Sabtu, 19 Oktober 2013

AL HABIB SYEKH BIN AHMAD BAFAQIH ( BOTO PUTIH SURABAYA )

Habib Syekh dilahirkan di kota Syihr pada tahun 1212 H anak dari Habib Ahmad Bafaqih dan silsilahnya sampai kepada Nabi Muhammad Rasululloh SAW

Dakwah

Setelah beberapa lama memperdalam pengetahuannya disana-sini, pada tahun 1250 H, Habib Syekh mulai berani mengambil langkah dakwah menyebarkan ilmunya. Ia sempat menjelajahi beberapa kota di Nusantara, sebelum akhirnya memutuskan berlabuh dikota Surabaya.

Di Surabaya inilah, mulai memancarkan cahaya pengetahuannya. Ia mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para penuntut ilmu sekitar. Mulai dari Fiqih, Tauhid, Tasawuf dan lainnya. Hingga akhirnya, ditengah hingar bingar dakwahnya itu, ia diangkat oleh Allah SWT menjadi salah satu walinya. Semenjak itu pula, ia sering terhanyut alam Rabbaniyah, dan karamah-karamah ynag luar biasa senantiasa mengisi kesehariannya.

Sebagaimana seorang sufi, Habib Syekh Bafaqih memiliki kepekaan yang tinggi akan syair-syair sufistik. Ia begitu mudah terbawa terbang oleh syair-syair gubahan para tokoh sufi. Apalagi bila menyenandungkan syair itu adalah adiknya sendiri, Sayid Muhammad Bafaqih yang bersuara emas, bisa-bisa ia mabuk kepayang semalaman.

Dakwah Habib Syekh ditanah jawa amatlah sukses. Ia berhasil mengislamkan banyak orang. Selain itu, ia juga berhasil mencetak beberapa ulama. Walhasil, ilmunya benar-benar menyinari belantara jawa yang masih awan kala itu.

Karomah dan Keutamaan

Pada suatu ketika tibalah Habib Syekh di kediaman salah satu pecintanya. Ini bukan kunjungan biasa, akan tetapi kunjungan sarat hikmah. Pasalnya, begitu ketemu shahibul bait, Sang Wali menggelontorkan permintaan yang agak ganjil.”Aku menginginkan dua lembar permadani ini.” titahnya.
Sang pecinta terkesiap. Bagaimana tidak, yang diminta junjungannya itu adalah permadani buatan Eropa yang super mahal. Barang itu baru saja dibelinya. Ia amat menyayangi permadani itu hingga ditempatkannya di tempat khusus.
“Bagini saja. Anda boleh minta apa saja, asal jangan permadani ini.” Pinta si pecinta. “Tidak. Aku tidak menginginkan lainnya.” Sang Wali bergeming. Negosiasi alot. Dan akhirnya hati pecinta setengah mencair. ”Baiklah, kalau begitu Anda boleh mengambil satu lembar saja.”
Setelah mendapatkan permintaannya itu, Sang Wali segera beranjak. Sang pecinta adalah seorang saudagar kaya raya. Sewaktu disambangi Sang Wali, Dua armada kapal dagangannya tengah berlayar di lautan dengan membawa muatan yang banyak. Sayang nahas mendera, dua armadanya itu koyak akibat terjangan gelombang. Salah satunya terhempas lalu tenggelam. Sementara satunya lagi selamat dan berhasil mendarat.
Hati saudagar sedikit lega. Syukur, tidak kedua-duanya tenggelam. Ia memeriksa kapalnya yang selamat itu dengan seksama. Dan, terpampanglah pemandangan ajaib dihadapannya. Ya, selembar permadani yang dihadiahkan kepada Sang Wali telah menambal rapat-rapat bagian yang koyak pada perahunya. Ia terpekur, menyesali perlakuannya pada Sang Wali. “Mengapa tidak kuberikan kedua-duanya saja waktu itu.” gerutu hatinya.

Kisah masyhur diatas dihikayatkan oleh Habib Abdul Bari bin Syekh Al-Aydrus,dan dicantumkan dalam manuskrip Tajul A’ras, torehan pena Habib Ali bin Husein Al-Attas.

Suatu malam, Habib Abdullah Al-Haddad, seoarang wali yang dulu dikenal royal menjamu tamu, menyuruh seorang sayid bernama Abdullah bin Umar Al-Hinduan berziarah kepusara Habib Syekh Bafaqih. “Hai Abdullah, pergilah kamu kepusara Habib Syekh sekarang, dan katakan pada beliau,” Abdullah Al-Haddad saat ini butuh uang dua ribu rupiah. Tolong, Berilah ia uang besok !” perintahnya.

Sayid Abdullah segera berangkat. Sesampainya dipusara Habib Syekh, ia membaca ayat-ayat suci dan doa-doa. Kemudian ia membisikkan ke makam kalimat yang dipesankan Habib Abdullah.

Selang dua hari kemudian, Sayid Abdullah berjumpa lagi dengan Habib Abdullah. Wali yang sangat dermawan itu nampak berbunga-bunga. ”Lihat uang ini. Aku terima dari Habib Syekh .” Selorohnya sembari menunjukkan segepok uang pada Abdullah Al Haddad Maklum, dua ribu rupiah uang dulu, sama nilainya dengan dua belas juta ripiah uang sekarang.

Sang Wali yang berkaromah luar biasa itu, tidak lain tidak bukan, adalah Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, ulama besar yang pusarannya ada didaerah Boto Putih, Surabaya. Dekat masjid Sunan Ampel. Karena itu, masyarakat lebih mengenal beliau sebagai Habib Syekh Boto Putih.

Di masanya, keulamaaan Habib Syekh sulit tertandingi. Pengetahuannya dalam Fiqih, Lughah, Tauhid dan lainnya sangat dalam. Sehingga sewaktu tinggal di Surabaya, beliau menjadi oase yang mengobati dahaga orang-orang yang haus ilmu di ranah Jawa.

Pencapaian luar biasa itu tidaklah didapatkan Habib Syekh dengan mudah dan gampang. Sebab ilmu takkan pernah ditumpahkan dari langit begitu saja. Sejak usia belia, beliau sudah bekerja keras menggali ilmu. Mula-mula ia mempelajari Al-Qur’an dan beberapa bidang pengetahuan syari’at dan tasawuf kepada ayahandanya sendiri, Habib Ahmad bin Abdullah Bafaqih. Kebetulan, Sang Ayah sendiri adalah ulama yang sudah kesohor ketinggian ilmunya.

Ia kemudian mengembangkan diri dengan belajar pada ulama-ulama yang ada di kotanya, Syihr. Pada fase ini, jiwa ilmuannya sedang mekar-mekarnya. Semakin lama hatinya semakin merasakan kehausan tak terkira untuk meneguk pengetahuan sehingga beliau dengan seizin ayahnya memutuskan berangkat ke Haramain unntuk menyelami telaga pengetahuan disana.

Selama di Mekah dan Madinah, beliau belajar kepada beberapa ulama besar, diantaranya adalah Syaikh Umar bin Abdul Karim bin Abdul Rasul At-‘Attar, Syaikh Muhammad Sholeh Ar-Rais Al-Zamzami, dan Al-Allamah Sayid Ahmad bin Alawi Jamalullail. Tak hanya sampai di situ. Ia pun menyempatkan diri tinggal di Mesir beberapa lama, untuk menimba pengetahuan dari guru-guru besar Universitas al-Azhar kala itu.

