sistemnya adalah santri-santri membuat rombongan, kemudian iktikaf di masjid dan berdakwah, dengan mengisi khutbah Jumat atau ceramah setelah shalat Jum’at.
Selama di Tarim, banyak sekali kenangan indah yang selalu menyertainya. Tarim menurut Habib Sholeh, memiliki adat yang luar biasa dan sudah terbentuk oleh salaf ratusan tahun yang lalu. “Saat Ramadhan dimaksimalkan untuk hari ibadah. Di mana di Tarim sudah menjadi tradisi untuk menghidupkan suasana malam yang luar biasa, jarang ditemui di negeri –negeri lain,” kenangnya.
Keistimewaan Tarim lainnya, kata Habib Sholeh, kota para wali ini merupakan sebuah madrasah yang besar bagi siapa saja yang datang dan mengambil ilmu. ”Tarim adalah sebuah kota Kecamatan, tapi kecamatan itu menjadi sebuah Madrasah yang besar. Bukan madrasah yang kecil dengan yayasan tertentu. Kecamatan Tarim adalah sekolahan, di situ dibentuk tradisi yang sudah ratusan tahun,” terangnya.
Di Tarim, ada majelis–majelis taklim dari pagi sampai malam. Seperti sehabis shalat Subuh di tempat Sayidina Alaydrus. Habis shalat Dhuha di tempat Mufti Bafadhal dan lain-lain. ”Uniknya, majelis taklim yang ada itu umurnya sudah ratusan dan tempat majelis taklimnya tidak berubah. Materi yang diajarkan selalu sama dan kitab-kitabnya selalu relevan untuk menjawab permasalahan-permasalahan jaman sekarang,” katanya.
Orang–orang yang masuk atau ikut majelis bisa membayangkan, dahulu orang-orang besar (para waliyullah) pernah duduk di situ, lanjutnya. “Dari Sayidinia Abubakar Syakran, Faqih Muqaddam, dan lainnya, sehingga timbul suasana haru dan khusyuk bila hadir di majelis taklim. Demikian pula yang mengajar, karena yang mengajar harus muasis yang pertama (atau masih keturunan dari pengasuh majelis taklim),” ucapnya.
Wajar ada sebuah pepatah orang Tarim yang berbunyi, “Tarim adalah guru bagi orang yang tidak punya guru.” Sehingga orang berjalan di mana-mana tidak akan kebingungan, karena akan bisa ditunjukan oleh posisi kota Tarim sendiri.
Selama menimba ilmu di Darul Musthofa, selain belajar langsung dengan Habib Umar Al-Hafidz, ia dan 29 santri asal Indonesia juga belajar dengan para alim ulama dan keturunan orang-orang besar yang ada di sana. Waktu itu, memang sistem pelajaran Darul Musthofa, 50% pelajaran didapat di pondok, dan 50% lainnya belajar dengan di majelis-majelis taklim. Habib Hasan Syatiri, Habib Salim Syatri, Habib Abdullah bin Shahab, Habib Mashur Alaydrus, Syekh Fadl Bafadal, Habib Sa’ad Alaydrus dll.
“Habib Umar hanya mendampingi, bahkan karena sayangnya Habib Umar kepada kita, beliau membawa mobil sendiri. Kadang kita jalan kaki sampai 5 kilo, dalam suasana panas, dan menembus gelap malam. Ini merupakan pendidikan mental lahir dan bathin,” kenangnya.
Kiprah di Solo
Tahun 1998, ia bersama dengan angkatan pertama, pulang ke tanah air langsung diantar oleh Habib Umar. Setelah pulang, ia bergabung dengan majelis taklim Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi (alm). “Habib Anis ini sifatnya suka membantu pemuda yang berdakwah. Istilahnya mengorbitkan. Santri diminta mengisi ceramah di maulidnya Habib Anis, bergiliran dengan penceramah-penceramah yang lain. Kemudian juga kita diberi kesempatan dalam acara-acara yang ada di Zawiyah Riyadh, seperti acara Khataman Bukhari, Rauhah, Khutbah Jumat di masjid Assegaff dan mengisi pengajian di masyarakat setempat,” jelas bapak tujuh anak (4 laki-laki, 3 perempuan).
Baru pada tahun 1999, medio Juni, ia bekerja sama dengan teman-teman di Solo mendirikan sebuah pondok pesantren yang direstui oleh Habib Anis dan Darul Mustofa Tarim. ”Semula menyewa tempat (di kota Solo). Alhamdulillah pada tahun 1999 dibuka dan dihadiri oleh para tokoh-tokoh yang ada di Solo seperti Habib Anis Alhabsyi (alm) dan Ustadz Nadjib Asegaf,” katanya.
Setelah dakwah berjalan, pada tahun 1999 ada donatur yang menawari untuk membeli tanah wakaf. Ia kemudian meminta saran pada Habib Anis. “Kira-kira, tanah wakaf yang bagus untuk pesantren di bawah Tawangmangu, tapi letaknya di atas Karanganyar,” kata Habib Sholeh menirukan Habib Anis.
Akhirnya dipilihlah desa Salam, kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar sebagai tempat pendirian pesantren. Rupanya, pilihan Habib Anis itu memang tepat dan punya maksud baik. Karena daerah Karangpandan itu berhawa sejuk, “Kalau daerah Tawangmangu terlalu dingin, di Karanganyar itu sudah panas. Jadi tidak perlu selimut kalau malam, dan AC kalau siang. Tempatnya bagus, udaranya sejuk dan nyaman untuk belajar, itu semua berkah dari Habib Anis,” terang Habib Sholeh.
Tahun 1999 itu juga akhirnya bisa beli tanah dan pembangunan baru dimulai pada tahun 2000, yang meletakan batu pertama adalah Habib Anis Alhabsyi, Habib Muhammad bin Alwi Assegaf. Setahun berikutnya dibuka oleh Habib Anis dan Habib Umar bin Hafidz.
Saat ini jumlah santri yang menetap di Darul Musthofa (Karangpandan), berjumlah 50 santri di dalam dan khoriji (di luar) ada sekitar 300 laki-laki dan perempuan. Kurikulum, pendidikan pesantren 95% mengambil kurikulum Darul Musthofa, Tarim. 5% adalah tambahan penyesuaian dengan keadaan di Indonesia.Walau Darul Musthofa Karangpandan itu terhitung masih baru, tapi kedatangannya mampu memberikan manfaat dan bisa diterima oleh masyarakat.
Hal ini tak lepas dari cara pendekatan dakwah yang dibangun, yakni membangun pola kemitraan dengan masyarakat setempat. “Pesantren ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan yang ada di masyarakat, seperti kegiatan khitanan masal setiap tahun, santunan anak yatim, zakat fitrah, Idul Adha, dan kita menerjunkan murid-murid ke masyarakat. Sehingga masyarakat betul-betul merespon,” katanya.
Selain itu, di Darul Musthofa Karangpandan, ia juga mengadakan pengajian rutin mingguan khusus ibu-ibu. Serta pembacaan Ratibul Haddad tiap selapan (tiap Minggu Pon) yang dihadiri oleh masyarakat setempat.
Menurut Habib Sholeh, tantangan dalam berdakwah di pesantren justru bukan dari luar, namun secara prinsip tantangan itu pada diri sendiri. “Asal kita punya niat bersungguh-sungguh dan semangat yang istiqamah serta ikhlas. Insyaallah tidak ada tantangan,” katanya.
Dakwah, lanjutnya, haruslah dilandasi dengan prinsip kasih sayang. Bahkan terhadap orang-orang yang memusuhi kita pun, wajib kita sayangi karena orang-orang yang memusuhi dakwah itu karena belum paham. ”Terhadap orang yang memusuhi, kita datangi dan kasih hadiah. Dengan adanya silaturahim akhirnya mereka dari memusuhi, paling tidak menjadi pasif. Sampai akhirnya bisa jadi simpatik,” katanya.



Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abu Bakar bin Salim

Beliau adalah pembimbing besar kepada banyak santri untuk senantiasa cinta pada Allah dan Rasul-Nya. Habib yang periang, bersahabat, penuh dengan senyum, dan tak pernah membeda-bedakan siapa saja yang beliau temui.

Riwayat Hidup dan Keluarga

Lahir
Habib Saggaf bin Mahdi lahir di Dompu Nusa Tenggara Barat ( NTB ) Tanggal 15 Agustus 1945.
Pendidikan Awal
Berawal dari kalimat “NANTI kamu jadi ulama besar dan kaya raya. Kamu masuk pondok saja. Berangkatlah tawakkaltu,” demikian nasihat Habib Soleh bin Ahmad bin Muhammad al-Muhdhar ulama besar dari Bondowoso, Jawa Timur usai ‘meneliti’ kaki Saggaf bin Mahdi yang masih berusia 14 tahun. Namun Saggaf muda masih ragu. Pasalnya sejak kecil ia tak pernah mondok. “Kepala seperti mau pecah mendengar perintah itu. Tapi saya pergi juga ke Pesantren Darul Hadits di Malang,” kenang Habib Saggaf, panggilan akrab Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar.
Nyantri Di Malang
Di depan pintu ponpes, Saggaf diterima pendiri Darul Hadits, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al Alawy. “Kamu musti belajar baca al-Qur’an,” kata Habib Abdul Qadir seraya memegang kuping Saggaf. Sontak, sakit kepala dan keraguan Saggaf hilang. “Hati saya terbuka. Ini guru saya. Apa pun yang terjadi, saya harus belajar di sini,” tekad Saggaf muda. Saggaf pun menempuh pendidikan di sana dengan cemerlang. “Saya menjadi santri hanya 2 tahun 7 bulan dan langsung ngajar fiqh dan nahwu. Saya di sana 13 tahun,” kenangnya.
Belajar Thariqat
Sepulang dari Malang, Saggaf berguru ke Masjid Sayyidina Abbas di Aljazair selama 5 tahun dan i’tikaf di Makkah selama 5 tahun. Saggaf juga memperdalam tareqat di Irak. Namun ia harus kembali ke Tanah Air. Guru tarekatnya yang beraliran Syadziliyah, merekomendasikannya belajar tareqat di Mranggen, Kabupaten Demak ke Syekh Muslih Abdurrahman. “Karena tareqat Syadziliyah agak sulit di Indonesia, maka saya disuruh ke Mranggen yang beraliran Qadiriyyah. Syekh Muslich Mranggen itu guru tareqat saya,” ungkap Saggaf kepada Gamal Ferdhi dan Ahmad Suaedy dari the WAHID Institute. Dia pun lantas kembali ke Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat untuk mendirikan Ponpes Ar-Rahman. Tak lama berselang, Saggaf pindah ke Parung Bogor mendirikan Ponpes al-’Ashriyyah Nurul Iman. Sebelum ke Parung, Saggaf mendirikan Ponpes Nurul Ulum di Kali Mas Madya, Surabaya, yang banyak menerima murid dari Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Afrika.
Habib Saggaf juga terus menanamkan toleransi antar pemeluk agama di negeri ini. Karenanya, ia menyayangkan aksi kekerasan sekelompok orang dengan mencatut Islam. “Akibatnya Islam dipandang salah. Orang Islam dianggap ‘tukang makan orang,” ujarnya lugas. Selain itu, kata Habib Saggaf, rusaknya citra Islam juga karena ajaran Islam disalahpahami. “Itu, orang-orang yang ngaku mujahid. Mujahid apa itu, berontak di negara orang. Mereka bikin kacau Indonesia. Kalau saya presiden, saya usir mereka. Saya tangkap dan saya suruh tinggal di Arab. Jadi, jika kita ingin memperbaiki, jangan yang sudah rusak dirusak lagi. Itu baru mujahid,” himbaunya.
Untuk itu, ia menghimbau kelompok yang mengusung nama Islam agar menyelesaikan persoalan melalui mekanisme hukum. “Ini Indonesia. Ada pemerintah, ada hukum, dan ada polisi. Mereka yang menjaga keamanan. Jika tidak melalui jalur hukum, berarti ingin mendirikan negara dalam negara. Tapi pemerintah juga salah, kok orang-orang kayak begitu (anarkis, Red) dibiarkan. Mereka itu bisa merusak Indonesia,” tandasnya.

