Jumat, 25 Oktober 2013

SAYYID IBRAHIM (R.A)

Nama sebenar ialah Saiyid Ibrahim Ibn Saiyid Abdul Qadir ibn Saiyid Abdul Jabbar r.a. Merupakan abang kepada Sultan Al-Arifin Syeikh Ismail r.a. Isteri beliau bernama Siti Sarah, puteri kepada Syeikh Yusuf As-Sidiq.

Saiyid Ibrahim r.a sangat mencintai Islam dan menghabiskan seluruh hayatnya bagi mengembangkan ajaran Islam di seluruh Kepulauan Melayu bersama abangnya.

Sayyid Hasyim bin Idrus bin Muhsin Ba’abud

Abad 16 M Islam Masuk Wonosobo

Sebuah komplek makam kuno para Sayid (bangsawan keturunan Arab) ditemukan belum lama ini di Dusun Ketinggring Desa Kalianget Kecamatan Wonosobo. Kuburan tersebut berada di belakang komplek makam Mangunkusuman. Sedikitnya ada 25 orang Habib (Keturunan Nabi Muhammad SAW) yang disemayamkan di situ. Ini menunjukkan bila Wonosobo salah satu kantong wilayah penyebaran agama Islam sejak zaman dulu.

Dari sekian nisan itu, ada 4 makam berada di ketinggian dan dikelilingi tembok. Seluruh nisannya terbuat dari batu alam berwarna hitam kelam. Kebanyakan ditatah dengan huruf Arab. Ada beberapa yang menggunakan huruf Jawa. Di atas gundukan tanah diletakkan batu-batu halus kecil. Istimewanya, makam tertata rapi di atas bukit. Di bawahnya adalah Dusun Kejiwan yang tampak dari atas rumahnya bergerombol indah.Terdapat undak-undakan atau semacam tangga naik. Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa keempat makam itu merupakan tokoh yang dituakan atau dihormati pada masanya. Salah satunya adalah Sayid Hasyim bin Idrus bin Muhsin Ba’abud. Konon, dia masih keturunan Nabi Muhammad SAW berasal dari Hadramaut, Yaman yang datang ke Indonesia menyebarkan agama Islam.

Bersama keluarga Bin Yahya, keluarga Ba’bud mengajarkan Tarekat Alawiyin dan Sathoriyah. Keduanya menurut buku Sajaratul Ammah yang ditulis Robithoh Alawiyin Indonesia, keturunan Ba’bud dan bin Yahya serta para pengikutnya masuk ke Wonosobo pada akhir abad 16 memasuki abad 17 Masehi.

Menurut Habib Aqil bin Muhsin Ba’bud, salah satu keturunan Sayid Hasyim, 4 makam berjajar itu adalah Sayid Hasyim, Mangundirjo, istri Mangundirjo dan istri Sayid Hasyim. Sayid Hasyim adalah putra dari Sayid Idrus Ba’bud yang makamnya berada di Pasekaran, Pademonan, Batang. Sayid Hasyim datang ke Wonosobo untuk berdakwah bersama para pengikutnya.

Sayid Hasyim wafat pada tahun 1212 Hijriah atau 1791 Masehi dalam usia 120 tahun. Nisan yang berukir huruf Arab dan Jawa menunjukkan angka tahun 1791 M. Dalam laporan tim penelitian makam tua Dusun Ketinggring Desa Kalianget dan Desa Kejiwan, yang terdiri dari Habib Aqil, Ahmad Muzan, Elias Sumar, dan Bambang Sutejo disebutkan huruf Arab yang ditatah dalam nisan menyerupai kalimat prosa Arab dalam Kitab Maulid al Barzanji.

Dari hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa para keturunan sayid ini datang dari Batang dan Pekalongan. Pendapat itu disertai bukti dalam buku Robithoh Alawiyin Indonesia yang berada di Jakarta terdapat catatan bahwa rombongan keluarga Ba’bud dan Bin Yahya marga Alawiyin berdakwah di Wonosobo. Dalam catatan disebutkan pemimpin rombongan Sayid Hasyim, wafat dan dimakamkan di Wonosobo. Setelah diadakan penelusuran, makam berhasil ditemukan.

Bukti lainnya adalah artevak batu nisan terdapat makam pengikut Sayid Hasyim berasal dari Pekalongan bernama Mu’minah binti Zakaria Al Qodli yang berangka tahun 1260 Hijriah. Selain itu ada makam Yahya Hajatun Nabi bertahun 1260 H, Walid Hasyim Ibn Hajatun 1262 H.

“Dari catatan buku Robithoh Alawiyin kami berupaya menemukan di mana letak makam Sayid Hasyim. Ternyata berada di kompleks pemakanan Candi Wulan atau makam Mangunkusuman atau di belakangnya,”ujar Habib Aqil.

Ditambahkan guru SMP Islam Wonosobo tersebut, semula malam tidak diperhatikan oleh masyarakat. Tertutup semak belukar lebat dan ditumbuhi tanaman keras. Bersama juru kunci makam Mangunsuman, makam para sayid itu lantas dibersihkan.

Ulama dan umaro (pemimpin) sejak zaman dulu memiliki hubungan erat. Terbukti, tambah Habib, makam Mangundirjo dan Sayid Hasyim yang berjajar. Raden Mangunkusuma adalah Bupati Wonosobo kedua setelah Tumenggung Setjonegoro. “Mangundirjo adalah ayah Mangunkusuma. Mangundirjo dan istrinya disemayamkan berjajar dengan Sayid Hasyim dan istri. Sayid Hasyim tokoh spiritualnya Mangunkusuma dan Mangundirjo. Ini menunjukkan sejak zaman dulu terjadi hubungan baik antara pemimpin dan ulama,”tandasnya.

Letak makam Mangunkusuma di depan, satu kompleks dengan makam anak-anak Sayid Hasyim. Sebaliknya, Mangundirjo –ayah Mangunkusuma- berada di belakang satu kompleks dengan makam Sayid Hasyim.

Berdasarkan penemuan tersebut, diduga penyebaran Islam di Wonosobo dilakukan sejak abad 17 M oleh para sayid. “Sementara masyarakat mempercayai adanya 3 tokoh pendiri Wonosobo yaitu Kyai Walik, Kyai Kolodete dan Kyai Karim. Barangkali ketika tokoh tersebut salah satunya adalah para sayid itu,”kata Bambang Sutejo dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo.

Sehingga penyebar agama Islam tidak hanya ulama keturunan Keraton Mataram atau para pengikut Pangeran Diponegoro –yang selama ini dipercayai- tetapi juga para sayid yang memang datang untuk berdakwah.

Sementara itu, keberadaan makam tak lepas dari mitos yang berkembang di masyarakat. Konon, bukit tempat para sayid ini dimakamkan akan longsor. Apabila itu terjadi, bukit akan menutupi Desa Kejiwan. Untuk mengatasinya, rekahan bukit disumbal alu dan sapu lidi tua. Makam pun kembali aman.

Dituturkan juru kunci makam Mubazir, kini makam para sayid ramai dikunjungi peziarah. Sebelumnya hanya makam Mangunkusuman yang diziarahi orang. Untuk memberikan kenyamanan bagi peziarah, makam dibersihkan dan lantainya disemen kembali.

“Kami berharap jalan menuju makam dibangun. Lalu rumput-rumputnya dibersihkan,”tambah Abdul Wasik warga setempat.

Dia menceritakan makam sayid memiliki keajaiban. Ia bersama warga setempat pernah menyaksikan sinar cemerlang keluar dari makam itu. Peristiwa terjadi pada saat menjelang pilihan kepala daerah tahun 2005 lalu.

Ajarkan Tarekat Alawiyah dan Sathoriyah
Ditemukannya makam Sayid Hasyim bin Idrus bin Muhsin Ba’abud memiliki benang merah dengan sejarah perkembangan agama Islam di Wonosobo. Sebenarnya siapakah Sayid Hasyim? Tokoh yang berasal dari Hadramaut tersebut merupakan kawan baik keluarga Bin Yahya. Mereka datang ke Indonesia dengan tujuan menyebarkan agama. Keduanya tiba di Batang. Lalu menyebarkan agama di setiap tempat yang disinggahi. Dari Batang, lantas dilanjutkan ke daerah selatan pegunungan Dieng yang waktu itu merupakan bermukimnya masyarakat Hindu Budha. Kemudian turun ke wilayah selatan yang sekarang disebut Kauman. Kampung ini dijadikan sebagai tempat tinggal sekaligus pusat penyebaran agama. Mereka membangun langgar sebagai cikal bakal masjid yang nantinya menjadi tempat pengajaran agama.