Wafatnya Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih

Beliau wafat pada tahun 1289 H di Surabaya. Diatas pusarannya dibangun kubah yang megah, sebagai perlambang kemegahan derajatnya. Sampai kini makamnya tak henti-hentinya diziarahi kaum muslimin, untuk bertawasul dengan mengharapkan barokah. Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Aamiin

Diposkan oleh ANDRI WIJAYA
http://shoeap.blogspot.com/2010/06/al-habib-syekh-bin-ahmad-bafaqih-boto.html

Al Habib Syeikh Abu Bakar Bin Salim

Syeikh Abubakar bin Salim dilahirkan pada tanggal 13 Jumadil Akhir 919 H di kota Tarim, Yaman. Ia tumbuh dewasa menjadi seorang tokoh sufi yang masyhur sekaligus seorang yang alim dan mengamalkan ilmunya.

Ayahandanya adalah Habib Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf. Sedangkan Ibunda beliau adalah Syarifah Thalhah binti Agil bin Ahmad bin Abubakar As-Sakron bin Abdurrahman Assegaf.

Jauh sebelumnya, kelahiran beliau telah banyak diramalkan oleh para wali terkemuka, diantaranya adalah Al-Imam Ahmad bin Alwi yang tinggal di daerah Maryamah, sekali waktu beliau datang ke Inat dan ia duduk di sebidang tanah yang pada waktu itu hanya berupa semak belukar dan bebatuan. Ia berhenti sejenak di tempat tersebut dan berkata kepada masyarakat yang hadir waktu itu, “Akan lahir salah seorang anak kami yang akan mempunyai keagungan dan ia akan tinggal di tempat ini”. Selanjutnya ia berjalan berkeliling kota Inat sambil sesekali menunjukkan tempat-tempat yang kelak berkaitan dengan Syeikh Abubakar bin Salim, ia menunjukkan tempat yang akan dibangun masjid oleh Syeikh Abubakar dan ia sempat shalat disana, ia juga menunjukkan tempat dimana Syeikh Abubakar akan membangun rumah.

Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi meriwayatkan bahwa wali lainnya yang telah meramalkan keberadaan Syeikh Abubakar adalah Habib Muhammad bin Ahmad Jamalullail, ia berkata, “Akan ada disini (Inat) salah seorang dari anak-anak kami yang akan termasyhur dengan keagungan dan kewalian, dan Qubahnya akan berada dan didirikan di kota ini”.


Sejak kecil Syeikh Abubakar bin Salim telah menunjukkan tanda-tanda bahwa kelak ia akan menjadi orang yang memiliki kemuliaan. Pernah pada suatu kesempatan Syeikh Faris Ba Qais bersama para muridnya pergi ke Tarim. Ikut dalam rombongan Syeikh Faris 300 pemegang rebana yang mengiringi perjalanan itu dengan tabuhan rebananya. Setibanya di Tarim ia bersama pengikutnya mengunjungi Habib Syeikh Al-Idrus. Keesokan harinya Syeikh Faris berniat untuk menziarahi makam Nabi Hud AS, ia berkata kepada sejumlah habib, “Wahai habaib, kami membutuhkan seorang pengantar darimu, terus terang kami takut jika dalam perjalanan nanti ilmu kami dicuri orang”. Para Habib menyanggupi, “Jangan khawatir, kami cukup mempunyai banyak orang berilmu disini, lagi pula mencuri ilmu bukanlah kebiasaan kami”. Mulailah Syeikh Faris mencari orang yang dianggap mampu mengawal dia dan para pengikutnya, sampai akhirnya ia melewati Syeikh Abubakar bin Salim yang saat itu masih berusia 4 tahun, sedang bermain-main di jalan bersama teman sebayanya. “Aku pilih anak ini”, kata Syeikh Faris sambil menunjuk si kecil Abubakar bin Salim. Para habib segera menjawab, “Anak kecil ini mana pantas mengawalmu?”. Syeikh Faris berkata, “Aku adalah tamu kalian dan aku hanya menginginkan anak ini”. Para habib kemudian mendatangi ibu Syeikh Abubakar bin Salim dan mengabarkan persoalan yang mereka hadapi. Ibunya berkata, “Anak ini masih kecil, cari saja yang lain”. Mereka menjawab, “Syeikh Faris hanya menginginkan anakmu”. Akhirnya sang ibu memberikan izin.

Syeikh Abubakar kemudian digendong oleh pelayannya, Ba Qahawil, untuk mengawal Syeikh Faris dan rombongannya. Syeikh Umar Ba Makhramah, seorang wali Allah, yang ikut dalam rombongan Syeikh Faris memegang kepala Ba Qahawil sambil melantunkan syair yang diawali dengan bait-bait berikut:

Semoga Allah membahagiakan temanmu, hai Ba Qahawil pohon kurma apa ini, masih kecil sudah berbuah Mereka menanamnya di waktu Dhuha dan sudah memanennya di waktu senja.

Kemudian Syeikh Umar mengusap kepala Syeikh Abubakar bin Salim sambil meneruskan syairnya:

"Wahai emas sejati, dengan pandangan-Nya Allah memeliharamu

semua lembah yang luas menjadi kecil dibanding lembahmu "


Masa muda Syeikh Abubakar bin Salim dipenuhi dengan rutinitas pendidikan, selain didikan orang tuanya, juga tercatat beberapa ulama besar yang menjadi gurunya, antara lain, Syeikh Umar Basyeiban Ba’alawi, Syeikh Abdullah bin Muhammad Baqusyair, Syeikh Muhammad bin Abdullah Bamakhramah, Imam Ahmad bin Alwi Bajahdab, Syeikh Makruf Bajamal dan Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah.

Pada suatu ketika Syeikh Abubakar berniat belajar kepada salah seorang gurunya, Syeikh Makruf Bajamal yang tinggal di kota Syibam. Namun ia terpaksa berhenti di pinggir kota, karena Syeikh Makruf Bajamal belum berkenan menemuinya. Setiap kali dikatakan kepada Syeikh Makruf, “Anak Salim bin Abdullah meminta izin untuk menemuimu.” Jawabnya selalu, “Katakan kepadanya bahwa aku belum berkenan menerimanya”, meskipun ayah beliau adalah seorang yang dihormati karena kesalehannya. Syeikh Abubakar bin Salim tetap bersabar di bawah teriknya matahari dan dinginnya angin malam. Ia menguatkan hati dan mengendalikan nafsunya demi memperoleh asrar.
Baru setelah lewat 40 hari ia menerima kabar bahwa Syeikh Makruf bersedia menemuinya. Syeikh Makruf hanya memerlukan beberapa saat saja untuk menurunkan ilmu kepadanya. Sewaktu keluar dari kediaman Syeikh Makruf, ia mendapati sekumpulan kaum wanita yang mengelukan-elukan kedatangannya, “Selamat wahai Ibnu Salim, selamat wahai Ibnu Salim.” Mereka berbuat demikian dengan harapan mendapatkan sesuatu darinya. Iapun segera menyadari hal ini dan kemudian mendoakan agar mereka mendapatkan suami yang setia. Menurut Habib Ali hingga saat ini kaum wanita Syibam memiliki suami yang setia. Ketika Habib Ali ditanya, “Apakah Syeikh Ma’ruf juga termasuk salah satu dari guru-guru Syeikh Abubakar bin Salim?” Ia menjawab, “Ya, akan tetapi beliau kemudian mengungguli syeikhnya”.