Selain itu, kata Habib Saggaf, rusaknya citra Islam juga karena ajaran Islam disalahpahami. “Itu, orang-orang yang ngaku mujahid. Mujahid apa itu, berontak di negara orang. Mereka bikin kacau Indonesia. Kalau saya presiden, saya usir mereka. Saya tangkap dan saya suruh tinggal di Arab. Jadi, jika kita ingin memperbaiki, jangan yang sudah rusak dirusak lagi. Itu baru mujahid,” himbaunya.

Sahabat Gus Dur
Habib yang selalu identik dengan sorban di kepalanya ini memang dekat dengan almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dalam sebuah kesempatan wawancara eksklusif dengan almarhum pada pertengahan Ramadhan 1431 H (3/9/2010) lalu, dirinya berkisah kepada Wiwit Rf dan Alamsyah M. Dja’far dari Wahid Institute mengenai banyak hal, mulai dari awal mula merintis pesantren di Desa Warujaya, Parung, Bogor, termasuk kisah kedekatannya dengan mantan presiden KH. Abdurrahman Wahid.
Menurut ceritanya, sekira tahun 2006 Gus Dur divonis mengalami gangguan ginjal sehingga harus menjalani cuci darah secara rutin. Pada kali pertama menjalani cuci darah keluarga sempat menjemput Habib Saggaf di Parung demi membujuk Gus Dur yang ‘bandel’ tak mau menjalani cuci darah. “Habib, saya minta tolong untuk menasehati Gus Dur,” kata Habib Saggaf menirukan permohonan Yenny Wahid, putri kedua Gus Dur. Permintaan tersebut diamini Habib. Ia lalu datang ke rumah Gus Dur di Ciganjur. Anehnya, belum sempat mengutarakan niatnya membujuk, Gus Dur malah sudah tahu kalau salah satu misi Habib adalah membujuk dirinya agar mau cuci darah. Tapi bujukan Habib akhirnya berhasil. Gus Dur pun mau menjalani cuci darah.



Habib Muhammad Ridho bin Ahmad Bin Yahya

Teladani Kehidupan Kaum Salaf
Bicara dengan tokoh muda habaib yang kritis ini, banyak hal baru yang kita dapati, terutama pandangan-pandangan berkaitan dengan isu isu hangat yang menyangkut kehidupan kaum muslimin di tanah air.
Suatu pagi di hari Sabtu (2/3/2013), alKisah mendapat kesempatan untuk mewawancarai ulama muda jebolan Rubath Al-Jufri Madinah ini di kediamannya yang terbilang asri dan luas di bilangan Klender, Jakarta Timur. Habib Muhammad Ridho bin Ahmad bin Yahya lahir di Jakarta, 29 Desember 1973. Ayahnya Habib Ahmad bin Muhsin bin Adbullah bin Ibrahim bin Zein bin Yahya. Datuknya, Habib Ibrahim bin Zein, adalah kakeknya yang pertama kali datang dari Hadhramaut ke Indonesia. Ia berlabuh di Palembang dan menjadi guru dan penasehat agama bagi Sultan Badaruddin I. Kemudian Habib Ibrahim bin Zein diambil menjadi menantu oleh sang sultan Kesultanan Palembang Darussalam.

Sedangkan ibunya Syarifah Ruqayyah adalah putri Habib Muhammad Al Attas, seorang wulaiti (kelahiran Hadhramaut) yang menikahi perempuan pribumi asal Betawi, Kebon Nanas, Kebayoran Lama. Kakek ummi ini kemudian sempat kembali ke Hadhramaut untuk suatu urusan, namun wafat disana sebelum kembali ke Indonesia.

Habib Ridho menempuh pendidikan dasarnya di sebuah pesantren hingga tingkat Tsanawiyyah. Kemudian ia melanjutkan studinya ke Madrasah Aliyah Negeri I Mampang Prapatan. Sambil menempuh sekolah formal, ia juga menempuh pendidikan di Madrasah Ats-Tsaqafah, pimpinan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, di Bukit Duri. Tidak itu saja, kemana Sayyidil Walid mengajar, ia usahakan untuk mengikuti pelajarannya, baik di madrasah maupun majelis majelis yang dibina ulama kebanggaan kaum muslim Jakarta ini.

Sekitar tahun 1993, ia berangkat ke Madinah untuk belajar di Rubath Al-Jufri, yang diasuh oleh Al-Allamah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith. Ia belajar di Rubath yang banyak diimpi impikan para pelajar Nusantara itu hingga tahun 2000. Kegemarannya terhadap pelajaran ilmu fiqih seperti terpuaskan dengan diajar Habib Zein bin Smith, yang dijuluki para ulama dengan sebutan “Syafi’iyyu Zamanihi” (Imam Syafi’i di Masanya). Disana pula ia banyak mengenal sosok sosok ulama besar habaib lainnya, seperti Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri dan Habib Muhammad Al Haddar, mertua Habib Zein dan Habib Umar bin Hafidz.

Satu hal yang sangat dipegannya sebagai prinsip dalam belajar di awal-awal kedatangannya di rubath tersebut ialah, selama belajar di rubath ia tak akan berbicara dalam bahasa lain kecuali bahasa Arab. Prinsip lain yang ditanamkan nya ialah target khatam satu kitab dalam beberapa bulan, baik dengan muthala’ah dihadapan guru maupun dengan sesama santri yang lebih senior darinya. Target nya, ia harus menguasai kitab itu dan mampu mengajarkannya kepada yang lain.

Setelah empat tahun di Rubath, Habib Ridho meminta izin kepada Habib Zein untuk istifadah (mengambil faidah ilmu) kepada ulama ulama Madinah lainnya.  Ulama ulama Madinah banyak dikenal mutafannin (kealimannya dalam suatu bidang tertentu).

Di antara mereka itu ialah Syaikh Sayyid Ahmadu Asy-Syinqithi Al-Hasani, yang Habib Zein juga mengambil ilmu darinnya. Syaikh Ahmadu adalah salah satu tokoh ulama senior di Madinah. Usia nya sedikit lebih tua dari Habib Zein. Sekalipun Habib Zein juga seorang yang dikenal kepakarannya, beliau tak segan-segan untuk mendulang ilmu dari ulama-ulama lainnya. “Demikian akhlaq yang juga dicontohkan guru kami , Habib Zein, yang juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmadu, padahal keduanya sama sama dikenal kealiman dan kepakarannya,’’ kata Habib Ridho. Habib Zein dalam bertutur penuh mutiara hikmah. Namun yang lebih berkesan baginya bagaimana tutur itu tampak dalam setiap perbuatan Habib Zein. Tindak tanduk beliau itu adalah cara mendidik beliau.
Selain itu, Habib Ridho juga belajar kepada Syaikh Muhammad Faal, yang belum lama ini meninggal dunia. “Kepada beliau ini, ana mengaji kitab kitab tafsir ushul fiqh Al-Luma’ dan Al-Muwafaqat. Semoga Allah ta’ala merahmati beliau’’. Ujarnya mengenang sosok sang guru. Begitu pula ia mengaji kepada Syaikh Shafwan Ad-Dawudi, yang banyak menulis dan mentahqiq kitab. Syaikh Shafwan diantaranya menulis kitab tentang ushul fiqh, mufradat (kosa kata) Al-Quran, dan manaqib para sahabat dan tabi’in. kepadanya, habib  muda yang tengah menanti kelahiran anak yang ketujuh ini mengaji ushul fiqih, tajwid, ulumul Qur’an, hadits, dan lain lain.

Adapun di rubath sendiri pendidikan nya langsung ditangani oleh Habib Zein, dengan mengkaji kitab kitab fiqh, nahwu, balaghah, hadits dan sebagainya, dari kitab kitab yang kecil hingga besar. Rubath Al-Jufri memang menekankan kualitas dan disiplin ilmu pengetahuan nahwu, fiqh, dan sirah. Dalam sehari materi fiqih lebih dominan diajarkan , bisa empat sampai lima kali pertemuan.

Habib Zein juga menerapkan sistem pendidikan sehari belajar-sehari ikhtibar  (ujian). Pada seminggu sekali juga diadakan ujian nahwu, fiqih dan sirah. Kalau sudah masuk ujian mingguan itu, semua santri tenggelam dalam muraja’ah (mengulang-ulang materi pelajaran). Kegiatan seperti  muhadharah (latihan pidato) setiap malam jum’at juga diadakan bagi santri rubath. Pada malam Rabu rutin dibacakan kitab Shahih Al-Bukhari, yang dilanjutkan dengan kegiatan bercerita ramah.

Kira kira beberapa tahun sebelum dirinya usai belajar disana, kegiatan muhadharah dan ceramah diganti materinya. Dulu biasanya  ceramah agama umum, kemudian diganti  menjadi ceramah yang mengulas kitab, seperti materi materi fiqih dalam Safinah, Zubad, dan lainnya. Ceramah ini tak memegang bahan, tetapi harus dengan kekuatan hafalan dan luasnya pengertian atas matan kitab yang diulas. Tujuannya sudah tentu agar santri Rubath Al-Jufri  terasah pengetahuannya dengan mendalam.

Bersama sejumlah jebolan Rubath Al-Jufri , ia juga membangun sebuah komunitas alumni yang dinamai “Alumni Thaiba” (Keluarga Madinah). Tapi nama itu juga bisa menjadi singkatan “Alumni Thalabah Madinah”.

Membangun Al-Fath
Sepulangnya dari belajar di Rubath Al-Jufri selama kurang lebih tujuh tahun, Habib Ridho langsung terjun ke masyarakat. Ia berupaya agar dapat mengaplikasikan pengetahuannya ditengah umat. Ia mengasuh sebuah majelis rutin mingguan, yakni sebuah kegiatan pengajian khatam Al-Quran. Ia juga melakukan pengkaderan beberapa orang santri , mereka kemudian mengajak jama’ah lainnya untuk bergabung dalam majelis tersebut. “Ana mencontoh kebiasaan di rubath dulu, yang setiap Kamis ba’da subuh ada halaqah membaca Al-Quran dengan membagikan juz juz kepada santri-santri. Biasanya, dalam tempo beberapa pekan kemudian, halaqah itu berkumpul lagi untuk membaca doa khatam  Al-Quran. Nah, ana aplikasikan tradisi di rubath itu disini, dengan membagikan satu atau dua juz kepada jama’ah. Lalu pada beberapa waktu kemudian setelah dikhatamkan kami berkumpul lagi untuk menggelar majelis doa khatam Al Quran”, katanya.