“Dalam dakwah beliau menggunakan prinsip sesuai diajarkan Rasulullah SAW dengan ilmu dan tutur kata serta perilaku baik. Sehingga memikat hati masyarakat untuk mengikuti ajarannya,”ungkap Habib Aqil yang masih keturunan Sayid Hasyim

Keluarga Ba’bud tidak suka menampakkan kelebihan di hadapan orang banyak. Dalam penyebaran agama menanamkan tauhid dan akhlakul karimah melalui tarekat alawiyah dan sathoriyah. Yaitu dengan aklak baik dan dzikir.

Sayid Hasyim memiliki 3 anak yaitu Ali, Syeh dan Hamzah. Ketiganya menyebar ke berbagai daerah di Pulau Jawa maupun luar negeri. Ali menurunkan 4 anak yakni Syarifah Khotijah, Ibrahim, Umar dan Muhamad. Sayid Ibrahim merupakan dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama di Wonosobo. Dia juga banyak bersedekah tanah untuk masjid dan lembaga pendidikan.

“Keturunan lainnya adalah Syeh dan Hamzah yang menyebarkan agama Islam di Parakan. Menetap di Parakan, memiliki 3 anak yaitu Muhsin, Usman dan Hasyim,”tandasnya. (lis retno wibowo; Jawa Pos)

http://zulfanioey.blogspot.com/2012/09/sayyid-hasyim-bin-idrus-bin-muhsin.html

Sayyid Arif Abdurrahim Basyaiban

Cerita napak tilas Sayyid Arif Abdurrahim tidak akan lepas dari sang kakak Sayyid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban, yang makamnya berada di Mojoagung Jombang Jawa Timur.
Perjuangan keduanya dalam membabat kawasan pesisir Pulau Jawa, menjadi daerah yang kental dengan nilai-nilai religius menorehkan masa keemasan.
Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi adalah gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa melalui jalur laut. Dan salah satu dari mereka adalah Sayid Sulaiman Basyaiban.
Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadhramaut yang terkenal alim dan sakti.
Dan ayahanda Sayid Sulaiman dan Sayid Arif yang bernama Sayid Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Ba Syaiban. Ia putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Abu Bakar Ba Syaiban. Lahir pada abad ke-16 M di Tarim, Yaman bagian selatan sebuah perkampungan sejuk yang terkenal sebagai gudang para wali dan auliya’ Allah.
Ketika dewasa ia merantau ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa. Sayid Abdurrahman memilih tempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin, Demak, bernama Syarifah Khadijah. Seorang putri bangsawan yang masih keturunan Rasulullah dan masih cucu Raden Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Buah dari pernikahan mereka dikaruniai tiga putra, yakni Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim (Sayid Arif), dan Sayid Abdul Karim. Ketiganya mewarisi keturunan leluhurnya dalam hal berdakwah menyebarkan ajaran Islam di Jawa.
Tempat syiar pertama mereka adalah Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Lalu berkelana ke Solo, di sini mereka terkenal kesaktiannya. Hingga suatu ketika seorang Ratu Mataram Solo merasa iri. Di kota inilah mereka berpisah, Sayid Sulaiman memilih pergi ke Surabaya tepatnya di Ampel Denta, sedangkan sang adik memilih untuk menetap.
Sayid Sulaiman kemudian berguru pada santri-santri Raden Rahmat (Sunan Ampel). Tak berselang lama, kabar keberadaan Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Ratu Mataram. Lalu sang ratu mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Salah satu utusan adalah Sayid Abdurrahim (Sayid Arif), adik kandungnya sendiri.
Sesampainya di Ampel, Sayid Arif sangat terharu bertemu kembali dengan kakak tercinta. Dan akhirnya ia memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram, dan memilih belajar kepada santri-santri Sunan Ampel bersama Sayid Sulaiman.
Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri kepadaMbah Sholeh Semendi di Desa Segoropuro, seorang ulama besar asal Banten, Jawa Barat, yang menyebarkan Islam di Pasuruan pada abad ke-17.
Lepas dari itu Sayid Sulaiman memilih tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Hingga akhirnya mendapat julukan Pangeran Kanigoro dan sempat pula menjadi penasehat Untung Surapati, seorang tokoh terkemuka Pasuruan dan tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara.
Melihat kecerdikan dari keduanya, membuat Mbah Soleh tertarik untuk menjadikan menantu keduanya. Namun, Sayid Sulaiman diminta untuk kembali ke Cirebon oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Karena kala itu terjadi pertempuran sengit antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya sendiri Sultan Haji, tepatnya pada 1681-1683. Sedangkan Sayid Arif diminta Mbah Soleh untuk tetap di Pasuruan membantu penyebaran Islam.
Dari sinilah mulai terbentuk beberapa sentra besar penyebaran Islam. Seperti berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pondok Pesantren Sidoresmo Surabaya dan Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. Kini pesantren-pesantren itu masih ada, di bawah pengelolaan yang masih satu garis keturunan dari Sayid Sulaiman dan Sayid Arif. Untuk terus menjaga kemilau fajar penyebaran Islam yang telah dirintis mereka berdua.

Sumber
 : http://kleponews.wordpress.com/2009/04/08/kilau-fajar-di-ufuk-timur-jawa/

Achmad Fahrizal Zulfani Al Hanif 
http://zulfanioey.blogspot.com/2012/09/sayyid-arif-abdurrahim-basyaiban.html

SAYYID ‘ALI BIN MUKSIN AL BAAR

Sayyid ‘Ali bin Sayyid Muksin Al Baar adalah putera pertama dari sepasang suami isteri yang sederhana, yang menikah pada tanggal 5 Juli 1945 / 27 Rajab 1365 Hijriyah. Ayah beliau bernama Sayyid Muksin bin Ahmad bin Muksin Al Baar dan Ibundanya benama Syarifah Zena binti Muhammad bin Musthofa bin Syech Abu Bakar.

Beliau lahir pada hari Selasa tanggal 22 Juli 1946 M / 23 Sya’ban 1366 H di Sanana sebuah Kota Kecamatan (sekarang Kabupaten) Kep.Sula. Tepatnya di Kampung Fagudu. Kehidupan serba kekurangan pada saat itu melanda seluruh wilayah Republik Indonesia yang baru merdeka kurang dari setahun. Pada tahun 1953 Sayyid Muksin membawa seluruh keluarga pindah ke Ternate – ibu kota Kabupaten Maluku Utara ketika itu (sekarang Provinsi).

Kedua orang tua Sayyid ‘Ali masing-masing diasuh dalam lingkungan keluarga Muslim yang ta’at menjalankan syariat Islam. Oleh karena itu sejak dini beliau telah diperkenalkan kepada dasar-dasar ajaran Islam oleh kedua ayah bundanya. Sayyid ‘Ali lebih banyak diasuh oleh sang Ibu, karena ayah beliau adalah seorang pedagang keliling pulau-pulau di Maluku Utara yang kadang memakan waktu berbulan-bulan lamanya baru kembali ke rumah. Ibundanya Syarifah Zena dengan tekun membesarkan anaka-anaknya yang semuanya berjumalah lima orang, terdiri dari dua orang putera dan tiga orang puteri.

Pada tahun 1962, ketika prospek dagang di Ternate dan sekitarnya kurang membuahkan hasil yang memadai, maka kembali ayahanda beliau memboyong seluruh keluarga hijrah kembali ke kota Sanana. Kecuali Sayyid ‘Ali, ditinggalkan di Ternate meneruskan pendidikan sekolah dasar (ketika itu bernama S.R – Sekolah Rakyat). Pada tahun 1963 Sayyid ‘Ali menyusul kedua orang tua dan adik-adik di Sanana, dan menyelesaikan S.L.T.P. dan S.L.T.A. di Sanana kampung kelahirannya.