Syeikh Abubakar bin Salim mempelajari Risalatul Qusyairiyah yang sangat terkenal dalam dunia tasawuf di bawah bimbingan Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah. Disebutkan dalam Kitab Tadzkirun Naas, sekali waktu Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas shalat ashar di masjid Syeikh Abdul Malik Baraja di Kota Seiwun, ia menunjukkan sebidang tanah sambil berkata : “Ini adalah sebidang tanah yang mana pernah terjadi satu peristiwa antara Syeikh Umar Bamakhramah dan Syeikh Abubakar bin Salim. Tatkala itu Syeikh Abubakar sedang belajar dan membaca kitab tasawwuf yang terkenal Risalah Al-Qusyairiyah, tatkala sedang membahas kekeramatan para wali, Syeikh Abubakar bin Salim bertanya kepada gurunya “Kekeramatan itu seperti apa ?”, dijawab oleh Syeikh Umar, “Contoh kekeramatan itu adalah engkau tanam biji kurma ini kemudian ia langsung tumbuh dan berbuah pada saat itu juga” Kemudian Syeikh Umar yang kala itu memang sedang memegang biji kurma, melemparkan biji kurma tersebut ke tanah dan kemudian langsung tumbuh dan berbuah, sehingga orang-orang yang hadir saat itu dapat memetik dan memakan buahnya. Orang-orang yang hadir pada saat itu berkata pada Syeikh Abubakar bin Salim “Kami menginginkan lauk pauk darimu yang ingin kami makan bersama kurma ini”. Tersirat dalam perkataan ini seolah-olah mereka bertanya kepada Syeikh Abubakar apakah ia mampu melakukan seperti yang telah dilakukan oleh Syeikh Umar. Lalu Syeikh Abubakar bin Salim berkata, “Pergilah kalian ke telaga masjid, lalu ambillah apa yang kalian temui disana”. Kemudian mereka pergi ke telaga masjid dan mendapati ikan yang besar disana. Lalu mereka ambil dan makan sebagai lauk pauk yang mereka inginkan.

Kegemaran Syeikh Abubakar bin Salim dalam menekuni ilmu pengetahuan dibuktikannya dengan menghatamkan Ihya’ Ulumuddin-nya Hujjatul Islam Al-Ghazali sebanyak 40 kali dan menghatamkan kitab fiqih syafi’iyah, Al-Minhaj karya Imam Nawawi sebanyak 3 kali. Dan diantara kebiasaannya adalah memberikan wejangan kepada masyarakat setelah sholat Jumat.

Diantara ibadah dan riyadohnya, pernah dalam waktu yang cukup lama ia berpuasa dan hanya berbuka dengan kurma yang masih hijau. Juga selama 90 hari ia berpuasa dan sholat malam di lembah Yabhur dan selama 40 tahun beliau sholat subuh di Masjid Baa Isa, di kota Lisk, dengan wudhu Isya. Setiap malam ia berziarah ke tanah pekuburan Tarim dan berkeliling untuk melakukan sholat di berbagai masjid di Tarim diakhiri dengan sholat Subuh berjamaah di masjid Baa Isa. Sepanjang hidupnya ia berziarah ke makam Nabiyullah Hud sebanyak 40 kali. Setiap malam, selama 40 tahun, ia berjalan dari Lisk menuju Tarim, melakukan sholat di setiap masjid di Tarim, mengusung air untuk mengisi tempat wudhu, tempat minum bagi para peziarah, dan kolam tempat minum hewan. Dan sampai akhir hayatnya sang Syeikh tidak pernah meninggalkan sholat witir dan dhuha.

Berbeda dengan para wali di Tarim yang hampir semuanya menutupi hal (keadaan) mereka, Syeikh Abubakar bin Salim mendapatkan perintah agar ia meng-izhar-kan (menampakkan) kewaliannya. Pada awalnya ia sendiri merasa enggan dan ragu, sampai akhirnya hal ini sampai kepada gurunya, Al-Imam Ahmad bin Alwi Bajahdab. Ia manyatakan, “Tidaklah maqam-nya Syeikh Abubakar bin Salim akan berkurang dengan nampaknya kewalian yang dimilikinya, karena kalimat Bismillah telah diletakkan di setiap perkataannya. Dan sungguh tidak berkurang sama sekali kadar maqam kewalian dikarenakan masyhurnya beliau, terkecuali seperti berkurangnya satu biji dalam makanan”. Tatkala perkataan guru beliau ini disampaikan kepadanya, Syeikh Abubakar bin Salim melakukan sujud syukur kepada Allah SWT dan berkata, “Aku merasa cukup dengan isyarat pengukuhan ini, sebagai lambang kemegahan dan keagungan yang diberikan Allah SWT”.

Setelah kejadian itu, ia berangkat dari Inat menuju Tarim untuk berziarah dan berjumpa dengan guru beliau tersebut, maka setelah sampai gurunya bertanya, “Bagaimanakah bentuk isyarat yang telah engkau terima ?”. Ia menjawab, “Sesungguhnya telah datang kepadaku serombongan pemuka kaum Ba’alawi dan bersama mereka ada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, mereka semuanya memerintahkan kepadaku agar aku mengizharkan diriku. Bagaimanakah pandangan anda sendiri ?. Apakah saya dilarang ?. Sesungguhnya diriku sendiri kurang menyukai kemasyhuran ?”. Setelah mendengar perkataan beliau, gurunya diam sesaat dan setelah itu ia berbincang dengan Syeikh Abubakar bin Salim dengan perkataan yang tidak dipahami oleh orang yang hadir kala itu, kemudian gurunya berwasiat kepada Syeikh Abubakar dengan beberapa wasiat dan memerintahkan beliau untuk pulang dan menetap di kota Inat. Pulanglah Sang Syeikh ke Kota Inat, dan disanalah ia kemudian termasyhur. Namanya yang harum semerbak dikenal di seluruh penjuru negeri. Cahaya ilmu dan kemuliaannya berkemilau menerangi orang-orang yang berjalan di jalan Allah SWT. Ia hidupkan kota Inat dengan ilmu. Manusia datang dari berbagai pelosok daerah guna menuntut ilmu darinya sehingga Inat menjadi kota yang ramai oleh pencinta ilmu. Murid-murid beliau datang dari berbagai kota di Yaman dan mancanegara, antara lain Syam, India, Mesir dan berbagai negara lainnya. Diantara beberapa muridnya yang terkenal adalah Habib Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi, Shohibus Syiib, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Jufri, Habib Muhammad bin Alwi, Sayyid Yusuf Al-Qodhiy bin Abid Al-Hasany, Syeikh Hasan Basyaib serta beberapa murid lainnya.

Demi kepentingan pendidikan dan pengembangan dakwah, ia mendirikan sebuah masjid dan membeli tanah pekuburan yang luas. Al-Mualim Ahmad bin Abdurrahman Bawazir berkata, “Ada satu kisah yang diriwayatkan dari Al-Mualim Abdurrahman bin Muhammad Bawazir yang ia terima dari beberapa orang arifin, Beliau berkata, “Sesungguhnya tatkala Sayyidina Syeikh Abubakar bin Salim mendirikan masjidnya yang masyhur di Kota Inat, beliau berkata kepada orang yang sedang membangunnya dikala itu yaitu Ibnu Ali sambil menunjuk satu dinding yang baru didirikan, “Dinding yang didirikan ini tidak akan dimakmurkan oleh orang-orang, kami menginginkannya agar sedikit maju”. Ibnu Ali menjawab, “Ya Sayyidi yang engkau inginkan adalah kemaslahatan tetapi bagaimanakah kami akan merubahnya lagi, karena dinding ini sudah terlanjur didirikan di tempat ini”. Syeikh Abubakar yang saat itu sedang memegang tongkat memukul dinding tersebut, maka dengan izin Allah SWT dinding tersebut berpindah tempat dari tempatnya semula sampai pada tempat yang diinginkan olehnya”.