Sambil mengisi berbagai ta’lim tersebut, Habib Ridho melanjutkan studinya ke Institud Agama Islam Al-Aqidah, hingga selesai dan menyandang gelar S.Pd.I. Suatu ketika, enam atau tujuh tahun yang lalu, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, guru seniornya di Rubath Al-Jufri Madinah, berkunjung ke Jakarta. Kesempatannya untuk bertemu sang guru berbuah suatu amanah untuk mengasuh majelis yang namanya diberi langsung oleh Habib Salim Asy-Syatihiri, yakni “Majelis Al-Fath”, yang diambil dari nama masjid Al-Imam Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad di Al-Hawi, Tarim.

Sistem dakwah yang ditekankan Majelis Al-Fath adalah melakukan pembinaan dan pengkaderan , baik di pusat maupun cabang cabang majelis, seperti di Menteng, Pasar Rumput,  Klender, Pulo Gebang, Cipulir, Rawabelong. Di masing-masing cabang iu, kader kader yang telah senior dalam didikan Habib Ridho ditugasi untuk menjadi pemimpin majelis sekaligus manager yang mengatur kegiatan kegiatan dakwah, pendidikan, dan pengajaran agama. Cita cita sebahagian majelis asuhannya ini terwujud dengan berdirinya lembaga pendidikan seperti  TPA, PAUD, dan Madrasah Diniyyah. Bahkan target kedepan juga muncul lembaga seperti pesantren, yang diharapkan ada disetiap kelurahan. Adapun kurikulum nya digodok dengan meng-input materi materi yang didapati dari Rubath Al-Jufri dengan mengkondisikannya sesuai lingkungan dan keadaan setempat.

Intinya, bagaimana dakwah ini tidak sebatas ajang tabligh, tapi juga benar benar peran nyatanya terasa bagi masyarakat sekitar, apalagi di tengah ancaman derasnya budaya asing yang tak mendidik dan tak terkendali, seperti yang tampak dewasa ini. “Ini memang bukan kerja individu atau mengandalkan sosok  pribadi, tapi ini jadi tanggung jawab semua pihak yang punya kepedulian,” demikian pandangan habib yang senang mengoleksi kitab ini.

Program jangka panjang majelis yang diasuhnya ialah membangun sebuah Islamic  Centre lengkap dengan segala aktivitas dan sarana prasarananya. Alhamdulillah usaha usaha ini sudah mulai dirintis di kediamannya di Klender dengan  membina sejumlah santri putra sejak tiga tahun lalu. Habib Ridho juga tengah merintis pembangunan pesantren yang lebih permanen diatas lahan seluas satu hektar di daerah Citeureup, Kabupaten Bogor.

Cita cita lainnya yang juga tak kalah luhur adalah membentuk tim pengajar agama dan pendakwah di kalangan terpelajar di perkantoran perkantoran dan pabrik pabrik di ibu kota dan sekitarnya. “Dakwah kita selama ini kan umumnya terfokus di masjid, mushalla dan majelis ta’lim. Ini sesuatu yang memang sangat baik, sudah umum, dan lumrah. Namun kita juga ingin menyasar ke kaum urban berpendidikan itu, lantaran kita selama ini dakwah dan perngajaran kita jarang yang masuk kekalangan itu”, ujarnya penuh semangat.

Ajak Mereka…
Habib Ridho menengarai, merebaknya masalah ditengah umat dewasa ini  cukup memprihatinkan, dan ini tak lepas dari tipu daya musuh musuh islam. Umpamanya tentang fenomena kelompok Wahabi. Dakwah mereka merebak ditengah kaum terpelajar, mahasiswa dan pekerja perkantoran. Dalam dakwahnya mereka menyertakan permusuhan dan kebencian dengan hujatan atas dakwah kita. Melihat hal ini, Habib Ridho menjelaskan perlunya sinergi dakwah yang disesuaikan dengan dosis pengetahuan di masyarakat.

Masyarakat itu punya standar pengetahuan yang berbeda beda. Ajak mereka melihat amar ma’ruf nahi munkar , isi dengan pengetahuan pengetahuan agama disertai hujjah dan jawaban atas tuduhan sesat wahabi itu dengan ilmu bukan dengan emosi. Peran kita untuk menjawab semua tuduhan itu adalah merangkul mereka  dengan dakwah ilallah dan dakwah yang bermuatan ilmu. “Seperti kita tahu, dalil dalil yang dituduhkan mereka kepada sikap keberagamaan kita ini sangat rentan , kaku, dan dangkal. Kita, Ahlussunnah, tidak kurang dalil. Dalil kita ini sangat penuh dan banyak,” katanya.

Alhamdulillah, bersama beberapa kawan yang aktif dalam dakwah, ia kini membangun sinergi dengan visi dan misi yang sama, seperti denga Habib Muhammad Ahmad Fad’aq, yang aktif menulis. Habib Muhammad Fad’aq diantaranya menulis kitab menangkis tuduhan bid’ahnya peringatan maulid, sebagaimana pernah diulas alKisah beberapa waktu lalu.

“Wahabi dari tahun 1900-an awal sudah ada, tapi ‘jualan-nya nggak laku. Di Madinah dan Makkah dari dulu banyak ulama kita yang jebolan sana. sedikitpun tak ada diantara kelompok Wahabi yang berani menghujat dakwah dan ta’lim ulama ulama kita, karena mereka sadar siap yang mereka hadapi. Mereka tek berani mengusung paham mereka dengan klaim ingin memurnikan ajaran agama dari hal hal yang mereka tuduhkan saat ini sebagaimana yang kita maklumi bersama . lihat saja, disana ada Syaikh Nawawi Banten, Habib Utsman bin Yahya, dan masih banyak lagi hingga yang terakhir ada Syaikh Yasin Al-Fadani, dan ada K.H. Hasbiyallah, ulama Betawi di kampung ini yang pernah mengenyam pendidikan disana. Ulama ulama kita dimasa itu banyak yang bermukim untuk mengajar disana. Kelompok itu tak berani untuk berdebat dan melempar tuduhan ini itu seperti yang ramai sekarang ini. Ini jadi tandanya apa? Fenomena apa?” katanya penuh perhatian.

Fenomena Wahabi yang berkembang dalam beberapa tahun belakangan ini, menurutnya, memang sengaja dan cenderung diciptakan untuk memecah belah umat Islam, dan disana ada penyokong dananya, yang diambil keuntungan dengan perselisihan ini.

Berikutnya juga ada kecenderungan kaum Allamadzhabiyyah (anti madzhab), yang dengan konsepnya menyamaratakan yang keliru dan yang benar, menolak pandangan pandangan fiqih dan madzhab, bahkan menganggap bahwa era madzhab telah usang. “Mereka sendiri ingin membangun sebuah pemahaman baru, dengan fatwa fatwa yang lepas dari acuan yang dibakukan salaf. Seakan akan kedudukan mereka seperti para imam madzhab. Padahal mereka hidup dengan pemikiran yang telah terkontaminasi. Sedangkan para imam madzhab itu adalah generasi yang paling dekat dengan masa Nabi Muhammad saw dan yang dipuji beliau…,” katanya.

Jangan Cuma Nilai

Salah satu kritik yang dilontarkan Habib Ridho tentang kondisi pendidikan kita adalah mindset lebih menekankan output nya pada angka, nilai, bukan sikap pekerti (Suluk dan akhlaq). Orang orang dulu punya adab di hadapan orang tua, guru, saudara yang lebih tua, karena mereka diajarkan seperti itu. Dan guru juga mencontohkan bukan semata dengan kata kata, tapi juga sikap. Ketika belajar tentang zuhud, umpamanya, gurunya juga orang yang mencontohkan sikap zuhud itu. Tapi sekarang orang lebih mengejar nilai. Bukan kebiasaan atau kemahiran , apalagi aplikasi dalam kehidupan.

Sistem belajar orang orang dulu jauh lebih bagus . ketika murid duduk bersama gurunya dalam halaqah, mereka menyimak setiap perkataan guru dan terjalin hubungan ruhani dengan gurunya hingga diluar kelas (halaqah). Maka terbangunlah tarbiyyah ruh (pendidikan ruhani) di dalam lingkungannya. Guru benar benar menjadi teladan dalam aktivitas murid.

Masih  menurut Habib  Ridho, pola pikir yang tepat adalah pola pikir yang sebagaimana diajarkan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam , sedangkan kita kini dihadapkan pada pola pikir Barat, yang materialistis. Inilah perang ideology, yang sering luput dari perhatian kita semua. Maka dari itu, mencari ilmu dan wawasan boleh boleh saja dimasa kini yang serba mudah diakses, tapi carilah ilmu dan wawasan yang menambah manfaat buat bekal di akhirat kelak.

Mengakhiri perbincangan pagi itu, Habib Ridho berpesan , mengutip nasihat Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad, “Lazimkanlah Al Quran, ikutilah sunnah, dan ambillah teladan kaum salaf, sehingga hidayah Allah Ta’ala senantiasa mengiringi…”