Setelah lulus dari S.M.A. Sanana pada tahun 1967, pada tahun itu juga beliau meneruskan pendidikannya ke Universitas Hasanuddin Makassar jurusan Ekonomi, tetapi hanya mencapai tingkat II ( semester III). Selanjutnya meneruskan pendidikan ke Sekolah Pelayaran Makassar, selagi masih duduk di tingkat Persiapan FEKON – UNHAS (kuliah rangkap) Tahun 1968. Setelah naik ke tingkat II,Sayyid ‘Ali meninggalkan fakultas ekonomi. Berkonsentrasi penuh pada Sekolah Pelayaran, dan selesai (tamat) tahun 1969.

Dari Makassar kemudian beliau merantau ke Jakarta, dan mulai mukim di Jakarta sejak Januari 1970. Memulai karier sebagai pelaut sejak Maret tahun 1970 sampai dengan Oktober 1980. Selama lebih kurang sepuluh setengah tahun sebagai Perwira (Mualim) hingga Nakhoda Kapal. Sampai di tarik menjadi karyawan darat tetap pada tahun 1981. Pada sebuah Perusahaan Pelayaran swasta terkemuka di Indonesia, yakni PT.Pelayaran Samudera Indonesia. Karier di darat mulai dari Supervisor, Manager Operasi, Branch Manager sampai jabatan Direktur telah pernah dijani hingga pada saat ini. (pensiun dari PT.Samudera Indonesia tahun 1998)

Sayyid ‘Ali menikah dengan seorang puteri Kalimantan Selatan dari kalangan keluarga serumpun. Bernama Syarifah Seikhah binti Sayyid Muhammad Al Kaff pada Oktober 1974. Beliau di karuniai lima orang anak, masing-masing seorang putera dan empat orang puteri. Namun puteri bungsu yang di beri nama Syarifah Shally Rizqiyatuzzahro wafat pada hari kelahirannya pada tanggal 22 Juni 2002 M / 11 Rabi’ul akhir 1423 H.


KARIER DALAM BIDANG AGAMA ISLAM

Dimulai pada sekitar tahun 1977, secara tiba-tiba datang sebuah keinginan merubah sebuah kebiasaan memborong majalah – majalah mingguan yang terbit pada saat kapal akan berangkat sebagai bacaan selama dalam pelayaran. Diganti dengan buku-buku Agama Islam. Sejak itu Sayyid ‘Ali tekun membaca buku-buku Agama (terjemahan). Mempelajari Agama Islam secara otodidak. Namun karena terobsesi dengan salah sebuah Sabda Nabi SAW, bahwa orang yang belajar Agama Islam semata-mata dari buku- kitab Agama, maka gurunya adalah setan. (Al-Hadits).

Maka sekalipun masih bertugas sebagai Nakhoda Kapal, Beliau mulai berusaha belajar Agama Islam melalui guru-guru Agama, dan memperoleh Izajah (secara non formal). Diantara guru-guru Beliau adalah : Habib Hasyim bin Husein bin Thohir di Irian Jaya. Habib Abu Bakar bin ‘Abdullah Al ‘Aydrus di Ambon (Almarhum). Al- Ustadz Nurdin bin ‘Abdullah (guru mengaji Al-Qur’an) – Sanana. Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Abu Bakar Al-Jufri - Jakarta (Almarhum). K.H. Syafi’i Munandar - Jakarta. Habib Muhammad bin Salim Al Habsyi – Bogor (Almarhum). Habib Musthofa bin ‘Abdul Qodir Al ‘Aydrus - Jakarta. Habib Hasan Baharun Pimpinan Ponpes Darullughoh – Bangil (Almarhum). Habib Abu Bakar bin Hasan Al-Atthos – Martapura Kalimantan Selatan. Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad Al-Kaff – Kuningan Jabar.

Beliau gemar berdiskusi Agama Islam dengan para ‘ulama Habaib dan ‘alim‘ulama lain yang lurus perjalanannya serta luas ‘ilmunya.

Beliau mulai berani berda’wah sejak dipercaya masyarakat lingkungan dimana beliau bertempat tinggal di RW.02 Kelurahan Pondok Bambu Kecamatan Duren Sawit – Jakarta Timur menjadi Ketua Masjid Jami’ Nurul Iman sejak tahun 1983.

Sering pula menyampaikan Khotbah Jum’at, ‘Idil Fitri, ‘Idil Adha, Kotbah Nikah dan ceramah – ceramah Agama Islam di lingkungan Masjid dan Kantor Pemerintah dan Swasta di jakarta. Kalimantan Timur, Pulau Batam, Maluku Utara. Juga di kota-kota lain yang dikunjunginya apabila diminta atau diundang pada acara-acara pengajian. Semua ini berkat dorongan para guru-guru pembimbing beliau, untuk berani berda’wah demi syiar Al Islam.

Pada tahun 1991 beliau berkesempatan menunaikan ‘ibadah Haji ke Baitul Haram dan jiarah ke Maqom Rosulullah Saw. di Madinatul Munawwaroh bersama ayah bunda serta istri tercintanya. Pada perjalanan ‘ibadah ini pula, ayahanda tercinta beliau Sayyid Muksin Al Baar menutup usia di Makkah Al Mukarromah tepat beberapa jam setelah menyelesaikan rukun Haji (Tawwaf ‘Ifadah) usai nafar awal. Tepatnya pada tanggal 26 Juni 1991 M / 13 Zulhijjah 1412 H, pada pukul 03:00 waktu setempat dan dimakamkan dengan tenang di komplek pemakaman di Ma’la Makkah, waktu dhuha


Sayyid Ali Ashghor Bin Sayyid Ali Akbar

sudah saya kisahkan tentang ayah beliau ( sayyid ali akbar ) yg di asingkan oleh belanda dinegara mereka . namun bukan berarti pemerintah kolonial belanda merasa aman dan tenang dg sudah tiadanya sayyid ali akbar . mereka lupa bahwa beliau mempunyai beberapa putra laki-laki yang semangat juangnya sama dg ayahanda beliau . ter catat nama2 putra sayyid ali akbar sebagai berikut :

sayyid badruddin , sayyid ghozali , sayyid ibrahim , sayyid abdullah , sayyid iskandar dan sayyid ali ashghor ( masih dalam kandungan ) .

karena kondisi yang sangat genting karena selalu dalam pengejaran belanda , maka atas saran paman mereka yaitu sayyid baqer agar seluruh keluarga kakaknya ( Sayyid ali akbar ) jangan saling berkumpul karena nantinya akan mempermudah tentara belanda menangkap mereka . maka para putra-putra sayyid ali akbar berpencar untuk meneruskan perjuangan ayah mereka . seperti saudara tertua sayyid badruddin berpindah didaerah surabaya juga yg sekarang terkenal dg tugu pahlawannya . lalu sayyid ghozali dan sayyid ibrahim berpindah kepasuruan agar masih dalam pengawasan sahabat karib ayah mereka yaitu sayyid hasan sanusi ( kyai selaga ). lalu sayyid abdullah berpindah kesuatu tempat yg saya kurang jelas dimana tempatnya . sedang sayyid iskandar berpindah yang ngga' jauh dari desa ndresmo yaitu daerah bungkul . itu dikarenakan agar sayyid iskandar masih bisa memantau dan menjaga ibundanya yg sedang hamil tua .

dikisahkan , sayyid iskandar itulah yang paling sering menjenguk dan mengatur segala sesuatu untuk ibundanya . sedangkan pesantren ayahandanya yang dulunya tentram dan damai kini dalam pengawasan ketat pemerintah belanda . sayyid iskandar berpesan pada para senior santri agar tetap menjalankan pesantren seperti biasanya namun tidak usah ikut pergerakan perjuangan dulu untuk sementara waktu. itu dimaksudkan agar membawa kesan bagi tentara belanda bahwa psantren peninggalan sayyid ali akbar bukan tempat yg berbahaya dan hanya tempat untuk mencari ilmu agama . namun itupun masih membuat khawatir pemerintah belanda . mereka berencana tetap akan mengawasi pesantren itu setiap hari .