Penduduk Inat sangat mencintai Syeikh Abubakar, hal ini antara lain dikarenakan keluhuran budi pekerti yang dimilikinya. Beliau merupakan seorang dermawan yang suka menjamu tamu. Jika tamu yang berkunjung banyak, maka ia memotong satu atau dua ekor onta untuk jamuannya. Karena sambutan yang hangat ini, maka semakin banyak orang yang datang mengunjunginya. Dalam menjamu dan memenuhi kebutuhan para tamunya, ia tidak segan-segan untuk turun tangan sendiri. Mereka datang terhormat dan pulang pun dengan terhormat. Dalam kesehariannya, ia mengeluarkan sedekah sebagaimana orang yang tidak takut jatuh miskin, setiap hari ia membagikan seribu potong roti kepada fakir miskin.

Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat tawadhu, tidak ada seorang pun yang pernah melihatnya duduk bersandar ataupun bersila. Syeikh Abdurrahman bin Ahmad Ba Wazir, seorang yang faqih, berkata, “Selama 15 tahun sebelum wafatnya, di dalam berbagai majlisnya, baik bersama kaum khusus ataupun awam, Syeikh Abubakar bin Salim tidak pernah terlihat duduk, kecuali dalam posisi duduknya orang yang sedang tasyahud akhir”.

Semasa hidupnya beliau selalu membaca wirid-wirid tarekat, dan secara pribadi, ia mempunyai beberapa wirid dan selawat. Antara lain sebuah amalan wirid besar miliknya yang disebut Hizb al-Hamd wa al-Majd yang ia diktekan kepada muridnya sebelum fajar tiba di sebuah masjid. Itu adalah karya terakhir yang disampaikan ke muridnya, Allamah Faqih Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bawazir pada tanggal 8 bulan Muharram tahun 992 H.

Selain menyusun wirid dan selawat, Syeikh Abubakar bin Salim juga banyak menulis kitab, terutama yang berhubungan dengan masalah tasawwuf, antara lain Miftah as-Sara’ir wa Kanz adz-Dzakha’ir yang beliau susun sebelum usianya melampaui 17 tahun. Mi’raj Al-Arwah yang membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H dan menyelesaikannya pada tahun 989 H. Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Ia memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal 9 Dzulhijjah. Ma’arij At-Tawhid, serta sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.

Perjalanan kehidupan Syeikh Abubakar bin Salim banyak dibukukan oleh para ulama terkenal, tidak kurang dari 25 buku yang menceritakan biografi kehidupan beliau, antara lain Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib As-Syeikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah Syeikh Muhammad bin Sirajuddin. Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat fi Manaqib Abi Bakr bin Salim Shahib Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya’eib. Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-Alawy mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya Bughyatu Ahl Al-Inshaf bin Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Seggaf karya Allamah Muhammad bin Umar bin Sholeh bin Abdurrahman Baraja Al-Khatib.

Banyak dari kitab-kitab tersebut yang mencantumkan kisah kekeramatan Syeikh Abubakar bin Salim. Seperti yang diriwayatkan oleh Faqih Muhammad bin Sirojuddin Jamal Rohimahullah dalam kitabnya Bulughizhofri wal Maghanimi fi Manaqibi As-Syeikh Abu Bakar bin Salim RA. Sesungguhnya aku bermusafir ke negeri India pada bulan Asyura, tahun 973 H dengan naik kapal, sampai akhirnya pada satu tempat yang dikenal dengan Khuril Gari. Pada saat itu sangatlah gelap dan hujan turun sangat lebatnya, dan pada saat itu kapal kami mengalami kerusakan. Dan para penumpangnya merasa kebingungan dan ketakutan sehingga mereka menangisi keadaan mereka. Aku sendiri berdoa kepada Allah SWT dan bertawassul kepada para waliullah. Akupun lalu beristighasah dan bertawajjuh hatiku kepada Sayyidi Syeikh Abubakar bin Salim. Setelah aku bertawassul kepadanya, aku mendengar suara beliau seolah-olah begitu dekat denganku. Lalu aku berdiri dan memberitahukan kepada penumpang bahwasanya telah mendapatkan isyarat dan kabar gembira dalam keadaan yang sangat sulit saat itu. Dan ternyata kamipun diselamatkan oleh Allah SWT dengan kemuliaan Sayyidi Syeikh Abubakar bin Salim.

Juga diceritakan dalam Kitab Insus Salikin Ila Maqomatil Washilin yang dikarang oleh Sayyid Abdullah bin Ahmad Baharun. Didalam kitab tersebut diceritakan kisah dari Umar bin Ali Bamansur. Kami mendapat kabar dari seorang arifin, ia bercerita, tatkala wafat seorang wali besar yaitu As-Syekh Makruf Bajamal di negeri Budhoh, salah satu daerah di Dau’an. Kaum solihin melihat dengan ainul bashiroh mereka ada sungai dengan cahaya yang cemerlang mengalir dari Budhoh. Sungai tersebut mengalir ke Syibam dan memenuhi kota itu dengan cahaya hingga ke Ghurfah dan Tarim, sampai akhirnya ke kota Inat dan terakhir bermuara di hadirat Syeikh Abubakar bin Salim. Dari kabar ini, akhirnya seluruh murid Syeikh Makruf mengetahi bahwa maqam kewalian gurunya telah berpindah kepada Syeikh Abubakar bin Salim. Tertulis di dalam Majmu’ Kalam Al-Habib Ali Al-Habsyi bahwasanya Syeikh Makruf memiliki murid lebih kurang 100 ribu orang.

Pada waktu menjelang wafatnya, Syeikh Abubakar berada di kamar Sayyid Yusuf Al-Qodhiy bin Abid Al-Hasany salah seorang murid kesayangannya. Sambil memangku gurunya, Sayyid Yusuf membaca ayat Quran yang berbunyi Falammaa Qodhoo Zaidun Wathoro. Ia membaca ayat ini sebagai isyarat keinginan dari Sayyid Yusuf untuk mewarisi kedudukan kewalian Syeikh Abubakar bin Salim dan bila Syeikh Abubakar bin Salim menjawab dengan Zawwajnaa Kahaa, maka itu adalah isyarat bahwa kedudukan beliau akan diwarisi oleh Sayyid Yusuf, namun Syeikh Abubakar bin Salim tidak menjawab seperti itu, malah ia berkata “Wahai Yusuf, engkau menginginkan kedudukan kami. Sungguh kedudukanku adalah untuk anakku dan kalau sekiranya aku tidak mendapati daripada salah satu anak-anakku yang akan mewarisi kedudukanku, maka aku akan tanam maqam kewalianku ini di padang pasir Inat”. Jawaban beliau ini mengkiaskan bahwa maqam kewalian Syeikh Abubakar bin Salim hanya diwarisi oleh anak-anak beliau. Dan pada malam Ahad, tanggal 27 Dzulhijjah 992 H, Syeikh Abubakar bin Salim berpulang ke rahmatullah. Dengan meninggalkan keturunan yang kelak juga menjadi pemuka kaum Alawiyyin yang meneruskan jejak ayahnya. Beliau dimakamkan di kota Inat, Hadramaut. Di turbah (makam) Syeikh Abubakar bin Salim terdapat pasir atau tanah (katsib) yang sangat termasyhur kemujarabannya bagi orang-orang yang menginginkan keberkahan. Yang termasyhur bahwa tanah ini bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit dan oleh karena itulah juga Syeikh Abubakar bin Salim mendapatkan gelar Maula Katsib. Diceritakan oleh Sayyid Abdul Qodir bin Abdullah bin Umar bin Syeikh Abubakar bin Salim, beliau berkata, “Suatu ketika aku dan guruku Al-Arif Billah Ahmad Al-Junaid berziarah ke Inat dan kepada Sayyidi Syeikh Abubakar bin Salim. Sesudah ziarah guruku menginginkan dan mengambil pasir di makam tersebut untuk menyembuhkan luka yang dideritanya pada salah satu kakinya. Dan ia meminta kepada salah seorang daripada keturunan Syeikh Abubakar agar meletakkan pasir tersebut atas luka beliau, dan luka tersebut sembuh dengan seizin Allah SWT.
Selang beberapa waktu setelah wafatnya Syeikh Abubakar bin Salim, berkumpullah anak-anak beliau untuk mencari dan memilih siapa diantara mereka yang akan menjadi khalifah menggantikan ayah mereka. Mereka berkumpul di suatu Syi’ib, dan barang siapa mendapat tanda dari Allah SWT, maka dialah yang dipilih sebagai khalifah. Ternyata yang mendapatkan tanda adalah Sayyidina Husein bin Syeikh Abubakar. Ia mendapatkan langsung satu bejana yang berisi air turun dari langit. Maka anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim pun meminum daripada bejana tersebut dan mereka berkata kepada Sayyidina Husein, ”Engkaulah yang berhak menjadi khalifah”.