Sumber : Majalah alKisah no.06/Maret2013

Habib Muhammad Quraisy bin Mujtaba Alaydrus

Pelajar Dua Tanah YamanAwalnya, ia sendiri hanya merencanakan meninggalkan Indonesia hanya dalam waktu dua tahun saja. Namun semangatnya dalam menuntut ilmu telah membawanya berkelana selama empat tahun di dua kota pusat ilmu di tanah Yaman. Hingga kini, sudah cukup banyak pelajar dari Indonesia yang berkesempatan menimba ilmu di kota Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan. Dari sekian banyak pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di kota Tarim tersebut, hampir tidak pernah terdengar ada di antara mereka yang juga mendatangi kota Zabid, Yaman Utara, untuk tujuan yang sama. Padahal, kota Zabid juga terkenal sebagai kota pusat ilmu.Seperti halnya Tarim, sejak dulu hingga saat ini, kota Zabid banyak melahirkan ulama-ulama besar. Hingga dikatakan bahwa Zabid adalah Tarimnya Yaman Utara. Adalah Habib Quraisy, atau lengkapnya adalah Habib Muhammad Quraisy bin Mujtaba Alaydrus, satu di antara sedikit sekali pelajar Indonesia yang pernah tercatat menimba ilmu di Rubath Zabid, setelah beberapa tahun sebelumnya berguru di Rubath Tarim, Hadhramaut.Meski masih terbilang muda usia, perjalanan hidup Habib Quraisy, pemuda kelahiran Malang 31 Juli 1975, sarat dengan hikmah, terutama pada masa-masa belajarnya di kota Zabid, Yaman Utara tersebut. Saat ini, putera dari pasangan Habib Mujtaba bin Mushthafa Alaydrus dan Syarifah Maryam binti Muhammad Ba’bud ini dipercaya untuk melanjutkan majlis rauhah kakeknya, Habib Muhammad bin Husain Ba’bud, Lawang, Jawa Timur, yang sempat vakum cukup lama, yaitu sejak wafatnya Habib Muhammad sekitar lima belas tahun yang lalu.Hikmah Sakitnya Sang KakekBeberapa tahun silam, sewaktu Habib Muhammad bin Husain Ba’bud sedang menjalani operasi prostat sekitar lima tahun sebelum tutup usia, isteri Habib Muhammad Ba’bud yang bernama Syarifah Aisyah binti Husain Bilfagih, berharap agar ada dari salah seorang cucunya yang mau menemaninya. Di antara para cucunya itu, Habib Quraisy, yang pada saat itu masih berusia sekitar 12 tahun, bersedia memenuhi keinginan sang nenek.Habib Quraisy pun kemudian tidur di kamar Habib Muhammad, pada ranjang yang berbeda. Ternyata, kebiasaan itu terus berlanjut, bahkan setelah Habib Muhammad sembuh dari sakitnya. Quraisy kecil tetap tidur satu kamar dengan Habib Muhammad bin Husain Ba’bud dan isterinya, Syarifah Aisyah binti Husain Bilfagih. Praktis, sebagian besar waktu dari masa kecilnya, dihabiskannya bersama dengan Habib Muhammad. Tinggal sehari-hari bersama dengan Habib Muhammad Ba’bud tentunya merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga. Ketimbang merasa sebagai cucu, ia sendiri akhirnya lebih merasa bagaikan anak dari Habib Muhammad. Sejak saat itu, Habib Quraisy kerap terlihat mendampingi Habib Muhammad pada majlis-majlisnya. Ia juga mulai mengikuti pelajaran-pelajaran di Darun Nasyi’ien, pondok pesantren yang didirikan dan diasuh oleh kakeknya tersebut.Setelah kurang lebih sekitar lima tahun mendampingi sang kakek, pada tahun 1993, Habib Muhammad wafat. Sekitar satu tahun setelah wafatnya Habib Muhammad, Habib Quraisy yang kala itu mulai beranjak remaja meninggalkan tanah kelahirannya dan merantau ke negeri seberang, Martapura, Kalimantan Selatan. Keberangkatannya ke Martapura kala itu ternyata menjadi awal langkah panjang perjalanannya dalam mengarungi pengembaraan keilmuannya di kemudian hari.Paspornya tak TerpakaiSekitar tahun 1994, ia mendengar kabar tentang Habib Umar Bin Hafidz yang mulai membuka pondok Darul Musthafa di Hadhramaut. Mendengar kabar itu, ia ingin sekali berangkat ke sana. Maka ia pun mulai mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk mengurus pembuatan paspor. Rupanya takdir Allah SWT berkata lain. Setelah paspornya sudah jadi, karena disebabkan faktor biaya dan faktor-faktor lainnya, ia tak kunjung berangkat.Namun semangat kuat dalam dirinya untuk ingin mengaji, membawa langkah kakinya ke bumi Martapura. Ia sendiri sebenarnya menyadari bahwa pendidikan di Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien, tempatnya tumbuh besar selama ini, cukup bagus pula bagi dirinya. Akan tetapi karena pesantren tersebut ada dalam lingkungan keluarganya sendiri, ia khawatir dirinya tidak akan berusaha maksimal dalam menuntut ilmu.Pada waktu itu, banyak santri Darun Nasyi’in yang berasal dari Banjar. Suatu hari terdengar kabar tentang rencana penyelenggaraan haul KH Anang Sya’rani Arif, seorang ulama besar di Martapura. KH Anang Sya’rani Arif adalah kawan seperguruan KH Syarwani Abdan, Tuan Guru Bangil. Saat itu, salah satu cucu KH Anang Sya’rani Arif yang merupakan santri pondok Darun Nasyi’in, mengajaknya untuk menghadiri acara haul tersebut.Sesampainya di Martapura ia berjumpa dengan Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas Az-Zabidi, tokoh Alawiyyin di sana kala itu. Ia kemudian diajak shalat berjamaah bersama Habib Abubakar. Seusai shalat, Habib Abubakar yang saat ini berdomisili di Surabaya mengatakan kepadanya, “Ente semestinya jangan di sini, ente harus ke Tarim.” Demikian pesan Habib Abubakar kepadanya saat perjumpaannya pertama kali di Martapura pada waktu itu.Memang, pada dasarnya dirinya pun berpikir seperti itu. Ia sendiri menyayangkan paspornya yang sudah jadi, tapi akhirnya tidak terpakai. Tapi ia sempat berpikir, insya Allah pintu untuk menuntut ilmu di Tarim harus melewati Martapura dulu. Setelah batal berangkat ke Tarim pada saat itu, maka daripada tidak pergi sama sekali, ia memutuskan lebih baik ia mengaji dulu di kota Martapura.Pada awalnya, ia tidak bermaksud tinggal di rumah Habib Abubakar. Akan tetapi setelah pertemuan itu akhirnya ia hidup bersama Habib Abubakar selama enam bulan pertama keberadaannya di Martapura. Karena ingin mandiri, setelah enam bulan ia memutuskan untuk kos, dan tidak lagi tinggal serumah dengan Habib Abubakar.Di Martapura, ia menaruh simpati pada cara mengajar Tuan Guru Zaini. Sekitar dua tahun lamanya ia melazimi majelis-majelisnya Guru Ijai, panggilan akrab Tuan Guru Zaini. Materi pengajaran Guru Ijai yang diikutinya, kebanyakan lebih menekankan pada aspek tashawuf. Meski sistem pengajaran Guru Ijai hanya seperti pada sebuah pengajian di majlis ta’lim, namun apa yang ia dapat dari pelajaran-pelajaran tashawuf yang disampaikan Guru Ijai itu dirasakannya sangat membekas pada dirinya. Selain pada Guru Ijai, di sana ia juga sempat masuk Madrasah Darussalam, sebuah lembaga pendidikan agama terbesar (pondok pesantren dan madrasah) di Martapura yang didirikan oleh Tuan Guru Kasyful Anwar. Ia juga sempat belajar ilmu-ilmu alat (perangkat tata bahasa Arab) kepada Guru Syukri di rumahnya.Lebih Banyak yang Tak ResmiHabib Quraisy, yang saat ini telah dikarunia tiga putera bernama Muhammad, Ahmad, dan Husain dari hasil pernikahannya dengan Syarifah Mas’adurridha binti Abdullah Al-Hamid, akhirnya pada tahun 1997 ditakdirkan juga berangkat ke Hadhramaut, sebagaimana yang telah menjadi impiannya selama ini. Keberangkatannya ini tak terlepas dari berkat doa kedua orang tuanya dan peran penting Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas Az-Zabidi yang membiayai keberangkatannya tersebut.Dari Martapura, ia sempat menghubungi Habib Ali bin Muhammad Ba’bud, pamannya, untuk menyampaikan rencana kepergiannya. Saat itu Habib Ali mengatakan ia harus izin kepada guru tempat ia belajar selama ini, yaitu pada Guru Ijai. Sewaktu ia mengutarakan kepada Guru Ijai, Guru Ijai malah mengatakan bahwa ia harus meminta izin pada Habib Ali. Akhirnya, ia pun menganggap ini sebagai restu dari keduanya. Sebelum terbang meninggalkan Indonesia menuju Hadhramaut, dari Martapura ia sempat pulang dulu ke Lawang untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya dan sanak keluarga lainnya. Sesampainya di Hadhramaut, ia masuk pada Rubath Tarim, asuhan Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri. Pada tahun pertama, pelajaran-pelajaran awalnya masih dibimbing oleh salah seorang santri senior yang berasal dari Banten, Indonesia. Ustadz Muhaimin, namanya.Beberapa waktu kemudian, ia menjadi satu-satunya pelajar dari Indonesia yang memberanikan diri mengikuti halaqahnya Habib Hasan. Setiap hari bersama Habib Hasan, sekitar pukul sembilan pagi, ia mempelajari kitab At-Tanbih dalam fiqih dan kitab Ihya’ dalam tashawwuf. Sementara setiap hari Rabu dan Sabtu, ia menghadiri halaqah umum Habib Hasan di Rubath. Ia juga sempat mengkhatamkan kitab Bidayatul Hidayah pada Habib Hasan pada majlis rauhahnya setelah Ashar. Saat hendak mempelajari kitab itu, Habib Hasan memesankan kepadanya, pahami isi kitab tersebut dengan baik, kemudian amalkan apa saja yang ada di dalamnya.Saat itu, ia bukanlah santri yang memiliki keistimewaan tersendiri hingga memberanikan diri mengikuti halaqahnya Habib Hasan seorang diri dari Indonesia. Mungkin kebanyakan santri dari Indonesia saat itu banyak yang sungkan untuk menghadiri halaqah tersebut, begitu pikirnya. Belakangan, setelah kepulangannya ke Indonesia, sejumlah santri Indonesia lainnya mengikuti jejaknya untuk mengikuti halaqah Habib Hasan di pagi hari tersebut.Sekalipun ia sendiri merasa bekal ilmunya masih sedikit, namun kesan kuat dari pelajaran-pelajaran adab yang didapatnya sewaktu di Martapura, menimbulkan himmah tersendiri di dalam dirinya. Apalagi, ia juga memperhitungkan bahwa keberadaannya di sana tidak akan lama, yaitu hanya sekitar dua tahun saja. Karena itu ia ingin mempergunakan kesempatan berada di Hadhramaut dengan sebaik-baiknya.Karena pertimbangan rencana waktu yang singkat itu, ia mensiasatinya dengan lebih mengejar faham di setiap pelajarannya dan tidak mengejar hafalannya. Di Rubath, pagi hari ia belajar ilmu Nahwu, sore dan malam hari ia belajar ilmu Fiqih dan beberapa materi lainnya. Berdasarkan petunjuk dari Habib Salim, di malam hari ia juga mendatangi beberapa ulama yang ada di sana. Sehingga ia cukup banyak memgikuti majelis-majelis ilmu di luar kurikulum Rubath itu sendiri.Berdiri di Pintu Pabrik RotiSuatu saat, Habib Salim pergi ke kota Madinah. Karena tujuannya mendatangi Rubath adalah secara intensif mengikuti pelajaran-pelajarannya Habib Salim, maka saat kepergian Habib Salim itu, ia berpikir untuk mencari kesempatan dengan mengisi waktu belajar di tempat lain. Ia pun akhirnya teringat dengan cerita-cerita Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas Az-Zabidi tentang kota Zabid. Nisbah Az-Zabidi di belakang nama Habib Abubakar sendiri memang dikarenakan dulu Habib Abubakar sempat menimba ilmu di kota Zabid tersebut. Habib Abubakar tampaknya bangga dengan kota Zabid itu, hingga dalam kitab Iqdul Yawaqit yang dicetaknya, ia menuliskan namanya dengan tambahan kata Az-Zabidi di belakang namanya. Ketika di Zubad, orang-orang di sana masih mengingat Habib Abubakar. Bahkan ia juga ditunjukkan kamar tempat Habib Abubakar tinggal dulu.Maka bersama dua sahabatnya, yaitu Habib Abdul Qadir Alaydrus (dari Purwakarta) dan