mendengar akan hal itu , sayyid iskandar tak tinggal diam . beliau suatu ketika yang sepi dimalam hari mengelilingi lokasi pesantren itu dengan berdo'a pada Allah agar menyelamatkan pesantren itu dari tentara belanda . dengan segenggam pasir beliau taburkan . tentunya dg do'a-do'a yg telah beliau baca ( jadi teringat yang dilakukan baginda nabi saat rumah beliau dikepung oleh kaum kafir qureisy dulu ). lalu apa yg terjadi ? sejak itulah setiap kali tentara belanda memasuki desa ndresmo bertujuan kepesantren , mereka sama sekali tak menemukan lokasi pesantren tersebut . seakan musnah dan tak terlihat oleh mata mereka . hingga para tentara belanda menganggap pesantren tersebut sudah dibongkar dan tak ada lagi . padahal sesungguhnya pesantren itu tetap utuh dan beroprasi seperti biasanya . subhanallah ...

atas keputus asaan kolonial belanda karena kehilangan pesantren itu , akhirnya mereka berencana mencari dan menangkap para putra-putra sayyid ali akbar . karena selagi mereka masih ada , maka perjuangan ayahanda mereka terus berlanjut . namun rencana itupun sia-sia belaka karena para putra2 sayyid ali akbar sudah sulit ditemukan . ya kerena mereka semua sudah tak menetap di-ndresmo lagi . kini pemerintah belanda terfokus pada istri sayyid ali akbar yang masih mengandung jabang bayi itu . mereka berencana agar bayi itu harus terlahir atas pengawasan belanda dan akan dirawat oleh pemerintah belanda . itu dimaksudkan agar kelak bayi itu bisa membuat para saudara2-nya berhenti memusuhi pemerintah belanda .

mendengar rencana belanda seperti itu , sayyid iskandar tak tinggal diam lagi . segera beliau selamatkan ibundanya yg sedang hamil tua itu ketempat family dekatnya yang ada disidoarjo yang bernama sayyid imam asy'ari singonoto bin badruddin bin abdurrahman bin ali al'arif ( kakak sayyid sulaiman ). kalau tak salah tempat itu bernama desa singkil ( ada yg tahu ? ) . selang tak seberapa lama ditempat kyai imam tersebut istri sayyid ali akbar melahirkan bayi lelaki yang mungil . ada yang unik dari bayi ini . dia terlahir dengan dada kanan terdapat semacam toh atau tato bawa'an lahir yg bertuliskan surat al-ikhlas . sungguh luar biasa bayi ini . dan atas pesan suaminya dulu maka bayi itu diberi nama sayyid ali ashghor .

mendengar berita kelahiran bayi itu tentara belanda segera berangkat kesidoarjo agar bisa membawa bayi itu dan diserahkan kepemimpinnya . segera sayyid iskandar terlebih dulu memberitahukan pada ibundanya dan pamannya sayyid imam atas apa yg akan dilakukan tentara belanda . tanpa buang2 waktu sayyid imam menyuruh santri2 nya membuat kuburan kecil palsu . pada saatnya nanti jika tentara belanda tersebut datang akan beliau tipu bahwa bayi itu sudah meninggal dunia saat lahir . sedang bayi sayyid ali ashghor sendiri akan disembunyikan . dan aneh , setiap bayi itu digendong orang lain termasuk putri sayyid imam , pasti menangis . namun jika digendong ibundanya sendiri diam dan tenang . akhirnya istri sayyid ali akbar itu bilang :

" sudahlah ... kalian lakukan saja apa yang akan kalian lakukan terhadap tentara belanda itu . sedang putraku ini biarlah aku saja yang menyembunyikannya " .

tentara belanda sudah mendekati rumah sayyid imam . segera seluruh penghuni rumah itu bersiap-siap menghadapi mereka . ibunda sayyid ali ashghor yg masih dalam keadaan nifas dan lemas setelah menyusui bayinya segera membawa bayi itu kebelakang . beliau mencari tempat yang pas untuk dibuat menyembunyikan bayinya . terlihat disitu ada sejenis kuali atau tempat yang biasa dipakai memasak nasi diatas tungku perapian . namun saat itu tungku api itu tak menyala . setelah kuali ( bener itu kan namanya ? kalau salah betul kan dong ) itu dibuka ternyata didalamnya ada beras dan sedikit air . pertanda akan segera dimasak . karena sudah tak ada pilihan dan waktu lagi , akhirnya beliau memasukkan bayinya itu kedalam kuali yg sudah ada beras dan airnya itu . beliau berpikir tidak akan ada apa2 karena apinya tidak dihidupkan . sang bunda berdoa pada Allah agar memberi keselamatan pada bayinya .

kenapa kuali yg sudah siap beras dan air tadi kok api tungkunya tidak menyala ? ternyata itu adalah kelalaian santri juru masak kyai imam yg belum menyalakan apinya . begitu dia ingat segera menuju ketempat memasak dan menyalakan api tungku itu . dia tak memeriksa terlebih dulu apa isi kuali tersebut . dia pikir sudah jelas isinya yaitu beras . karena dia sendiri yg telah memasukkannya . tanpa berpikir panjang segera dinyalakan api tungku tersebut . nah sudah .. pikirnya legah . lalu dia kembali ketempatnya semula sambil menunggu nasinya masak . coba bayangkan , apa jadinya jika istri sayyid ali akbar mengetahui hal itu . pasti beliau menangis dan menjerit karena didalam kuali itu ada bayinya yg baru lahir . dan coba bayangkan , apa yang terjadi jika ada bayi yang digodok ( dimasak ) secara sengaja ... pasti mateng dan mati kan ? .. tapi ingat , kejadian ini diluar pengetahuan juru masak tadi lho .

tiba saat nya tentara belanda datang . tanpa panjang lebar mereka menanyakan bayi yg baru lahir tersebut . kyai imam menemui mereka . beliau mengatakan bahwa bayi itu sudah meninggal saat dilahirkan . jelas tentara belanda itu tak percaya dan ingin bukti . akhirnya kyai imam menunjukkan letak kuburan kecil palsu dibelakang rumah beliau . namun belanda tetap saja tak percaya . mereka memaksa untuk di-izinkan membongkar kuburan itu . karena sudah darurat keadaannya , akhirnya kyai imam mengizinkan mereka membongkarnya . namun kyai imam tak tinggal diam . beliau membacakan satu do'a dengan lirih agar tak diketahui tentara itu . apa yang terjadi ? disaat perlengkapan menggali tanah sudah disiapkan , eh ternyata mereka lupa dengan apa yang akan mereka kerjakan . aneh kan ? tiba2 mereka melepaskan cangkul yg tadinya akan dibuat menggali kubur itu dan berkata :

" ehh kyai ... bolehkah saya memeriksa rumah kyai ? " . nah lo ? kok tiba2 lupa dg urusan penggalian tadi ya ... hehehe .

" oh silahkan saja tuan-tuan periksa " . jawab kyai imam .

para tentara belanda itupun memeriksa disegala penjuru rumah kyai imam . mereka berharap bisa menemukan bayi itu . hingga kebelakang rumah tempat memasak pun mereka periksa . disitu terlihat bara api yg ada dibawah kuali . mereka pikir mana mungkin bayi itu disembunyikan didalam kualin yang ada bara apinya tersebut . pasti bayinya mateng dan mati jika memang ada . akhirnya selesai sudah tentara2 itu menggeledah rumah kyai imam . tanpa hasil . dan para tentara itupun pamit pergi pada kyai imam .

sekarang beralih ke istri sayyid ali akbar . melihat tentara belanda telah pergi , beliau sangat gembira sekali . anak-ku selamat ... pikir beliau . segera beliau pergi kebelakang . dan apa yang terjadi ? beliau menjerit keras saat melihat kuali tersebut tungku apinya membara . beliau pikir bayinya sudah meninggal dan mateng . mendengar jeritan beliau semua orang datang termasuk kyai imam . beliau menceritakan semuanya pada kyai imam . maka kyai imam pun ikut kaget, marah dan menyalahkan santri yg menyalakan tungku api tersebut . tapi apa boleh buat . segalanya sudah terlanjur .

dengan langkah yg lemas dan tangisan seorang ibu , istri sayyid ali akbar mendekati kuali yang sangat panas tersebut .beliau berpikir bayinya itu sudah meninggal dunia . tapi minimal beliau ingin melihat jasad bayinya jika sudah meninggal . namun apa yang terjadi ? setelah tutup kuali itu beliau buka , ternyata didalamnya bayi sayyid ali ashghor masih segar bugar . bayi itu tersenyum sambil memasukkan jempol tangannya yang lucu kedalam mulutnya . semua kaget melihat kejadian itu . sungguh luar biasa seorang bayi terpanggang didalam kuali yg sangat panas dalam waktu yang lumayan lama ternyata masih hidup dan segar bugar . subhanallah ... itulah kisah kelahiran sayyid ali akbar yang nantinya banyak menurunkan tokoh2 ulama besar dindresmo dan lainnya .