Pada riwayat yang lain, diceritakan oleh Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi, “Tatkala Syeikh Abubakar bin Salim wafat, maka setiap anak-anak daripada Syeikh Abubakar bin Salim menginginkan menjadi khalifah menggantikan ayahanda mereka. Maka ibunda mereka berkata, “Kalian semuanya mempunyai keberkahan, akan tetapi siapa yang keramatnya terlihat maka ia akan menjadi khalifah”. Maka anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim pergi ke Wadi Inat. Dan mereka membentangkan sajadah masing-masing ditengah Wadi Inat, lalu melakukan shalat serta bermunajah kepada Allah SWT. Tak lama kemudian turun kepada Syeikh Umar Al-Mahdhar bejana dan rantai emas dari langit. Maka Syeikh Umar memanggil saudara-saudaranya, “Apakah kalian mendapatkan sesuatu?”. Mereka menjawab “Tidak”. Maka merekapun menyerahkan kekhalifahan kepada Syeikh Umar, namun kekhalifahan diserahkan dan dipegang oleh Sayyidina Husin. Beliau berkomentar mengenai saudaranya Syeikh Umar Al-Mahdhar. “Sesungguhnya aku bersahabat dengan saudaraku Umar Al-Mahdhar dan aku tidak merasa sebagai saudaranya, akan tetapi aku merasa dan menempatkan diriku sebagai pembantu dan murid baginya”.

Dikisahkan bahwa Sayyidina Husin sekali waktu mendapatkan gangguan dari para pembesar setempat beserta pasukannya, sehingga membuatnya berhijrah ke Mekkah dan Madinah dan menetap disana selama 7 tahun. Pada suatu hari beliau didatangi oleh Nabi Khidir AS dan berkata, “Sesungguhnya datukmu Rasulullah SAW mengucapkan salam atasmu dan memerintahkan dirimu agar segera pulang ke Hadramaut”. Nabi Khidir memberitahukan kepadanya bahwa rasa permusuhan dari musuh-musuhnya akan dihilangkan oleh Allah dan musuh-musuh beliau akan berubah mencintainya. Dan Nabi Khidir memberitahukan kepadanya agar berjalan bersama satu kafilah Arab di Hadramaut. Nabi Khidir juga memberitahukan kepada beliau bahwa kafilah ini akan mempunyai hubungan yang dekat dengan keturunan beliau sampai hari kiamat. Selain itu Nabi Khidir memberikan kepada Sayyidina Husin 3 buah benda, yaitu bejana atau gelas yang besar, tongkat dan gendang. Ketika sang Sayyid pulang, ia mendapati kaum syiah zaidiyah sedang merajalela dan berbuat semena-mena. Lalu beliau memerintahkan agar menabuh gendang yang diberikan oleh Nabi Khidir diatas gunung. Ketika gendang tersebut ditabuh, dengan izin Allah, kaum Zaidiyah yang tadinya berlaku semena-mena tiba-tiba bertingkah seperti orang gila, dan merekapun kabur tercerai berai. Belakangan Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas mengatakan, “Kami telah melihat bejana yang diberikan Nabi Allah Khidir kepada Sayyidina Husein bin Syeikh Abubakar bin Salim beserta tongkatnya ada di Kota Inat”.

Hingga saat ini masih banyak keturunan Syeikh Abubakar bin Salim, disebutkan didalam kitab Mu’jamul Lathief, selain dari jalur Sayyidina Husin juga diantaranya yang terkenal dengan fam Al-Hamid, Bin Jindan, Al-Muhdar dan Al-Haddar. Keluarga Bin Jindan, nasab mereka bersambung kepada Ali bin Muhammad bin Husein bin Syeikh Abubakar bin Salim. Keluarga Al-Hamid, merupakan keturunan dari Al-Hamid bin Syeikh Abubakar bin Salim. Keluarga Al-Muhdhar, keturunan Umar Al-Muhdhar. Syeikh Abubakar bin Salim memberi nama Umar Al-Muhdhar karena ingin mendapatkan berkah Sayyidina Umar Al-Muhdhar bin Abdurrahman As-Seggaf, juga dengan harapan agar anaknya dapat meneladani dan mewarisi ilmu yang dimiliki oleh Umar Al-Muhdhar, seorang arif billah yang amat dikaguminya. Dan keluarga Al-Haddar, yang merupakan keturunan Ahmad Al-Haddar bin Abdullah bin Ali bin Muhsin bin Husin bin Syeikh Abubakar bin Salim.

Karya-karyanya

Antara lain:

- Miftah As-sara’ir wa kanz Adz-Dzakha’ir. Kitab ini beliau karang sebelum usianya melampaui 17 tahun.

- Mi’raj Al-Arwah membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H
dan menyelesaikannya pada tahun 989 H.

- Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Dia
memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal
9 bulan Dzul-Hijjah.

- Ma’arij At-Tawhid

- Dan sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.

Kata Mutiara dan Untaian Hikmah

Beliau memiliki banyak kata mutiara dan untaian hikmah yang terkenal, antara lain:

Pertama:
Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk mengalirkan apa yang di dalamnya.

Kedua:
Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak menyia-nyiakan waktu: “Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh (mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami”. Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat (waktu-waktu) tidak akan selamat dari berbagia afat (malapetaka). Orang-orang yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.

Ketiga:
Tentang persahabatan: “Siapa yang bergaul bersama orang baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api neraka”.

Keempat:
Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: “Aku tidaklah seperti kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum”. Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari haribaan Yang Maha Suci”.

Kelima:
Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai (’Ala’iq). Orang yang rela dengan pemberian Allah (qana’ah), akan mendapt ketenteraman dan keselamatan. Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang banyak bicara akan banyak menyesal.

Keenam:

Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dlam keadaan terang-benderang. Insya-Allah….! Mengertilah bahawa Tuhan itu tertampakkan dalam kalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya, raib dari pandangan alam-raya melaluiKebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari, mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku’ dan sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha’ dan qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka”.