Musthafa Al-Hamid (dari Tanggul), ia memutuskan pergi ke kota Zabid, melalui kota Shan’a. Karena tidak mempunyai uang, maka uang tiket kepulangan ke Indonesia milik Habib Musthafa Al-Hamid dipinjamnya sebagai ongkos menuju kota Zabid. Sesampainya di sana, tidak seberapa lama, seluruh uang yang dipegang olehnya dan kedua sahabatnya tersebut pun habis. Karena himmahnya pada ilmu, kepergiannya ke Zabid memang dapat dikatakan lebih banyak nekatnya. Karena di Rubath Zabid itu, hanya dirinya dan kawannya sajalah pelajar yang berasal dari Indonesia. Tidak ada sanak saudara atau bahkan kawan seperguruan lainnya.Setelah hampir sekitar dua bulan lamanya di Zabid, salah seorang sahabatnya, Habib Musthafa Al-Hamid, pulang terlebih dahulu. Karena tak mempunyai uang sepeser pun, akhirnya ia berusaha menghubungi beberapa pihak di Jakarta agar dapat meminjamkan uang kepadanya untuk mengganti uang tiket ongkos kepulangan sahabatnya itu. Tidak mudah rupanya mencari uang untuk menggantikan uang kawannya tersebut, sekalipun akhirnya ada juga dari orang yang dihubunginya di Jakarta yang mau memberikan uang kepadanya untuk keperluan itu.Di Rubath Zabid, berbeda sekali kondisinya dengan Rubath Tarim. Kalau di Rubath Tarim, ada pondokan dan makanan, sementara di Rubath Zabid yang ada hanya tempatnya saja. Kelihatannya Rubath Zabid memang cenderung sudah tidak terurusi lagi. Setiap hari ia makan di tempat itu juga, kemudian jalan sendiri ke rumah para guru. Terkecuali salah seorang gurunya, yaitu Syaikh Muhammad ‘Izzy yang setiap hari datang ke Rubath.Ia mengalami kehidupan yang sangat payah di Rubath tersebut. Tapi subhanallah, sekalipun seringkali harus menahan tidak makan, yang namanya rizqi itu memang selalu ada. Allah SWT memang tak akan membiarkan hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh berusaha dalam kebaikan. Saat itu ada seorang anak kecil yang mungkin memperhatikan dirinya. Dari rumah tempat tinggalnya, terkadang ia membawakan makanan pada sebuah mangkuk dari seng. Makanannya itu dari bahan sejenis gandum dengan ada rasa sedikit kecut. Karena sering menahan lapar, maka saat si anak kecil itu membawakan makanan kepadanya, rasa dari makanan tersebut nikmatnya luar biasa. Mungkin kalau di Indonesia, makanan itu tidak termakan olehnya.Di Rubath Zabid itu, sebenarnya ada juga yang masak dengan biaya urungan sesama santri yang tinggal di sana. Tapi karena ia tidak pegang uang sama sekali, ia tidak ikut urungan. Setelah beberapa lama, akhirnya ada juga yang memperhatikan kondisinya itu dan menaruh belas kasihan. Bahkan karena itu, akhirnya keberadaannya memberi manfaat kepada santri-santri lainnya yang ada di Rubath tersebut. Kisahnya bermula dari informasi yang disampaikan kepada tiga pabrik roti yang letaknya tidak jauh dari Rubath. Kepada pemilik tiga pabrik roti tersebut diinformasikan, bahwa saat itu ada dua pelajar dari Indonesia yang kondisinya serba berkekurangan. Rupanya mereka kasihan dan menaruh simpati kepadanya. Akhirnya setiap hari, ia dan kawannya dipersilahkan mengambil roti kesana setiap hari. Setiap habis maghrib, ia berangkat ke pabrik roti itu, mengetuk pintu, mengucapkan salam, kemudian berdiri di pabrik roti tersebut. Pokoknya, hampir seperti yang dilakukan para pengemis saja. Mereka pun sudah paham dan kemudian segera memberikan roti kepadanya. Sekalipun yang datang cuma berdua, ia dan kawannya, tapi biasanya mereka memberi hingga sepuluh potong roti. Karena itu, kawan-kawan santri yang ada di Rubath pun akhirnya mendapatkan roti juga dari pemberian itu. Untuk sarapan dan makan malam, ia selalu makan roti hasil pemberian ketiga pabrik roti tersebut. Kalau makan siang, baru ia makan nasi bersama-sama di dalam Rubath.Selain masalah makanan, ia juga kerepotan pada masalah ketersediaan air. Bila ingin mandi, ia hanya dijatahi 3 liter air dan untuk wudhu 1 liter air. Bangunan kamar mandinya pun setengah badan. Alhamdulillah, tidak seberapa lama ia di sana, ada orang yang berkenan membantu untuk membangun kamar mandinya itu hingga jadi benar-benar tertutup.Walhasil, pada awalnya ia memang membayangkan beratnya hidup sewaktu akan berangkat ke Tarim. Sesampainya di Tarim ternyata kehidupan yang dihadapi tidak sesulit yang ia bayangkan. Tapi sewaktu ia sampai di Zabid, bayangan pertamanya tentang kesulitan hidup muncul kembali menjadi kenyataan. Sewaktu di Hadhramaut, tubuhnya cukup gemuk. Di Zabid, ia menjadi langsing, demikian ia mengisitilahkannya. Itu dikarenakan ia banyak berjalan kaki hingga berkilo-kilo meter jaraknya untuk menuju rumah para guru. Tapi rupanya ia menikmati kondisi itu. Sekali lagi ia merasa, pengaruh ajaran yang diterimanya sewaktu di Martapura yang banyak membicarakan adab dan menekankan aspek tasawuf, menjadi bekal yang sangat berharga baginya.Sehari, 8 sampai 9 GuruKepada Syech Muhammad ‘Izzy, ia membaca kitab fiqh Ibn Qasim dan kitab ushul fiqh Al-Waraqat. Di luar itu, ia keluar mendatangi rumah para ulama di sana. Di kota Zabid, mayoritas ulamanya bermadzhabkan Syafi’i. Begitu juga para ulama tempat ia menimba ilmu. Ada salah seorang di antaranya yang bermadzhab Hanafi, yaitu Syaikh Asad Hamzah Al-Awsi. Tapi karena keluasan ilmu Syaikh Asad Hamzah Al-Awsi, ia dapat berfatwa dalam dua madzhab, Hanafi dan Syafi’i.Di Zabid, ia benar-benar memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin. Ia sadar, bahwa ia tak akan bertahan lama di kota Zabid ini. Untuk itu, setiap kali ia mulai bertemu dengan mereka dan meminta waktu untuk belajar kepada mereka, ia selalu meminta agar tidak memulai pembacaan kitab dari awal, tetapi kelanjutan dari bacaan yang telah dibaca di Rubath Tarim. Dalam satu harinya, ia bisa mendatangi delapan hingga sembilan guru.Di antara guru-gurunya sewaktu di Zabid adalah Syekh Muhammad bin Ali Al-Baththah, yang merupakan dzurriyah dari pengarang kitab Kawakibudduriyah, Syekh Muhammad Sulaiman Asy-Syarafi Al-Hasani, Syekh Ali Muhammad Abdullah Sulaiman Washil Al-Hasani, Syekh Sa’id Dabwan Al-Abdali, Syekh Muhammad Al-‘Imbari Al-Ahdal (keluarga ‘Imbari di kota Zabid adalah keluarga yang memegang sehelai rambut Rasul yang mereka dapatkan dari Turki yang karena itu di antaranya kota Zabid banyak diziarahi). Guru-gurunya tersebut adalah para mufti di kota Zabid. Selain itu, ia juga mendatangi sejumlah pemuda alim di kota Zabid dan belajar dari mereka. Dari para gurunya itu, ia mendapatkan ijazah tertulis pada setiap kitab yang ia baca.Ia juga sempat mendatangi Baitul Faqih dan Murawa’ah, suatu daerah yang terletak berdekatan dengan kota Zabid. Para ulamanya di sana sangat bersahaja. Sekalipun ternyata mereka adalah para alim besar, namun cara berpakaiannya tidak berbeda dengan warga biasa lainnya. Ia bertabarruk kepada mereka dengan meminta ijazah dan sanad kitab dari para ulama di sana.Kembali bersama Habib SalimSetelah sekitar enam bulan di kota Zabid, ia melanjutkannya Baidha’, masih di wilayah Yaman Utara. Selama sekitar empat bulan ia tinggal di Rubath Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar, tempat Habib Umar bin Hafidz dulu menimba ilmu. Rubath ini sekarang diteruskan oleh anak-anaknya, yaitu Habib Husain (putera paling tua), Habib Zain, dan Habib Ibrahim (putera paling bungsu). Kepada Habib Husain ia membaca kitab Bidayatul Hidayah sedangkan kepada Habib Ibrahim ikut pada majlis rauhahnya. Di Baidha’, ia juga membaca di antaranya kepada Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Mardam, dan Syaikh Abdullah Syu’aibi. Ia mendapatkan ijazah dari para gurunya itu dan mendapatkan sanad-sanad kitab dari mereka. Sewaktu di Baidha’, sekalipun ia tetap dalam kondisi tidak mempunyai uang, tapi kehidupannya tidak sesulit sewaktu di Zabid. Kesehariannya hampir seperti di Rubath Tarim. Makanan dan sebagainya disediakan dari pondok. Bedanya, di Rubath Al-Hadar ini, rekan-rekan pelajarnya banyak yang berasal dari Somalia.Suatu saat, haul Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar diperingati di Yafi’. Maka ia pun bermaksud pergi ke Yafi’ untuk menghadirinya. Di Yafi’ ia juga hendak berziarah kepada seorang ulama yang diakui kewaliannya, yaitu Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Hariri. Habib Salim Asy-Syathiri sendiri mengatakan bahwa Syaikh Al-Hariri ini acap berjumpa dengan Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad secara yaqzhatan. Subhanallah, di dalam peringatan haul di Yafi’ itu ia berjumpa dengan Habib Salim yang baru saja pulang dari kepergiannya yang cukup lama ke kota Madinah.Sewaktu di Yafi’, sekalipun singkat, akhirnya ia bersempatan membaca kitab kepada Syaikh Al-Hariri dengan niat tabarrukan. Ia sendiri di Yafi’ cuma dua hari, karenanya ia sengaja mengambil kesempatan-kesempatan seperti itu. Ia membaca kitab Muqaddimah fi Syarhil Burdah lil Bajuri. Sewaktu peringatan haul, Syaikh Al-Hariri juga diminta berbicara. Di antara kata-katanya yang sangat berkesan baginya dan selalu diingatnya adalah saat Syaikh Al-Hariri mengatakan, “Bahwa jika kecintaan kepada keluarga Rasulullah SAW benar-benar tertanam di hati seseorang, maka jangankan kepada para sahabat Nabi SAW, kepada seorang muslim yang paling rendahpun ia tak akan pernah mencaci.” Syaikh Al-Hariri adalah seorang ulama yang bagaikan mabuk cinta kepada Nabi. Dari waktu ke waktu, lisannya terus menerus menyebut nama Rasulullah SAW.Selesai acara haul, Habib Salim mengajaknya kembali bersama ke Tarim. Jadi, sewaktu Habib Salim berangkat ke Madinah, ia berangkat pula ke Zabid. Sepulangnya Habib Salim dari Madinah, ia ikut pulang bersama Habib Salim ke kota Tarim. Dua karton kitab miliknya beserta tas besar yang berisi perlengkapan pribadinya diikatkannya di atas mobil yang ditumpanginya bersama Habib Salim tersebut.Perjalanan pulang ke kota Tarim bersama Habib Salim menjadi perjalanan yang sangat mengesankan baginya. Sepanjang perjalanan di atas mobil, ia perhatikan Habib Salim selalu melaksanakan shalat sunnah. Di sepanjang perjalanan, Habib Salim juga selalu menyempatkan diri menziarahi maqam-maqam para ulama yang dilewati, seperti di Aden, Mukalla, Ta’iz, hingga sampai kembali di kota Tarim.Kepulangannya kembali ke kota Tarim saat itu terjadi pada bulan Rabiul Awwal. Beberapa bulan lamanya ia kemudian meneruskan kembali pelajaran-pelajarannya dengan Habib Salim di Rubath Tarim. Hingga pada bulan Ramadhan tahun itu juga, ia kembali ke Indonesia. Kalau di total waktunya, pengembaraan keilmuannya di luar negeri memakan waktu sekitar empat tahun. Tiga tahun di Hadhramaut dan setahun di luar Hadhramaut. Namun waktu yang “cuma” empat tahun itu benar-benar telah dimanfaatkannya secara maksimal. Awalnya, ia sendiri hanya merencanakan meninggalkan Indonesia hanya dalam waktu dua tahun saja. Namun semangatnya dalam menuntut ilmu telah membawanya berkelana selama empat tahun di dua kota pusat ilmu di tanah Yaman. Perjalanan panjangnya itu kini menjadi buah yang menjadi bekal baginya dalam mengabdi pada Pondok Pesantren Darun Nasyi’in, peninggalan kakeknya tercinta.