hari berganti bulan dan terus berganti tahun akhirnya sayyid ali ashghor sudah besar meski belum dewasa . ibundanya sangat telaten dan sabar dalam mendidik putranya itu . konon disatu riwayat , sayyid ali ashghor belajar ilmu agama langsung ke-ibunya dan saudara-saudaranya secara bergilir . antara sayyid badruddin , sayyid ghozali , sayyid ibrahim dan sayyid iskandar saling bergantian waktu untuk mendidik adiknya itu . karena para kakak2-nya adalah target pencarian belanda maka cara mengajarnya pun secara sembunyi2 . akhirnya berkat pendidikan dari ibunda dan saudara2 beliau jadilah sayyid ali ashghor seorang yg 'alim , pemberani , zuhud dan wara' .

singkat kisah beliau menikah dengan putri sahabat dan family dekat ayahnya ( sayyid hasan sanusi ' kyai selaga' ) yang bernama 'Dewi Muthi'ah' atau nyai muthi . itu karena sudah menjadi keinginan orangtua mereka dulu untuk besanan . tercatat dari hasil perkawinan beliau dengan nyai muthi mempunyai beberapa putra dan putri . antara lain :

Robi'ah - Tamim - Sahal - Mujahid - 'Amiroh - Ruqoyyah - Nadhifah - 'Azimah - Sholihati ( atau mungkin masih ada yg lainnya ? allahu a'lam ) .
saya menuliskan beberapa putra-putri sayyid ali ashghor berdasarkan tulisan silsilah kuno yg saya lihat . untuk adanya khilaf atau tidaknya atau bahkan menolaknya maka saya tak mempunyai kapasitas atau hak untuk itu .


terima kasih

abi al-khoir zakki nafis

AL IMAM AL MUHAQQIQ AL MUDAQQIQ ABUL FAIDH SAYYID AHMAD BIN MUHAMMAD AL GHUMARI AL HASANI ( MAROCCO )

Nasab Beliau
Al Hafidz Al ‘Allamah Al Imam Al Mujtahid Al Muhaqqiq Al Mudaqqiq Abul Faidh Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Siddiq bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Qosim bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdul Mukmin bin ‘Ali bin al Hasan bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin ‘Abdullah bin ‘Isa bin Sa’id bin Mas’ud bin Al Fudhoil bin ‘Ali bin ‘Umar bin Al ‘Arabi bin ‘Allal (Ali menurut bahasa Maghribi) bin Musa bin Ahmad bin Daud bin Maulana Idris Al Asghor bin Maulana Idris Al Akbar bin ‘Abdullah Al Kamil bin Al Hasan Al Muthanna bin Imam Hasan Al Mujtaba bin Sayyidina ‘Ali Karromallahu Wajhah dan Sayyidah Fathimah Az Zahro’ binti Sayyidina Rosulillah Saw.

Beliau dilahirkan di desa Bani Sa’ad, wilayah Ghumarah, utara Maghrib Aqso, Morocco pada hari Juma’at, 27 Ramadhan 1320 H (1902 M). Selepas 2 hari kelahiran beliau, ayahandanya membawa beliau pulang ke wilayah Tonjah (Tangiers).

Sayyid Ahmad Al Ghumari merupakan anak sulung daripada 7 orang bersaudara. Bukan sekedar sulung daripada sudut susunan keluarga, bahkan sulung daripada sudut keilmuan sehingga adik-adiknya berguru dengan beliau. Bahkan adik-adik beliau akan membentangkan setiap karya mereka kepadanya untuk disemak, diedit dan dikomentar. Ayahanda beliau, Sayyid Muhammad Siddiq Al Ghumari merupakan tokoh ‘ulama yang hebat sehingga menjadi rujukan para ‘ulama dari seluruh Morocco. Beliau juga merupakan pengasas Madrasah Siddiqiyyah yang menjadi gedung penyumbang para ulama’ di dunia umumnya dan Morocco khasnya. Datuk beliau Sayyid Ibnu ‘Ajibah Al Hasani merupakan seorang ulama’ yang tidak asing lagi. Beliau merupakan penulis kitab tafsir al-Quran yang berjudul Bahrul Madid fi Tafsir al-Quran al Majid dan kitab tasawwuf yang berjudul Iqozul Himam yang merupakan uraian terhadap kitab Hikam Ibnu ‘Athoillah karangan Imam Al ‘Allamah al Faqih Sayyid Ahmad bin ‘Atoillah al Sakandari. Adik-adik beliau, Sayyid ‘Abdullah, Sayyid ‘Abdul ‘Aziz, Sayyid ‘Abdul Hayy, Sayyid Al Hasan, Sayyid Ibrohim dan Sayyid Muhammad Zamzami merupakan tokoh-tokoh muhaqqiqin. Di kalangan mereka ada yang mencapai martabat Al Hafiz dalam bidang hadits. Begitu juga di kalangan mereka terdapat pakar-pakar yang menjadi rujukan dalam bidang Tafsir, Fiqh, Usul Fiqh, Bahasa Arab, Tasawwuf dan bidang ilmu yang lain. Namun keluarga Al Ghumari merupakan keluarga ulama’ yang menonjol dalam bidang hadits serta keluarga yang melahirkan tokoh-tokoh ulama’ yang mencapai taraf Mujtahid.
Sayyid Ahmad Al Ghumari mulai menuntut ilmu pada usia 5 tahun. Ayahandanya memasukkan beliau ke pondok dengan tujuan untuk menghafal al-Quran. Di samping itu, beliau turut menghafal beberapa matan ilmu seperti Muqaddimah al-Ajurumiyyah dan lain-lain lagi. Setelah itu, beliau mula menumpukan perhatian terhadap subjek-subjek yang lain seperti Nahu, Sorof, Fiqh Maliki, Tauhid dan Hadits. Ayahandanya begitu mengambil berat tentang pendidikan beliau di mana ayahandanya memberi galakan supaya beliau bersungguh-sungguh dan berpenat lelah dalam menuntut ilmu. Ketika mana ayahandanya memerintahkan para pelajar Madrasah Siddiqiyyah supaya menghafal al-Quran, lantas beliau mengarang sebuah kitab yang berjudul Riyadh al Tanzih fi Fadhoil al Quran wa Hamilih untuk menjelaskan tentang kelebihan-kelebihan al Quran dan golongan yang menghafalnya. Perkara ini beliau lakukan ketika masih lagi berusia belasan tahun. Dalam tempoh ini juga, beliau cenderung untuk mempelajari ilmu Hadith dan bergelumang dengan perkara-perkara yang berkaitan dengannya lantas beliau mula membaca dan mengkaji kitab-kitab Hadith khususnya kitab al Targhib wa al Tarhib dan kitab al Jami’ al Soghir berserta huraiannya yang berjudul al Taisir. Ketika berusia 20 tahun, dengan perintah ayahandanya beliau pun merantau ke Mesir untuk melanjutkan pengajian di al Azhar al Syarif. Di Mesir, beliau menumpukan sepenuh perhatian untuk mempelajari Fiqh Maliki dan Syafie. Antara subjek-subjek yang beliau pelajari: 1) Nahu: Matan al Ajurumiyyah berserta huraiannya yang bertajuk Syarah al Kafrowi. Beliau turut mempelajari matan Alfiyyah Ibnu Malik berserta huraiannya yang berjudul Syarah Ibnu ‘Aqil dan Syarah al Asymuni. 2) Tauhid: Kitab Jauharah al Tauhid. 3) Fiqh: Kitab al Tahrir karangan Syeikhul Islam Zakaria al Ansori dalam Fiqh Syafie dan kitab Syarah al Hidayah dalam Fiqh Hanafi. 4) Hadith: Sohih al Bukhari, al Adab al Mufrad, Musnad al Imam al Syafie, Musalsal Awwaliyyah dan Musalsal Yaum ‘Asyura. 5) Usul Fiqh: Kitab Minhaj al Usul ila ‘Ilmi al Usul berserta huraiannya yang berjudul Nihayah al Sul. Dan beberapa subjek lagi yang merangkumi pelbagai bidang ilmu sama ada ilmu-ilmu berbentuk naqliyyah mahu pun ‘aqliyyah. Sayyid Ahmad al Ghumari merupakan seorang pelajar yang pintar dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu sehingga kepintaran dan kesungguhan beliau menimbulkan kekaguman para gurunya. Ini kerana beliau berjaya menghabiskan subjek-subjek tersebut dalam masa yang singkat.