Ketujuh:
Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah tanpa sebab (sebab efesien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari’at, orang bahagia adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan amal-amal saleh serta merusak Syariat - kami berharap ampunan dan pengampunan dari Allah.

Kedelapan:
Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya, minggat dri bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi s.a.w.

Kesembilan:
Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.

Kesepuluh:
Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya kehancuranmu teletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar, maka engkau pasti akn menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah. Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para ‘arif billah untuk membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapt diperoleh dengan selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak erhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan padamu. Sebagian orang berkata: “40 tahun lamanya Allah menetapkan sesuatu pada diriku yang kemudian aku membencinya”.

Kesebelas:
Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan tatacara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu bererti tiada taufik. Teruslah rela dengan qadha’ walaupun musibah besar menimpamu. Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah penjagaan terhadap dirimu”.

Keduabelas:
Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).

Masih banyak lagi ucapan beliau r.a. yang lain yang sangat bernilai.


Manaqib (biografi) beliau

Banyak sekali buku-buku yang ditulis mengenai biorafi beliau yang ditulis para alim besar.

Antara lain:

- Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib Asy-Syaikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah
Syeikh Muhammad bin Sirajuddin.

- Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat; fi Manaqib Abi Bakr bin Salim Shahib ‘Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya’eib.

- Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-’Alawy
mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk
tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya; Bughyatu Ahl Al-Inshaf
Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Saqqaf karya Allamah Muhammad bin Umar bin Shalih bin Abdurraman Baraja’ Al-Khatib.

Diposkan oleh ANDRI WIJAYA
http://shoeap.blogspot.com/2010/06/al-imam-as-syeikh-abu-bakar-bin-salim.html


Al Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus

Majelis Burdah Ketapang Kecil
Penggerak Majelis Burdah Ketapang Kecil

Qasidah Burdah sangat digemari masyarakat Jawa. Biasanya mereka membaca syair-syair indah karya Imam Busyiri itu pada malam Jumat.


Tradisi ini telah turun-temurun sejak kedatangan maulid Burdah ini ke tanah air. Seperti yang dilakukan Majelis Burdah Ketapang Kecil. Telah lama di majelis ini dibacakan maulid Burdah, karya Abu Abdillah Syarafuddin Abi Abdillah Muhammad bin Khammad Ad-Dalashi as-Syadzili al-Bushiri.

Secara harfiah burdah memang bermakna kain yang hitam pekat untuk selendang. Al-Bushiri membubuhkan judul qasidah itu bukan tanpa alasan. Menurut riwayat, pada zaman dahulu ada tokoh yang bernama Ka’ab bin Zuhair. Penyair ini semula non-muslim dan tergolong sebagai seorang yang paling radikal menentang dakwah Rasulullah. Setelah sadar, ia kemudian masuk Islam. Lantas mengubah sajak yang semula menghina Nabi SAW menjadi:


Kudengar kabar

Rasulullah berjanji padaku

Dan ampunan itu

sungguh jadi tumpuan harapanku


Untuk itu, konon, Nabi memberinya cendera mata berupa selendang berwarna hitam (burdah). Dan kisah Ka’ab bib Zuhair inilah yang mengilhami Al-Bushiri untuk gubahan judul sajak-sajaknya.

Majelis Burdah Ketapang Kecil berdiri sejak lama. Berdasarkan catatan yang ada, majelis ini telah berlangsung secara turun-temurun selama kurang lebih 50 tahun yang lalu. Bermula dari Habib Muhammad Alaydrus (Habib Neon), dan sekarang diteruskan oleh putra ketiganya, Habib Syekh Muhammad Alaydrus.

Tentu pembacaan maulid Burdah ini merupakan ritus yang sedemikian langka di kota Surabaya. Acara pembacaan Burdah menjadi daya tarik tersendiri, karena setiap sebelum acara, yakni dari ba’da shalat Ashar sampai menjelang maghrib, diisi dengan pengajian tasawuf yang diasuh Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa. Baru selepas shalat Maghrib acara berlanjut dengan pembacaan Burdah, yang dipimpin lansung oleh Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus.

Acara yang kelihatan sepele ini memiliki nilai dan kandungan ajaran agama Islam yang istimewa. Selain meneguhkan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT, juga meneguhkan ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum muslimin yang ada di kawasan Ampel, Surabaya, ini.

Acara pembacan Burdah bersama telah mengalami regenerasi yang cukup panjang. Sebelum tahun 1970-an, majelis Burdah ini dipimpin oleh Habib Muhammad Alaydrus, atau yang terkenal dengan sebutan Habib Neon. Kemudian pembacaan maulid Burdah ini dilanjutkan oleh Habib Syekh bin Muyammad Alaydrus dari tahun 1976 hingga sekarang. Usia majelis taklim ini sudah puluhan tahun, namun jumlah jamaahnya semakin lama semakin bertambah banyak. Tidak saja diikuti kalangan tua, tapi tidak sedikit juga kalangan anak-anak muda.

Ada banyak alasan para jamaah menghadiri acara pembacaan maulid Burdah ini. Selain mempererat tali silaturahim antarjamaah, mereka juga mengharap berkah dari pembacaan Burdah. Tak bisa dipungkiri, dengan membaca Burdah, menurut kesaksian para jamaah, mereka banyak mendapat berkah dalam menjalani kehidupan ini.

Ketika dimintai konfirmasi tentang macam-macam faedah yang ada pada maulid Burdah, Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus menjawab, ”Soal berkah dan karamah, itu terserah Allah SWT. Kita meyakini saja bahwa faedah shalawat itu sangat banyak. Ini sesuai dengan janji Allah SWT, ‘Siapa yang bershalawat kepada Nabi SAW, sesungguhnya Aku bersama para malaikat bershawalat kepadanya’,” kata Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus.


Diposkan oleh Majlis Arrahman
http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Habaib?updated-max=2009-06-13T21:53:00-07:00&max-results=20&start=98&by-date=false

Al Habib Syeikh Bin Ahmad Al Musawa

Guru para Kiai dan Habaib

Ia dikenal sebagai guru para ulama dan habaib. Seperti ulama yang lain, masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu. Meski sudah berusia 85 tahun, ia masih membuka taklim di Surabaya.