Habib Muhammad Bin Ali Al-Habsyi, Probolinggo

KISAH BERAGAM SANG DOKTER UMMAT
Surabaya adalah Ibu Kota Propinsi Jawa Timur yang dalam perjalanan sejarah juga terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan. Di kota yang juga menjadi pusat Dakwah Sunan Ampel inilah Habib Muham­mad Bin Ali Al-Habsyi di­lahir­kan, tepatnya pada tanggal 20 Februari 1945 di Ke­lu­rahan Wonosari Surabaya Utara.
Ayah beliau adalah bernama Habib Ali Bin Muhammad Bin Alwi Ahmad Bin Ja’far As-Shiddiq Bin Husain Bin Ahmad Muhammad Shokhibussuaib Bin Alwi Bin Abu Bakar Al-Habsyi Bin Ali Bin Ahmad Bin Muhammad Assadullah Bin Khusain Attaraji Bin Ali Bin Muhammad Almuffaddul Fiqqih Bin Ali Muhammad Shohibul Murbath Bin Ali Kholiulqosim Bin Alwi Bin M uhammad Bin Alwi Bin Abdullah Bin Ahmad Almuhajir Bin Isa Annaqib Bin Muhammad Annaqib Bin Ali Alaridl Bin Ja’far Asshodiq Bin Muhammad Albaqir Bin Ali Zainul Abidin Bin Husain Assibathi Bin Ali Bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah Binti Rasulullah Muhammad SAW.
SILSILAH KELUARGA

Habib Muhammad Bin Ali Al-Habsyi dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang taat beragama, keluarga yang gemar membaca dan mengkaji ajaran agama Islam dan suka membantu serta menolong orang lemah dan mengasihi anak-anak yatim. Ayah Habib Muhammad Bin Ali Al-Habsyi memelihara 7 anak yatim di rumahnya. Ayahnya memang seorang tokoh agama yang keras pendiriannya dan tidak mudah terpengaruh oleh budaya kolonial Belanda yang gemar mempengaruhi watak dan budaya masyarakat Indonesia saat itu. Habib Ali bin Muhammad Bin Alwi Al-Habsyi  pindah dari kota Cirebon ke Surabaya beserta keluarga adalah untuk berdagang dan menyebarluaskan ajaran agama Islam dengan me ngajarkan Al-Qur’an dan cara sholat di mushola-mushola serta membuka perguruan silat di rumahnya. Di samping itu, beliau juga me ngajar di Polresta Surabaya dari seksi 1 sampai 6 ilmu silat PO padi yang  tergabung di IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) sekarang.
Habib Ali bin Muhammad Alwi Al-Habsyi juga selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk selalu taat dan patuh terhadap ajaran agama Islam, yaitu dengan melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan Allah. Bahkan kepada putra-putrinya, sejak kecil sudah ditanamkan semangat yang tinggi terhadap dakwah Islam. Dan perlu diketahui pula bahwa keluarga Habib Muhammad Bin Ali Al-Habsyi berasal dari dataran bagian selatan Jazirah Arab tepatnya di daerah Hadramaut termasuk wilayah Yaman.
Di antara silsilah beliau yang pertama kali masuk ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam adalah Sayyid Husain Bin Abdillah yang diperkirakan terjadi pada tahun 1800 M. Istilah Sayyid berasal dari bahasa Arab. Sayyid yang berarti Tuan atau Junjungan. Di kala ngan masyarakat dikenal golongan yang dinamakan Sayyid yaitu mereka yang mempunyai nasab atau hubungan keturunan hingga Rasulullah Muhammad SAW, melalui putrinya Sayyidah Fatimah Az-Zahroh. Golongan Sayyid biasanya dipakai oleh keturunan dari Husain Bin Ali Bin Abi Thalib, sedangkan dari keturunan Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib merupakan golongan Syarif.
Kata Sayyid dan Syarif digunakan hanya sebagai atribut atau keterangan dan bukan sebagai gelar. Adapun gelar bagi mereka adalah Habib (kekasih) untuk anak laki-laki dan anak perempuan adalah Habibah. Mereka diperkirakan terbagi kedalam 80 Fam atau keluarga (kabilah). Setiap keluarga mempunyai nama sebutan tersendiri, misalnya: Al-Jufri, Al-Habsyi, Al-Haddad, Al-Athas, Al-Aidrus, Al-Assegaf, Al-Qodri, Bil Faqih, Al-Maliki, As-Satiri, Bafaqih, Al-Khurthi dan lain-lain. Mereka pada umumnya menetap di berbagai negara Islam seperti di Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam bahkan banyak yang menjadi warga negara di sana.
Habib Muhammad Bin Ali Al-Habsyi yang dilahirkan dari hasil pernikahan Habib Ali Al-Habsyi dengan pasangannya Sayyidah Khodijah itu mempunyai lima saudara kandung yaitu: Sayyidah Syaikhah kakak dan empat orang adik yaitu Habib Umar, Sayyid Shodiq, Sayyidah Nur dan Sayyid Akhmad. Mereka semua anak-anaknya Habib Ali bin Muhammad Bin Alwi Al-Habsyi, semenjak kecil oleh ibu dan bapaknya sudah dibiasakan memngenal dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya membiasakan memulai pekerjaan dengan membaca basmalah dan meng akhirinya dengan hamdalah, menghormati kedua orang tuanya, sholat berjamaah, mengucapkan salam bila bertemu seseorang dan supaya mengasihi anak-anak yatim serta orang yang tidak mampu. Sehingga tak heran kalau kepribadian Habib Muhammad Bin Ali Al-Habsyi dan saudara-saudaranya semua taat dan patuh terhadap ajaran agama Islam.
BELAJAR DISEKOLAH KRISTEN
Setelah menginjak usia 7 tahun, Habib Muhammad Al-Habsyi memasuki Sekolah Dasar (SR Menteng Mereng I) di Surabaya pada tahun 1952. Pada pagi hari dan siang harinya beliau belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam kepada Ustadz Agil bin Yahya. Setelah lulus dari Sekolah Dasar / SR dengan nilai ijazahnya yang baik dan melihat kecerdasan serta kegemarannya memperdalam ilmu pengetahuan, maka ayahnya Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi menyuruhnya untuk melanjutkan ke SMP. Karena saat itu negara Indonesia baru saja merdeka sehingga sulit untuk masuk ke SMP Negeri, maka Habib Muhammad Al-Habsyi dengan izin dari ayahnya masuk ke SMP Santo Karolus di Kepanjen Surabaya pada tahun 1958-1961.
Setelah menyelesaikan belajarnya di SMP, beliau juga masih ingin melanjutkan ke SMA. Karena masih sulit untuk melanjutkan ke SMA Negeri, akhirnya Habib Muhammad Al-Habsyi minta izin kepada ayahnya untuk melanjutkan ke SMA Astra di Tegal Sari Surabaya pada tahun 1961-1964 dan Habib Ali Al-Habsyi akhirnya mengijinkan beliau untuk sekolah di lembaga Kristen itu. Dengan catatan asal beliau supaya tetap mengaji dan mempelajari agama Islam di siang hari dan malam hari, dan juga atas pertimbangan dasar pengetahuan agama yang dimiliki Habib Muhammad Al-Habsyi yang diperolehnya di rumahnya dan lingkungannya itu, maka diperbolehkanlah beliau untuk memasuki lembaga pendidikan non Muslim tersebut. Untungnya, pada saat pelajaran agama yang berupa kebaktian (beribadah ke gereja) anak-anak yang beragama Islam dipersilahkan tidak mengikutinya ke gereja.
Begitu Habib Muhammad Al-Habsyi lulus dari SMA Astra pada tahun 1964 dengan semangat dan tekad yang kuat beliau ingin melanjutkan studinya ke jenjang perkuliahan. Sang ayahnya pun me ngizinkannya. Beliau mendaftarkan diri pada Fakultas Kedokteran jurusan Farmasi / Apoteker di Jalan Dagu Bandung saat itu. Sayangnya, beliau tidak bisa menyelesaikan studinya mengingat pada tahun 1965 kondisi genting dengan adanya pemberontakan PKI, akhirnya beliau diminta ayahnya untuk pulang dan akan dinikahkan.
DUA PESANTREN DI MALANG
Selanjutnya setelah menyelesaikan studinya di Bandung, Habib Muhammad Al-Habsyi melanjutkan pengembaraannya dalam menuntut ilmu. Beliau juga sempat memperdalam ilmu-ilmu hadits dan percakapan Bahasa Arab di Pondok Pesantren Darul Hadits Malang yang diasuh langsung oleh Prof. Dr. Habib Abdullah Bil Faqih.
Di pesantren itu beliau mempelajari tentang perowi-perowi hadits serta sanad-sanadnya hingga hadits tersebut benar-benar diriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW. Pengalaman yang sangat berharga ini dijalankan oleh Habib Muhammad Al-Habsyi selama satu tahun. Dan juga sempat berguru pada Ustadz Ba’abud untuk memperdalam ilmu dakwah dan pengetahuan agama Islam di Pondok Pesantren Daarun Nasyi’ien di Lawang, Kabupaten Malang selama satu tahun.
Perlu diketahui juga bahwa Habib Muhammad Al-Habsyi juga sempat belajar dan berguru di kota Mekkah Saudi Arabia di pondok pesantren Sayyid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki, yaitu pada tahun 1979 selama 46 hari, 1982 selama 3 bulan dan pada tahun 1983 selama 4 bulan, sedangkan pada tahun 1985 selama 3 bulan.
Mengingat desakan dari ayahnya untuk pulang dan menikah de ngan Syarifah Laily yang berasal dari Bangil Pasuruan, maka Beliaupun mengikuti permintaan sang ayah. Untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga, Beliau berdagang.
Selanjutnya, atas petunjuk dan nasehat dari orang tuanya serta guru-gurunya, akhirnya Beliau hijrah menuju ke Kota Probolinggo Jawa Timur untuk menebarkan ilmu. Di Probolinggo, Habib Muhammad Bin Ali Al Habsyi Pondok Pesantren Riyadhusholihin berdiri secara resmi mulai tanggal 20 Februari 1971. Pesantren yang didirikan beliau menfokuskan pada pendidikan dan pelayanan sosial. Di bidang pendidikan ada yang formal dan non formal. Yang formal mulai TK sampai Perguruan Tinggi. Untuk pendidikan non formal yakni Madrasah Diniyah Ula, Wushto, dan Ulya. Di samping itu, Beliau aktif menyampaikan dakwah dan menjadi “dokter” bagi ummat.
BERPULANG KE RAHMATULLOH
Masyarakat Kota Probolinggo dan sekitarnya berduka, seorang ulama kharismatik, Habib Muhammad Bin Ali Al Habsyi berpulang ke rahmatullah, tepat pada 20 Februari 2005 yang bertepatan dengan 12 Muharrom 1426  sekitar pukul 23:15 WIBpada usia 60 tahun. Habib Muhammad Bin Ali Al-Habsyi meninggalkan dua orang putra yakni Sayid Ali Bin Muhammad Ali Al Habsyi dan Sayid Hadi Bin Muhammad Al Habsyi serta seorang putri Syarifa Erna Bin Muhammad Bin Ali Al Habsyi. (*)


Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid

Habib Yang Berjuluk Lokomotif dari Timur
Ta’limnya mulai bersinar di Sulawesi Selatan. Ia mengimbau para pendakwah lain agar masuk ke Makassar.

Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid adalah figur yang sudah tidak asing lagi di Sulawesi Selatan, khususnya kota Makassar. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa Habib Mahmud adalah perintis dan lokomotif acara haul dan Maulid di Bumi Karebosi serta dakwah mahabbah kepada Rasulullah dengan berbagai variasinya. “Dakwah yang ikhlas akan selalu ditolong oleh Allah, dan kita yakin bahwa dakwah ini akan semakin meluas dan dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan,” tuturnya mantap.

Bagi masyarakat Sulawesi Selatan sendiri, acara seperti haul, pembacaan Maulid, tabligh akbar, dan taushiyah masih belum dicintai sebagaimana muhibbin di Jawa. Tapi melihat berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Habib Mahmud, yang dari waktu ke waktu mendapat simpati luar biasa, ke depan dakwah mahabbah Rasulullah SAW ini insya Allah akan semakin mendapat tempat di Bumi Anging Mamiri. “Kita benar-benar memulainya dari nol, jatuh bangun, dihujat, dianggap bid’ah, dijauhi…. Tapi karena landasannya ikhlas dan cinta kepada Rasulullah, sekarang semakin banyak jama’ah yang ikut,” kata Habib Mahmud.

Ia merasa iri dengan kondisi di Jawa, yang menurutnya para habib dan ulama menumpuk, muhibbin tidak perlu dicari, dan kalau ada acara seperti haul dan pembacaan Maulid cukup dengan informasi seadanya sudah dihadiri begitu banyak orang.

“Dulu, di Makassar ini, kita sudah mengajak, mengumumkan di berbagai media dan mempublikasikan dengan biaya yang tidak sedikit, tapi masih kesulitan.” Namun tak dapat diingkari bahwa dari waktu ke waktu antusiasme masyarakat semakin tinggi, dan jumlah jama’ah ta’lim semakin meningkat.

Habib Mahmud tidak berlebihan, jama’ah Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak, yang dipimpinnya, sekarang ada ribuan. Ketika diadakan acara haul akbar pada 17 Januari 2009 yang lalu bertempat di Gedung Manunggal Jenderal Muhammad Yusuf, kota Makassar, puluhan ribu jama’ah hadir dan larut dalam doa dan dzikir.

Hampir semua pejabat, petinggi, dan tokoh politik Sulawesi Selatan hadir. “Saya berharap, semakin banyak majelis ta’lim dan Maulid berdiri, sehingga syiar dan gemuruh dakwah di sini semakin terpancar dan umat Islam semakin yakin dan bangga dengan ajarannya dan selalu meneladani Rasulullah dalam kehidupan dan aktivitasnya,” ujar Habib Mahmud.

Perlu dicatat, Al Mubarak adalah satu-satunya majelis ta’lim di kota Makassar.

Aktivis yang Dinamis

Lahir dan dibesarkan di kota Makassar 42 tahun yang lalu, Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid memulai pendidikannya di sekolah Arab, di samping itu ia juga belajar di sekolah umum di pagi hari. Ibtidaiyah sampai aliyah diikutinya dengan tekun.

Selesai sekolah menengah, ia masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan meraih gelar sarjana ekonomi.

Semasa di kampus, Habib Mahmud termasuk aktivis yang giat menimba ilmu dari berbagai organisasi kampus. Ia pernah menjadi ketua badko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), aktif di senat dan berbagai organisasi keagamaan.

Dari bekal aktif inilah Habib Mahmud mendapatkan begitu banyak pelajaran, terutama dalam mengelola massa yang kini jadi bekal utama ketika ia harus mengelola jama’ah dalam jumlah puluhan ribu. Prinsipnya adalah selalu belajar. “Saya tidak pernah bosan untuk belajar. Di mana saja saya berusaha untuk belajar. Bertemu dengan para habib saya belajar, bertemu dengan ulama saya belajar,” ujarnya penuh semangat.

Di rumahnya pun, kompleks Unhas lama, Panampu, kota Makassar, abah dan uminya memberikan pelajaran agama yang cukup kepada anak-anaknya. Abahnya, Habib Umar bin Abdullah Al-Hamid, di samping seorang pedagang, juga mempunyai ilmu agama yang cukup. “Abah saya itu setiap tiga hari khatam Al-Quran, itu kebiasaan yang dijaganya secara istiqamah sampai wafatnya tahun 1999,” ujar Habib Mahmud mengenang. Keuletan dan kegigihan menjadi sikap yang diikutinya dari orangtua.

Setelah selesai dari fakultas ekonomi, Habib Mahmud terjun di dunia bisnis sehingga mengharuskan ia mondar-mandir Makassar-Jakarta. Dalam rentang waktu inilah ia menemukan jodoh seorang wanita asal Solo dan mereka menikah tahun 1993, kini dikaruniai enam anak.

Kegigihannya belajar dari berbagai ulama dan habaib memberikannya bekal untuk juga menularkan kepada orang lain. Sekitar tahun 2001, Habib Mahmud memutuskan untuk memfokuskan diri berdakwah, dengan mendirikan Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak. “Awalnya yang mengaji itu dua-tiga orang,” kenangnya. Lalu dia memulai acara pembacaan Maulid. Yang dibaca pun tidak tetap, kadang kitab Barzanji, karena orang Makassar banyak yang gandrung Barzanji. Lalu ia juga membacakan Simthud Durrar, juga Ad Diba’i. “Dengan berbagai variasi itu masyarakat tidak bosan, dan mulai tertarik,” ujarnya penuh semangat.

Alhamdulillah, dari waktu ke waktu yang ikut majelis ta’lim pun semakin banyak dan hampir setiap hari ada kegiatan ta’lim. Di samping itu kegiatan Al Mubarak pun semakin beragam. Tidak hanya ta’lim dan dzikir, tapi juga mulai menyantuni anak yatim, menjadi pengelola ‘Idul Qurban, dan berbagai kegiatan lainnya. “Masyarakat semakin percaya dengan kita, kemarin kita diamanahi 40 ekor sapi untuk dipotong, yang kemudian dibagikan kepada yang berhak. Padahal dulu ketika awal-awal berdiri hanya satu-dua ekor kambing,” kata Habib Mahmud.

Dakwah yang Asyik

Ada ramuan dakwah yang cukup mengena yang dilontarkan oleh Habib Mahmud, yaitu dakwah yang asyik. Artinya, dakwah itu benar-benar disenangi dan diminati oleh masyarakat, tidak membuat mereka gerah dan takut. Dan menurutnya itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah.

“Berbicara tentang manhaj dakwah tidak terlepas dari koridor yang telah dituntunkan dan dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Yaitu, kelembutan jadi pijakan utama, tapi sikap keras juga perlu. Itu yang telah Rasulullah lakukan, dan hasilnya sungguh sangat menakjubkan. Jadi, berdakwah itu, teladan utamanya adalah Rasulullah. Karena beliaulah uswah hasanah umat Islam,” tutur Habib Mahmud.

“Dakwah perlu persuasi, karena dakwah mempunyai tujuan, yaitu menarik hati orang. Mereka memerlukan cahaya dan ingin keluar dari kegelapan dengan cara bertaubat. Dalam dakwah, amar ma’ruf nahi munkar adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisah, harus menghalau yang bathil dan mengajak kepada kebaikan.”

Jadi, menurut Habib Mahmud, tidak boleh seorang pendakwah hanya memilih yang oke-oke saja tapi ketika berhadapan dengan kemunkaran terdiam. Keduanya harus dilakukan dengan serius, dan tidak pandang bulu.
“Di samping itu berdakwah juga harus diikuti bil hal, bukan hanya lisan. Ada yang konkret dirasakan umat, seperti yang dilakukan oleh Habib Idrus Al-Jufri. Kalau mau turun berdakwah, Habib Idrus membawa sembako, sarung, dan kebutuhan konkret lainnya untuk masyarakat, sehingga obyek dakwah merasa asyik.
Sebelum berdakwah, kita bersosialisasi dengan masyarakat, tatap muka dan sambung rasa. Setelah itu kita memberikan taushiyah. Hal itu lebih kena dan lebih asyik, jadi ada mahabbah,” ujarnya.