Sayyid Ahmad Al Ghumari memiliki banyak guru dari berbagai negara Islam seperti Mesir, Halab, Damsyik dan Sudan. Beliau menyebut nama-nama mereka secara khusus di dalam kitab yang berjudul al Bahsul ‘Amiiq fi Marwiyyat Ibni al Siddiq. Di antaranya ialah:
1) Ayahanda beliau sendiri Al Imam Al ‘Allamah Sayyid Muhammad bin Siddiq Al Ghumari Al Idris Al Hasani.
2) Syeikh Al ‘Arobi bin Ahmad Bu Durrah, murid ayahandanya.
3) Al ‘Allamah Al Muhaddits Sayyid Muhammad bin Ja’far Al Kittani.
4) Al ‘Allamah Syeikh Muhammad Imam bin Ibrohim Al Saqa Al Syafi’i.
5) Al ‘Allamah Al Faqih Al Usuli Al Mufassir Syeikh Muhammad Bakhit Al Muthi’i, mufti Kerajaan Mesir.
6) Al ‘Allamah Muhaddits Al Haromain Syeikh ‘Umar Hamdan Al Mahrasi
dan lain-lain .

Setelah menamatkan pengajian, beliau mula menumpukan sepenuh perhatian untuk mengkaji bidang Hadits secara riwayat dan dirayah. Lantas beliau mengurung dirinya di rumah dengan tujuan untuk mengkaji hadith dengan lebih mendalam dan teliti. Beliau tidak keluar dari rumahnya melainkan untuk menunaikan sembahyang lima waktu dan tidak tidur pada waktu malam kecuali seketika selepas menunaikan sembahyang sunat Dhuha. Beliau berterusan dalam keadaan sebegini sehingga 2 tahun lamanya. Dalam tempoh ini, beliau menghafal hadits, mengkaji dan mentakhrijnya. Apabila tamat tempoh ini, beliau merantau pula ke Damsyik bersama-sama ayahandanya dan terus pulang ke Morocco. Beliau menetap selama lebih kurang empat tahun di Morocco. Dalam tempoh ini, beliau meneruskan kesungguhan dalam mengkaji ilmu Hadits di samping menghafal, mentakhrij, menulis dan mengajar. Dalam tempoh ini juga, beliau mula mengajar kitab Nailul Autor dan al Syamail al Muhammadiyyah yang mana kedua-duanya merupakan kitab hadith. Setelah itu, beliau kembali merantau ke Mesir bersama dua orang adiknya Sayyid ‘Abdullah dan Sayyid Muhammad Zamzami. Di Mesir, beliau menjadi tempat rujukan para ulama’ walaupun beliau masih lagi berusia muda.
Di samping menulis, beliau diminta untuk membacakan kitab Fathul Bari dan Muqaddimah Ibnu Solah. Beliau turut mengadakan majlis imla’ yang bertempat di Masjid Imam Husain dan Masjid al Kokhya. Pada tahun 1354 H(1936 M), beliau pulang ke Morocco disebabkan kewafatan ayahandanya. Lantas beliau mengambil alih tempat ayahandanya bagi meneruskan kelangsungan Madrasah Siddiqiyyah. Maka beliau mula mengajar kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu Hadith dan mengadakan majlis-majlis imla’. Sayyid Ahmad Al Ghumari sering menyeru orang ramai agar kembali berpegang dengan Sunnah Nabawiyyah dan beliau menentang dengan keras sebarang peniruan dan penyeruan serta ikutan terhadap golongan kafir lebih-lebih lagi Morocco ketika itu telah mula dimasuki pengaruh Eropah yang membawa unsur-unsur yang negatif.

Sayyid Ahmad Al Ghumari bukan saja terkenal sebagai seorang ilmuwan dan tokoh dalam bidang hadits bahkan beliau adalah seorang tokoh mujahid yang berjuang bermati-matian menentang penjajah dan penjajahan. Lantas kerana itu, beliau telah dipenjara selama beberapa tahun. Setelah dibebaskan dari penjara, beliau berterusan dikenakan tekanan oleh pihak penjajah sehingga akhirnya beliau memutuskan untuk merantau meninggalkan Morocco dan memilih untuk menetap di Mesir sampai akhir hayat.

Sayyid Ahmad Al Ghumari merupakan seorang ‘ulama yang banyak menulis sehingga diberi gelaran sebagai ‘al Suyuti pada zamannya’. Karangan beliau mencecah sebanyak 169 buah. Beliau menulis dalam berbagai bidang ilmu seperti ‘Aqidah, Fiqh, Tafsir, Hadith, Tasawwuf, Sejarah, Biografi dan sebagainya. Karya-karya beliau ada yang telah dicetak dan ada yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Diantara karya-karya beliau:

1) Ibraz al Wahm al Maknun min Kalam Ibni Khaldun.
2) Ithaf al Adib bima fi Ta’liq ‘Ilam al Arib.
3) Ithaf al Huffaz al Maharah bi Asanid al Usul al ‘Asyarah.
4) Al Ajwibah al Sorifah ‘an Isykal Hadith al Toifah.
5) Ihya’ al Maqbur bi Adillah Bina’ al Masajid wal Qubab ‘ala al Qubur.
6) Azhaar al Raudhatain fiman yu’ta Ajrahu Marratain.
7) Al Azhar al Mutakathifah fil Alfaz al Mutaradifah.
8)Al Isti’azah wal Hasbalah mimman Sohhaha Hadith al Basmalah.
9) Al Isti’adhoh bi Hadith Wudhu’ al Mustahadhah.
10) Al Istinfar li Ghazwi al Tasyabbuh bil Kuffar.
11) Al Asrar al ‘Ajibah fi Syarh Azkar Ibn ‘Ajibah.
12) Al Ifdhol wal Minnah bi Ru’yah al Nisa’ Lillah fil Jannah.
13) Iqomah al Dalil ‘ala Hurmah al Tamsil.
14) Al Iqlid bi Tanzil Kitabillah ‘ala Ahli al Taqlid.
15) Al Iqna’ bi Sihhah al Solah Khalfa al Mizya’ dan lain-lain lagi.

Karya-karya Sayyid Ahmad Al Ghumari merupakan himpunan karya yang bermutu tinggi. Di dalamnya terhimpun dalil-dalil, hujah-hujah, fakta-fakta serta keterangan-keterangan yang membuktikan keluasan ilmu beliau di dalam pelbagai lapangan ilmu ditambah dengan beberapa pandangan yang dilontarkan hasil ijtihad beliau sendiri. Ini merupakan suatu perkara yang tidak mustahil kerana beliau sendiri telah mencapai taraf mujtahid. Dikatakan beliau mula berijtihad setelah berjaya membaca 7 buah kitab dalam pelbagai mazhab yang mana kitab-kitab tersebut ada yang mencecah berjilid-jilid banyaknya. Ini merupakan suatu perkara yang mengagumkan.

Setelah pulang dari Sudan, beliau ditimpa sakit terus menerus. Hingga akhirnya pada hari Ahad, awal bulan Jumadil Akhir 1380 H(1962 M) Beliau menghembuskan nafas terakhir dalam usia 60 tahun. Jenazah beliau disemedikan di Kaherah, Mesir.