Sore itu langit cerah. Suasana di sekitar sebuah gedung di perkampungan Arab Jalan Kalimasudik II Surabaya tampak lengang. Melalui lorong gang sempit di kawasan yang tak jauh dari kompleks Ampel, Hannan bin Yunus Assegaf sempat berziarah ke rumah Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa, seorang ulama yang kini sudah berusia 85 tahun. Dulu, ia dikenal sebagai muballigh di berbagai majelis taklim di Jakarta. Bisa dimaklumi jika cukup banyak santrinya yang kini menjadi ulama di Jakarta, seperti K.H. Abdurrahman Nawawi, K.H. Thoyib Izzi, K.H. Zain, dan lain-lain.
Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, pada 1921, Habib Syekh Al-Musawa putra pasangan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Musawa dan Sayidah Sa’diyah. Sejak kecil, putra kedua dari tiga bersaudara ini dididik langsung oleh ayahandanya, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya. Pada 1930, menginjak usia sembilan tahun, ia belajar ke sebuah rubath (pesantren) di Tarim, Hadramaut. Di sana ia berguru kepada Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiry, pengarang kitab Al-Yaqut an-Nafis, dan Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, pengasuh Rubath Tarim. Ia belajar fiqih, tafsir, nahwu, sharaf, balaghah, dan tasawuf, selama 10 tahun.
Namun yang paling ia senangi ialah tasawuf. ”Pelajaran tasawuf sangat saya senangi, karena merupakan salah satu jalan manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga menganjurkan orang menjadi bijaksana dan lebih berakhlak,” kata Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa. Selain itu, menurut dia, tasawuf mudah dipelajari – baik dalam keadaan senang maupun susah. Maka ia pun dengan tekun mempelajari kitab tasawuf karya Imam Ghazali, seperti Ihya’ Ulumiddin, Bidayah al-Hidayah, dan lain-lain.
Semangat belajarnya yang tinggi membawanya belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Meski waktu itu Timur Tengah tak lepas dari imbas suasana Perang Dunia I, tekadnya yang besar tak menyurutkan langkahnya menuju Makkah. Di tengah kecamuk perang itulah, dengan mengendarai unta ia berangkat dari Tarim ke Makkah. Di tengah perjalanan Habib Syekh Al-Musawa terpaksa singgah di beberapa desa, bahkan sempat pula mengajar di perkampungan Arab Badui. Bisa dimaklumi jika perjalanan itu makan waktu sekitar dua bulan.
Di Tanah Suci, ia langsung belajar kepada Sayid Alwy bin Muhammad Al-Maliky. Bermukim di Makkah sekitar lima tahun, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa juga berguru kepada Habib Alwy Shahab, Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus, dan Sayid Amin Al-Kutbi. Di Makkah, ia sempat bertemu para santri asal Indonesia, seperti Habib Ali bin Zain Shahab (Pekalongan), Habib Abdullah Alkaf (Tegal), Habib Abdullah Syami Alatas (Jakarta), Habib Husein bin Abdullah Alatas (Bogor).

Islamic Centre
Pada 1947 Habib Syekh Al-Musawa pulang, lalu menikah dengan Sayidah Nur binti Zubaid di Surabaya. Tak lama kemudian ia mengajar di Madrasah Al-Khairiyah, sambil berguru kepada Habib Muhammad Assegaf di Kapasan, Surabaya. Setelah gurunya itu wafat, ia menggantikan mengajar di majelis taklim almarhum. Tiga tahun kemudian Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa pindah ke Jakarta, mengajar setiap Minggu pagi di majelis taklim Kwitang yang diasuh oleh Habib Muhammad Alhabsyi selama enam tahun. Ia membantu Habib Muhammad membangun Islamic Centre Indonesia (ICI), antara lain berangkat ke beberapa negara Islam di Timur Tengah pada 1967 untuk mencari dana pembangunan ICI.
Setelah pembangunan ICI selesai, Habib Syekh Al-Musawa mengajar majelis taklim asuhan K.H. Muhammad Zein di Kampung Makassar, Kramat Jati, selama setahun. Dan sejak 1971 ia mengajar di Madrasah Az-Ziyadah asuhan K.H. Zayadi Muhajir selama 30 tahun. Setelah Kiai Muhajir wafat, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menggantikan almarhum mengasuh taklim sampai 2003. Selain mengajar di Az-Ziyadah, ia juga mengajar di majelis taklim Habib Muhammad bin Aqil bin Yahya di Jalan Pedati, Jakarta Timur. Bukan hanya itu, ketika itu ia juga mengajar di 30 majelis taklim lain di berbagai tempat di Jakarta.
Pada 2003, Habib Syekh Al-Musawa kembali ke Surabaya, tinggal di rumahnya yang sekarang di Jalan Kalimasudik II. Bapak delapan anak ini (dua putra, enam putri) sekarang lebih banyak beristirahat di rumah. Meski begitu, banyak santri dari sekitar Surabaya yang datang mengaji kepadanya. Ia mengajar fiqih, nahwu, sharaf, balaghah, tafsir, dan tasawuf.
Saat ini fisiknya memang sudah berubah. Dulu gagah dan tampan, kini agak kurus, sementara wajahnya tampak agak cekung. Hanya dua-tiga patah kata yang ia bisa ucapkan, itu pun tentu saja tak lagi lantang seperti dulu ketika masih muda, saat ia masih bergiat sebagai muballigh. Jalannya pun tak lagi gesit.
Meski begitu, semangatnya untuk membangkitkan dakwah masih bergelora. Ia, misalnya, tetap menyampaikan tausiah, meski hanya kepada para tamunya.
Sorot matanya pun masih jernih, pertanda jiwa dan kalbunya bersih pula. Dengan segala keterbatasannya, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menerima tamu dengan hangat. Meski sulit berbicara, ulama yang selalu mengenakan gamis dan serban putih ini justru lebih sering menanyakan kondisi kesehatan tamunya.
Selain mengajar privat para santri yang datang ke rumah, ia masih sempat mengajar tasawuf di Majelis Burdah asuhan Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus di Jalan Ketapang Kecil setiap Kamis sore sampai menjelang maghrib. Salah satu buah karyanya yang mutakhir ialah kitab Muqtathafat fi al-Masail al-Khilafiyyah (Beberapa Petikan Masalah Khilafiah). Dan kini, meski sudah agak uzur, ia masih bersemangat menyelesaikan sebuah kitab tentang pernikahan dalam pandangan empat ulama madzhab.


Diposkan oleh Majlis Arrahman
http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Habaib?updated-max=2009-06-13T21:53:00-07:00&max-results=20&start=98&by-date=false