Hal itu pula yang dilakukan oleh Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak, yang sudah berlangsung tujuh tahun. Setiap tahun diadakan tabligh dan haul akbar pada bulan Muharram, lalu bulan Rabi’ul Awwal ada Maulid Akbar dan khataman Al-Quran, setiap malam Jum’at membaca Maulid dan taushiyah, lalu malam Sabtu silaturahim dan Ahad pagi khusus taushiyah dari jam 07.00 sampai 09.00 WITA. Untuk mempererat persaudaraan, sebulan sekali diadakan pengajian akbar dari masjid ke masjid, yang dilaksanakan sehabis isya.

Kuncinya, menurut Habib Mahmud, adalah istiqamah dan ikhlas, benar-benar ikhlas dalam mensyiarkan dan membela agama Allah. “Dengan niat karena Allah, empat malaikat, yaitu Izrail, Israfil, Mikail, dan Jibril, akan selalu menjaga kita.” Menurutnya, dakwah seperti ini pula yang dianjurkan oleh Habib Umar bin Hafidz, salah satu tokoh yang sering jadi rujukan Habib Mahmud dan pernah beberapa kali mampir ke Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak. “Beberapa tahun yang lalu saya bersilaturahim ke Darul Musthafa dan mendapatkan banyak pelajaran dari Habib Umar bin Hafidz, alhamdulillah beliau termasuk yang sering mendoakan agar dakwah di Sulawesi Selatan semakin berkembang luas dan semarak,” tutur Habib Mahmud.

Keras, bukan Kasar

Habib Mahmud juga ketua umum Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan. Ia sangat menyayangkan banyak umat Islam termakan citra negatif yang dibangun media cetak dan elektronik tentang FPI. Menurutnya, citra itu dikembangkan oleh mereka yang tidak ingin agama Islam jaya. “Sedikit saja hal keras yang dilakukan oleh FPI, diekspos besar-besaran, ditanamkan citra bahwa ini gerakan anarkis, gerakan kasar.” Padahal, menurut Habib Mahmud, begitu banyak kerja sosial tanpa lelah yang dilakukan FPI tapi tidak pernah diekspos.

“Ketika tsunami di Aceh, FPI, tanpa alat pelindung, tanpa gembar-gembor, mengurus puluhan ribu jenazah, tidak ada yang mengekspos. Kalau kita kerja sosial, menyantuni anak yatim, tidak ada yang mengekspos, dan memang tujuan kita bukan itu. Tapi kenapa sedikit saja kita melakukan kekerasan, lalu ribut di mana-mana, padahal kita bekerja prosedural, kita kirim surat sampai empat kali, kita kirim juga ke pihak berwenang. Kita tidak pernah kasar. Tapi kalau menyangkut aqidah, kita harus keras dan tegas,” katanya.

Citra yang terus-menerus ditanamkan oleh pihak yang tidak senang dengan Islam itulah yang akhirnya melekat di benak publik. “Sesuatu yang diembuskan terus-menerus akhirnya menjadi semacam kebenaran,” ujarnya prihatin.

Tapi, menurut Habib Mahmud, orang yang tidak menyetujui dakwah lahir dan bathin itu harus dihadapi dengan tenang, jangan dihadapi dengan emosional.

“Ada tempat saya berdakwah yang setiap hari terjadi pertempuran, saling memanah dengan panah beracun, semua dosa besar ada, perjudian, pelacuran, dan pembunuhan…. Saya masuk ke sana, tentu tidak langsung, harus berceramah, tapi mengadakan pendekatan dulu, saling berinteraksi. Kadang saya memberi mereka sarung, memberi kopiah, memberi baju, dan lama-kelamaan menjadi akrab. Kita harus bersahabat dengan mereka, baru kemudian menyampaikan pesan kita. Orang di sini adalah orang-orang yang keras…,” tuturnya.

Menurut Habib Mahmud, metode dakwah di Sulawesi Selatan belum seperti di Jawa, yang sudah berlangsung dengan berbagai macam cara. “Kalau di Jawa habaib dan ulama melimpah, tapi di sini jumlahnya hanya sedikit. Tidak banyak orang tertarik untuk terjun dakwah ke sini, padahal Habib Umar bin Hafidz sudah memerintahkan muridnya agar terjun ke Sulawesi Selatan. Kita harus masuk ke kampung-kampung, karena kita berdakwah prioritasnya ke orang yang tidak paham. Jadi program Habib Umar bin Hafidz, yang terjun ke medan-medan berat, mudah-mudahan diikuti oleh anak muridnya. Anak muridnya harus menyebar ke mana-mana, jangan pilih-pilih medan dakwah,” ujarnya.

Perbedaan cabang atau furuk di tubuh umat Islam, menurut Habib Mahmud, adalah hal yang biasa. Tapi kalau sudah menyangkut aqidah, menurutnya, itu adalah harga mati. “Kelompok seperti Jaringan Islam Liberal, Ahmadiyah, kelompok Lia Eden, sudah tidak bisa lagi diberi toleransi, karena itu menyangkut penyimpangan aqidah. Mereka ini sudah mengobok-obok Islam, sudah menghina Islam, tidak ada toleransi untuk mereka.

Dakwah yang baik harus sesuai dengan niat yang ikhlas semata-mata karena Allah, jangan ada misi lain. Kalau kita istiqamah dan yakin, Allah akan selalu menolong kita. Lihatlah nama-nama besar yang ikhlas dan istiqamah dalam dakwah, mereka diberi keberkahan dan ditolong oleh Allah. Kalau tidak ikhlas, akan hancur…,” ujar Habib Mahmud mengingatkan.

“Saya mencontoh dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, juga dakwah Habib Umar bin Hafidz dan Habib Muhammad Almaliki. Untuk apa kita berdakwah dengan jumlah ratusan ribu jama’ah tapi akhlaq tidak terjaga, jangan sampai jatuh pada akhlaq tercela. Banyak belum tentu jaminan. Untuk apa jumlah yang besar tapi tidak berkah?” katanya retoris.

Menurut Habib Mahmud, banyak contoh teladan yang bisa diambil dari para ulama dan habaib terdahulu. “Misalnya saja dari Habib Abu Bakar bin Salim, yang bisa khatam Al-Quran enam kali sehari, lalu shalat malam seribu rakaat. Dan setiap hari memotong enam ekor unta untuk para peziarah. Jadi, keberkahan dan keahlian itu muncul dari amalan. Kalau hanya bil lisan, penjual obat malah lebih pintar berceramah. Banyak orang retorikanya bagus tapi tidak ada berkahnya,” ujar Habib Mahmud.

Ia mengisahkan, suatu kali Habib Abdul Kadir Assegaf diundang oleh sebuah panitia untuk bertemu di Madinah. Seluruh ulama besar dunia hadir, semuanya sudah berbicara sesuai dengan keahliannya. Lalu ketika tiba giliran Habib Abdul Kadir, ia bilang kepada panitia bahwa sudah cukup yang berbicara, jadi ia tak perlu lagi.

Namun panitia mendesaknya. Akhirnya ia berpidato dengan hanya membaca doa Qunut, tapi efeknya sungguh luar biasa. Semua yang hadir menangis.

Kenapa mereka menangis? Karena wibawa dan pancaran hatinya yang tulus. Apa yang diucapkan oleh mereka yang tulus ikhlas dan hatinya bersih, efeknya sungguh berbeda. Oleh sebab itu, Habib Mahmud berpesan, “Jaga akhlaq, bersihkan hati, benahi ibadah, dan jangan pernah berdusta.”
Ia melanjutkan, “Mereka yang disebut wali Allah itu adalah mereka yang istiqamah melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menghindari apa yang dilarang Allah, bukan mereka yang pandai berjalan di atas air atau terbang seperti burung. Bukan itu. Mereka beriman secara kaffah, sinkron antara kata dan perbuatan.”

Dana dari Allah

Banyak orang yang ragu ketika terjun penuh ke medan dakwah, bagaimana dengan nafkah mereka, bagaimana dengan ongkos operasional dakwah, dan banyak kekhawatiran lainnya. Menurut Habib Mahmud, semua kegiatan memang perlu dana, begitu juga dakwah. Tapi jangan sampai hal itu jadi beban. “Dunia itu jangan ditaruh di kepala, tapi taruh di bawah telapak kaki. Kalau kita berdakwah ikhlas karena Allah, mencontoh Rasulullah dan istiqamah, insya Allah kita akan selalu ditolong oleh Allah dan akan diberi jalan keluar dari arah yang tidak terduga-duga. Itu tauhid, harus haqqul yakin, malaikat akan datang, Allah akan memberi kekuatan. Jangan pernah ragu akan hal itu,” ujarnya memotivasi.

Ia mencontohkan kegiatan yang dilakukan oleh Al Mubarak. Kalau ia berpikir ala ilmu ekonomi, tidak akan pernah terlaksana berbagai acara yang berskala akbar itu, apalagi harus mengundang berbagai pihak dari luar. Tapi Habib Mahmud yakin, Allah akan menolong dan menyediakan dana, Allah akan mencukupi, karena Allah Mahakaya. Dan begitulah selalu setiap acara, apakah haul akbar, tabligh akbar, santunan sosial, ‘Idul Qurban, semuanya alhamdulillah berjalan lancar.

“Saya tidak pernah merisaukan dana. Kalau saya berpikir terlalu ruwet, acaranya tidak akan berjalan. Selalu ada pertolongan dan jalan keluar. Itu saya alami selama mengadakan acara untuk dakwah, seperti haul, tabligh akbar, khataman Al-Quran, ‘Idul Qurban, santunan anak yatim. Ikhlas karena Allah, dan Allah akan menyelesaikan semuanya. Apa yang tidak bisa kalau Allah berkehendak?” ujarnya mantap.

Menyinggung isu Palestina, Habib Mahmud prihatin dengan apa yang terjadi di sana, ribuan orang tidak berdosa menjadi korban kebiadaban Israel. Ia mendoakan, semoga mereka menjadi syahid di sisi Allah.

Menurutnya, kita memang harus peduli dengan nasib saudara-saudara kita di Palestina. Namun, kita juga harus introspeksi, demi meningkatkan kualitas iman dan taqwa. “Dari miliaran umat Islam ini, berapa persen yang istiqamah menjaga shalat fardhunya? Demikian banyak umat Islam yang tidak pernah shalat Subuh. Begitu banyak umat Islam tapi begitu banyak pula yang belum bersungguh-sungguh berislam,” ujarnya prihatin.

Terakhir, tentang obsesinya, ke depannya Habib Mahmud ingin mengembangkan Al Mubarak lebih luas lagi. “Kita akan membentuk yayasan nanti, lalu akan kita bangun pesantren khusus anak yatim, akan dibangun zawiyah. Begitu juga nanti ke depan ada media cetak dan media elektronik. Kita akan datangkan orang-orang ahli tamatan Yaman dan Makkah untuk mengelola itu semua, nanti kita lengkapi dengan bidang usaha, toko, biro haji, produk-produk keislaman. Kita sudah mulai kini dengan beberapa anak yatim dan dhuafa’ yang dibina dan dipelihara, kita harapkan doa dari umat Islam, doa dari ulama dan habaib. Semoga berkah, insya Allah,” ujar Habib Mahmud penuh semangat.