Semoga Allah merohmati Sayyid Ahmad Al Ghumari serta membalas jasa-jasa beliau dalam mempertahankan Sunnah Nabawiyyah dengan sebaik-baik pembalasan. Amin !!!.

http://zulfanioey.blogspot.com/2012/05/al-imam-al-muhaqqiq-al-mudaqqiq-abul.html

makam Syed Ahmad (Tok Ku Tuan Melaka) b Syed Muhammad (Tok Ku Tuan Pahang) b Syed Husein b Syed Mustafa b Syed Sheikh.....terletak di tanah perkuburan dekat pasar Cabang Tiga..." TRENGGANU


Sayyid ‘Abdullah bin Shadaqah bin Zaini Dahlan al-Jailani

Beliau adalah seorang ulama besar yang dilahirkan pada tahun 1290H /1291H (1874M /1875M) di Kota Makkah al-Mukarromah. Beliau lahir dalam keluarga ulama yang sholeh. Ayahanda beliau adalah saudara kandung Syaikhul Islam Mufti Haramain Sayyidi Ahmad Zaini Dahlan, ulama dan mufti Hijaz yang masyhur, manakala bunda beliau adalah saudara perempuan Sayyidi Abu Bakar Syatho ad-Dimyathi ( Pengarang kitab I`anathuttholibin ).
Nasab penuh beliau adalah Sayyid ‘Abdullah bin Shadaqah bin Zaini Dahlan bin Ahmad Dahlan bin ‘Utsman Dahlan bin Ni’matUllah bin ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Athoya bin Faaris bin Musthofa bin Muhammad bin Ahmad bin Zaini bin Qaadir bin ‘Abdul Wahhab bin Muhammad bin ‘Abdur Razzaaq bin ‘Ali bin Ahmad bin Ahmad (Mutsanna) bin Muhammad bin Zakariyya bin Yahya bin Muhammad bin Abi ‘Abdillah bin al-Hasan bin Sayyidina ‘Abdul Qaadir al-Jilani, Sulthanul Awliya` bin Abi Sholeh bin Musa bin Janki Dausat Haq bin Yahya az-Zaahid bin Muhammad bin Daud bin Muusa al-Juun bin ‘Abdullah al-Mahd bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sibth bin Sayyidinal-Imam ‘Ali & Sayyidatina Fathimah al-Batuul radhiyaAllahu`anhum ajma`in.

Tatkala beliau berusia 6 tahun, ayahandanya wafat, Sidi Ahmad Zaini Dahlan telah mengambil tugas ayahandanya untuk menjaga dan memberi pendidikan yang sempurna kepadanya. Pamannya ini turut mengasihi dirinya serta memberikan perhatian besar terhadapnya. Beliau berada di bawah asuhan pamannya ini sehinggalah ulama besar Hijaz ini wafat di Kota Madinah al-Munawwarah pada tahun 1304H (1887M).

Setelah kepergian pamannya yang mulia, Sayyid ‘Abdullah kembali ke Kota Makkah dan menyambung pengajiannya dengan para ulama di sana, antaranya dengan pamannya Sayyidi Abu Bakar Syatho ad-Dimyathi, Syaikh Muhammad Husain al-Khayyath, Habib Husain bin Muhammad al-Habsyi dan lain-lain ulama terkemuka. Kedalaman ilmunya diakui para ulama sehingga beliau diberi kepercayaan untuk menjadi Imam dalam Masjidil Harom di Maqam Ibrahim (tempat bagi Imam mazhab Syafi’i ) serta menjadi tenaga pengajar di Masjidil Haram yang mengendali halaqoh ilmu di Babus Salam.

Sayyid ‘Abdullah terkenal sebagai u`ama yang suka mengembara dari satu tempat ke satu tempat demi menyebarkan risalah dakwah dan ilmu. Beliau telah merantau ke banyak tempat seperti Zanzibar, Yaman, India, Mesir, Bahrain, Iraq, Syam, India, Sri Lanka, Tanah Melayu, Singapura, Jawa dan Sulawesi. Beliau juga telah mendirikan berbagai madrasah di tempat-tempat tersebut. Apa yang menarik ialah sewaktu di Tanah Melayu beliau telah dilantik menjadi Syaikhul Islam (Mufti) Kedah kedua. Namun jawatan tersebut hanya disandangnya kira-kira setahun yaitu dari 1904M sehingga 1905M dan dilepaskannya karena beliau berhasrat untuk kembali ke Makkah.

Setelah lama berkelana, akhirnya Sayyid ‘Abdullah telah memilih untuk menetap di Desa Ciparay Girang, Karang Pawitan dalam daerah Garut, Jawa Barat. Di situlah beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1943 M, setelah menjalani hidup yang penuh keta`atan dan keberkatan. Beliau meninggalkan beberapa karangan, antaranya:-

1. Irsyad Dzil Ahkam;

2. Zubdatus Sirah an-Nabawiyyah;

3. Tuhfatuth Thullab fi qawa’idil i’raab;

4. Khulaashah at-Tiryaaq min samuum asy-Syiqaaq;

5. Irsyadul Ghaafil ila maafiith thoriiqatit Tijaaniyyati minal baathil;

6. Fatwa fi ibthal thoriqah wahdatil wujud.

Mudah-mudahan Allah senantiasa mencucuri Rahmat dan Ridho-Nya kepada Sayyidi ‘Abdullah bin Shodaqoh Dahlan al-Jilani al-Hasani. …… Hadiyatan liruhihi al-Fatihah………
….
http://zulfanioey.blogspot.com/2012/05/sayyid-abdullah-bin-shadaqah-bin-zaini.html

Sayid Zen Al Jufri/ Tengku Pangeran Kesuma Dilaga

Makam Sayid Zen Al Jufri bergelar  Tengku Pangeran Kesuma Dilaga adalah Cucu dari Sultan Alam dari anak beliau yang bernama Tengku Hawi/Hawa yang menikah dengan Sayid Sech AL Jufri . Pangeran Kesuma Dilaga merupakan Panglima Perang Kerajaan Siak pada masa Sultan Siak ke 7 dan 8.


Sayid Osman Sahabuddin (Marhum Barat)

Sayid Osman Sahabuddin   bin Abdurrahman Sahabuddin adalah menantu dari Raja Alam sekaligus Panglima Perang kerajaan Siak dan Ulama Kerajaan pada masa itu.  Said Osman menikah dengan Tengku Embong Badariah. Dari keturunan beliaulah para Sultan Siak dan Raja Pelalawan mewarisi garis keturunan Arab  dari Saydina Ali  dan fatimah yang bernasabkan Rasulullah SAW (Bani Hasimiyyah)

http://opowaela.wordpress.com/2012/11/06/komplek-makam-pendiri-kota-pekan-baru/

RATU NAHRISYAH ISTRI SULTAN MALIKUL DHAHIR

Nahrisyah adalah seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai yang memegang pucuk pimpinan tahun 1416-1428 M. Ratu Nahrisyah dikenal arif dan bijak, memerintah dengan sifat keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat perempuan begitu mulia sehingga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa pemerintahannya. Nahrisyah mangkat pada tanggal 17 Zulhijjah 831 H atau 1428 M.Surat Yasin dengan kaligrafi yang indah terpahat dengan lengkap pada nisannya. Disamping itu tercantum pula ayat Kursi, Surat Ali Imran ayat 18 19, Surat Al-Baqarah ayat 285 286 dan terpahat sebuah penjelasan dalam aksara Arab yang artinya: “Inilah makam yang suci, Ratu yang mulia almarhumah Nahrisyah yang digelar dari bangsa chadiu bin Sultan Haidar Ibnu Said Ibnu Zainal Ibnu Sultan Ahmad Ibnu Sultan Muhammad Ibnu Sultan Malikussaleh, mangkat pada hari Senin 17 Zulhijjah 831 H”


RATU GALUH ( ISTRI PRABU SILIWANGI)

Di area Kebun Raya Bogor teryata ada sebuah makam keramat. Namun tak banyak orang yang tahu. Tidak hanya satu, melainkan tiga makam. Makam ini dipercaya sebagai tempat peristirahatan terakhir dari Ibu Ratu Galuh Mangku Alam.

Beliau adalah istri dari Sri Baduga Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Padjajaran. Makam keramat yang kedua ialah makam Mbah Japra, panglima perang dari pasukan Sri Baduga Prabu Siliwangi. Sementara yang ketiga adalah makam Mbah Ba’ul yang merupakan patih dari Sri Baduga Prabu Siliwangi. Ketiga makam tersebut dijaga oleh satu juru kunci dan dua orang perawat makam.

Juru kunci makam keramat ini adalah Abdurrahman yang merupakan keturunan kedua dari juru kunci makam keramat. Sebelumnya yang menjadi juru kunci makam adalah H Rahmat, ayah dari Abdurrahman. Sedangkan yang menjadi perawat makam keramat saat ini dipegang Atmawijaya dan Ugan, yang masih ada hubungan saudara juru kunci.

Atmawijaya menjelaskan, ketiga makam ini merupakan bukti sejarah adanya kekuasaan Kerajaan Padjajaran di Kota Bogor. "Makam keramat ini sering didatangi oleh pengunjung. Tujuan dari mereka pun bermacam–macam," ungkap Atmawijaya.

Dia menambahkan, ada yang sekadar bersilaturahmi atau hanya melakukan napak tilas. Namun ada juga yang datang dengan maksud dan tujuan tertentu. "Biasanya mereka yang datang dengan maksud dan tujuan tertentu itu kebanyakan berasal dari luar kota Bogor. Dulu ada juga yang sering berkunjung ke makam pada malam hari,"  katanya menuturkan.

Dia mengatakan, tak ada syarat khusus jika ingin mengunjungi makam keramat ini. "Asalkan tubuh kita bersih dari hadas dan disertai dengan niat yang baik,"  ujar Atmawijaya.

Lebih lanjut dia menuturkan, ada cerita menarik terkait makam keramat ini. "Jika ada orang yang ingin berkunjung dan sebelumnya sudah janjian, biasanya pasti tidak jadi.  Tak tahu alasannya mengapa, yang pasti kunjungan ke makam keramat ini selalu gagal bila janjian dulu," papar perawat makam ini.

Mengenai Mbah Japra, Atmawijaya menuturkan bisa dikatakan sebagai penjaga Kota Bogor. "Dipercaya Kota Bogor ada yang menjaga, Mbah Japra," ujarnya. Hal itu terbukti, dari keberadaan Bogor yang terbilang aman-aman saja. Adanya keyakinan inilah, kata  Atmawijaya, yang menyebabkan banyak orang berziarah ke makam Mbah Japra.

Menurutnya, mereka yang paling banyak berziarah ke makam Mbah Japra adalah para pejabat dan paranormal. Namun warga biasa juga banyak yang datang. Atmawijaya mengingatkan, menziarahi makam Mbah Japra sebenarnya hanya perantara antara Tuhan dan manusia. "Semuanya hanya Allah yang menentukan, bukan kuburan. Jadi jangan minta-minta sama makam, tapi kepada Allah," tandasnya,dan juga dia mengingatkan untuk selalu menjaga Dzikir dan Shalawat, karena itu adalah jalan keutamaan dalam Iman dan Perjuangan.

Atmawijaya pun menjelaskan secara singkat silsilah dan sejarah mengenai Pajajaran hingga terpisahnya Cirebon dan Banten yang menurutnya ada hubungannya dengan dua anak dari Prabu Siliwangi yaitu Kanjeng Rara Santang dan Pangeran Kian Santang.

http://mauryanusantara.blogspot.com/2012/10/napak-tilas-nusantara-bunda-ratu-galuh.html

Makam Ranggalawe, Kabupaten Tuban

Makam Ranggalawe terletak di tengah kota Tuban, tepatnya di dukuh Kajongan, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban, Jaw Timur.
Ranggalawe adalah seorang yang berjasa atas berdirinya Mojopahit, akhirnya beliau diberi ganjaran  sebagai  Adipati dan berkuasa di Tuban.
Di dalam kompleks pemakaman terdapat ratusan makam penduduk dan beberapa buah cungkup.
Sebuah cungkup yang relatif besar berisi makam beberapa orang tokoh penting yang berjajar dari barat ke arah timur.
Menurut R. Soeparmo di dalam bukunya Catatan Sejarah 700 TahunTuban, makam tersebut berisi makam beberapa orang tokoh penting, yaitu:
1.       Raden Arya Ranggalawe.
2.      Raden Arya Siralawe.
3.      Raden Arya Sirawenang.
4.      Raden Arya Lena.
5.      Raden Arya Panular/Arya Dikara.
6.      Raden Arya Teja (Permulaan agama Islam).
7.      Raden Ayu Arya Teja.
8.     Nyai Ageng Manila, ibunda Sunan Bonang.
9.      Nyai Ageng Rondo Kuto (saudara Sunan Bonang tunggal bapa).
10.  Kyai Ageng Ngadusi.
11.   Nyai Ageng Marwati.
12.  Nyai Ageng Ghusniyah.
13.  Nyai Ageng Wanapala.
14.  Kyai Ageng Batulare.
TUBAN BUMI WALI; The spirit of armoni, Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban, 2013, hlm.



Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) Melalui Kesenian Sunda

Garut terkenal dengan sebutan Swiss van Java karena hawa yang dingin,keadaan kota yang tenang dan indah seperti keadaan kota Switzerland di Eropa. Hawa kota Garut yang dingin dan sejuk dikarenakan merupkan daratan yang berada di cekungan antar gunung, yaitu komplek Gunung Guntur, Gunung Haruman dan Gunung Kamojang di sebelah barat. Gunung Papandayan dan Gunung Cikuray di sebelah selatan tenggara. Gunung Cikuray, Gunung Talagabodas dan Gunung Galunggung di sebelah timur. Tidak hanya keadaan alam yang membuat Garut menjadi terkenal masyarakat Garut terkenal merupakan pemeluk agama Islam yang kuat dan taat.
Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak). Beliau dimakamkan di pemakaman Cinunuk, Wanaraja, Garut. Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) wafat a Senin malam tanggal 17 Safar tahun 1317 H, atau tahun 1819 M. Makam beliau tidak pernah sepi dikunjungi peziarah baik dari dalam kota maupun luar kota. Kebanyakan peziarah yang datang di makam Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) datang dalam rombongan kecil berbeda dengan peziarah yang datang ke makam walisongo di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah yang sering datang dalam rombongan besar. Menurut Aji teman saya yang asli Garut, kebanyakan peziarah Garut datang ke makam wali dalam rombongan kecil (4 sampai 8 orang) karena masing – masing mereka memiliki intepretasi akan ziarah wali yang berbeda di setiap kampung.

Apabila Sunan Ampel menyebarkan agama Islam dengan menciptakan lagu lir ilir, Sunan Bonang dengan gending, Sunan Kalijaga dengan mempopulerkan lagu tombo ati dan gending jawa maka wali Allah dari Garut yang saya ziarah ini yaitu Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) pun menggunakan pendekatan kesenian dalam menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat Garut. Ketertarikan Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) dalam menghaluskan rasa melalui kesenian tradisi melahirkan karya seni monumental, yaitu kesenian tradisional Boyongan. Terdapat beberapa jenis kesenian tradisi yang selalu dipagelarkan waktu itu, diantaranya: wayang golek, reog, pantun, wawacan (beluk), tembang, karinding, terbang, tari dan boboyongan.

Dalam pementasan semua kesenian itu senantiasa diselipkan ajaran Islam berupa petuah, suri tauladan, gambaran bagi orang-orang yang mau berbuat kebenaran, dan larangan-larangan bagi orang yang berbuat kezaliman. Kecintaannya dalam bidang ilmu pengetahuan melahirkan sebuah karya naskah sastra Sunda kuno berjudul Wawacan Jakah dan Wawacan Aki Ismun. Melalui dua media ini, Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) menyebarkan syiar Islam kepada masyarakat luas. Putra dari Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) bernama Raden Djajadiwangsa pada 1910 melanjutkan dakwah ayahnya dengan menciptakan kesenian Surak Ibra. Surak Ibra menjadi salah satu kesenian yang berasal dari jawa barat. Ketika menciptakan Surak Ibra, putra Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) yaitu, Raden Djajadiwangsa merupakan orang kuwu (kepala desa) di Kampung Sindangsari Desa Cinunuk Kecamatan Wanaraja Garut.

Kesenian tradisional Surak Ibra ciptaan putra dari Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) bernama Raden Djajadiwangsa ini dikenal juga dengan nama Boboyongan Eson. Pesan Surak Ibra pada awalnya adalah kesenian yang menyiratkan sindiran atau pernyataan ketidaksetujuan pada pemerintah Belanda kala itu. Dalam Surak Ibra ini juga terkandung suatu niat masyarakat Garut untuk memiliki pemerintah dan pemimpin sendiri dengan semangat bersatu antara pemerintah dan masyarakat. Digawangi oleh 40-100 pemain, Surak Ibra menampilkan pertunjukan dengan alat kesenian berupa kendang penca, angklung, dog-dog, kentungan, dan lain-lain.