Ustadz Syegaf Al Jufri dan Wasiatnya

Sabtu lalu (23/7/2011), tepatnya pukul 07.20 WIB, Ustadz Syegaf bin Husein Al-Jufri, tokoh yang dituakan komunitas Ahlul Bait di nusantara, tutup usia pada umur 78 tahun. Pada tahun 1932, Ustadz Syegaf bin Husein Al-Jufri lahir di kota Solo. Beliau termasuk pengusaha batik sukses. Meski demikian, beliau tidak meninggalkan dunia pendidikan yang ditekuni semenjak muda, bahkan anak-anak.. Di dunia pendidikan, Almarhum Ustadz Syegaf bin Husein Al-Jufri berhutang budi pada sekolah Rabithoh Al Alawiyah dan seorang ulama, Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf yang juga sastrawan Arab dan pengarang buku sastra "Fataat Garut." Di masa hidupnya, Ustadz Syegaf menunjukkan kecintaan luar biasa pada ilmu dan ulama. Hal itu tercermin pada rasa hormatnya yang luar biasa kepada Ustadz Husein Al-Habsyi. Beliau juga sangat dekat dengan Ustadz Husein Al-Habsyi. Karena kedekatannya, Ustadz Syegaf menyambungkan tali persahabatan ke ikatan persaudaraan dengan menikahkan putrinya dengan salah satu putra Ustadz Husein Al-Habsyi.
Semasa beliau hidup, Almarhum Ustadz Syegaf mempelajari dan memperdalam buku-buku Ahlul Bait seperti Nahjul Balaghah, Ghurarul Hikam dan Tafsir Mizan, karya Allamah Thathaba'i. Kecintaan Ustadz Syegaf pada ilmu dapat dilihat dari koleksi ribuan buku yang tersimpan di perpustakaan rumahnya. Perpustakaan itu terletak di latar rumahnya yang juga sering dijadikan sebagai pengajian dan diskusi ilmiah.
Di latar rumahnya, Almarhum Ustadz Syegaf seringkali mengadakan pengajian-pengajian umum yang dihadiri ribuan peserta. Selain itu, beliau juga seringkali melakukan diskusi-diskusi ilmiah dalam sekup terbatas untuk mengkaji berbagai topik yang lebih mendalam seperti kajian filsafat.
Selain itu, Ustadz Syegaf juga mempunyai jiwa seni yang luar biasa. Beliau mahir memainkan biola. Bahkan setelah diskusi, para peserta seringkali dihibur dengan kemahiran memainkan biolanya. Karena jiwa seni ini, Ustadz Syegaf tergolong sebagai tokoh yang unik.
Sosok Ustadz Syegaf Al Jufri
Almarhum Ustadz Syegaf Al Jufrie di kalangan komunitas Ahlul Bait lebih cenderung dikenal sebagai tokoh yang dituakan. Bahkan banyak orang yang lebih mengenal beliau dengan panggilan "Ami Syegaf." Ami dalam bahasa Arab berartikan paman. Istilah "Ami" juga seringkali digunakan untuk menghormati orang yang dituakan.
Di masa hidupnya, Ustadz Syegaf benar-benar mencerminkan sosok yang mulia dan sabar. Beliau juga dikenal dengan jiwa yang rendah diri kepada siapapun, khususnya masyarakat kecil. Mahasiswa yang datang bertemu dengan Ustadz Syegaf di rumahnya, selalu ditanya ongkos pulang.
Mengenai kesabaran Ustadz Syegaf, ada cerita menarik yang bisa menjadi tauladan bersama. Ketika salah satu anaknya yang bernama Haidar Al Jufri meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan, beliau berusaha tabah atas peristiwa tersebut. Bahkan beliau memaafkan supir bus yang menabrak mobil yang dikendarai anaknya, tanpa jaminan apapun.
Ketika melihat supir bus di pengadilan, Ustadz Syegaf kepada hakim, dengan tegas menyatakan memaafkan supir bus tersebut. Ketika ditanya anak-anaknya, mengapa harus memaafkan supir bus tersebut, Ustadz Syegaf menjawab, "Kecelakaan itu diluar kehendaknya. Supir itu juga punya keluarga yang harus dihidupi."
Mayor Husein Masyhur yang juga menjadi korban kecelakaan bersama anaknya, bahkan sempat koma hampir satu tahun lebih, melanjutkan ceritanya dan mengatakan, " Supir bus itu bahkan sempat disantuni oleh Ami Syegaf. Padahal Haidar adalah di antara anak kesayangannya dan paling dekat dengan ayahnya." Semua cerita ini menunjukkkan ketabahan, kedermawanan dan perhatian beliau kepada orang kecil seperti supir bus.
Selain itu, Ustadz Syegaf menaruh penghormatan yang luar biasa kepada orang tuanya, khususnya ibu. Di masa kecilnya, keluarga Ustadz Syegaf termasuk miskin. Karena kondisi ekonomi yang sulit saat itu, Ustadz Syegaf bahkan sempat membantu ekonomi keluarga dengan menjual telur asin yang dibuat oleh ibunya ke kampung-kampung. Selaku anak terbesar, Ustadz Syegaf menunjukkan perhatian yang besar kepada adik-adiknya. Di mata keluarganya, Ustadz Syegaf diakui sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, suami yang baik kepada istrinya dan ayah tauladan bagi anak-anaknya.
Di kalangan anak-anak muda, Ustadz Syegaf dikenal sebagai sosok motivator yang baik. Banyak mahasiswa dari Yogya berbondong-bondong mendatangi Ustadz Syegaf untuk mendapatkan motivasi dari beliau.
"Ketika mau berangkat melanjutkan pendidikan ke luar negeri, saya mendapat nasehat sidq al niyah atau ketulusan niat. Nasehat itu benar-benat terngiang hingga kini," kata Muhammad, seorang mahasiswa asal Yogya yang terkenang dengan nasehat Ustadz Syegaf.
Hisyam Suleiman ketika mengenang Ustadz Syegaf Al Jufrie,  mengatakan, "Almarhum Ustadz Segaf Al Jufrie selalu memanggil anak muda dengan panggilan Anakku. Ini menunjukkan rasa cinta yang dalam kepada anak-anak muda."
"Beliau adalah orang yang alim, tapi juga humoris. Anak-anak muda sangat mencintainya. " tambah Hisyam

Wasiat
Sebelum wafat, Ustadz Syegaf sebagai tokoh yang dituakan di kalangan komunitas Ahlul Bait di nusantara, meninggalkan wasiat-wasiat. Sebagaimana disampaikan anak-anaknya, Ustadz Syegaf sebelum meninggal, berpesan untuk menjauhi maksiat, bertakwa kepada Allah Swt, berbakti kepada orang tua serta memohon ampun dan mendoakan kedua orang tua.
Selain itu, Ustadz Syegaf juga berwasiat supaya memupuk belas kasih kepada sesama, tidak boleh merasa paling baik dan benar. Muhammad Adinegoro ketika menjelaskan pesan ayahnya, mengatakan, "Saat berhadapan dengan seseorang, anggaplah orang yang ada di depanmu lebih baik dari kamu."
Bagir Al Jufri dalam menjelaskan pesan ayahnya sebelum meninggal dunia, mengatakan, "Abah (baca; Ayah) selalu berpesan kepada keluarga, sahabat dan komunitas Ahlul Bait supaya selalu menjaga ukhuwah islamiyah dan menghindari segala hal yang bersifat sensitif."
"Jalinlah silaturahmi kepada orang-orang yang memusuhi kita, " jelas Husein Jufri , salah satu anak Ustadz Syegaf, ketika menjelaskan wasiat ayahnya.
Lebih lanjut Husin Al Jufri menjelaskan bahwa ayahnya selama hidupnya mempraktekkan apa yang disampaikannya dalam wasiatnya. Di bulan Ramadhan, Ustadz Syegaf selalu mengadakan acara buka bersama dengan mengundang berbagai kelompok aliran seperti NU, Muhammadiyah, LDII, Al-Irsyad, Majlis Tabligh, MTA, Pondok Ngruki dan berbagai tokoh masyarakat di kota Solo.
Nikmah, salah satu adik Ustadz Syegaf, menjelaskan, "Di hari-hari terakhir,  kakak saya berpesan supaya menjaga ukuwah di kalangan para pecinta Ahlul Bait dan sesama muslim, serta menghindari perpecahan sesama umat Islam dan mengalah kepada ahlul qiblat."
Dalam wasiatnya, Ustadz Syegaf menganjurkan supaya selalu bersemangat untuk mencari ilmu dan menghindari majelis yang sia-sia . Beliau juga menekankan menghindari fanatisme golongan. Bahkan menurut Ustadz Syegaf, fanatisme golongan yang diistilahkannya dengan ashobiah, termasuk perbuatan syirik.
Masih mengenai pesan-pesan beliau,  Damar S Mudrick, salah satu orang yang dekat dengan Ustadz Syegaf Al Jufri, mengatakan, "Ami Syegaf Al-Jufri secara khusus pernah menelpon saya dan menyampaikan wanti-wantinya supaya jangan berpihak ketika ada perselisihan di antara komunitas."
Lebih lanjut Damar mengatakan, "Saya ketika duduk berdua dengan Ami Syegaf pada suatu malam. Tiba-tiba, beliau berpesan bahwa dunia itu menipu. Pesan itu memang sederhana, tapi nasehat itu terus terngiang hingga kini."
Ustadz Syegaf pulang ke rahmatullah pada hari Sabtu, tanggal 23 Juli 2011. Pada hari itu juga, jenazah beliau dimakamkan di kota Solo. Seusai acara pemakaman, seorang ustadz mengenang perhatian besar Ustadz Syegaf atas Hari Al-Quds Sedunia yang diperingati setiap jumat terakhir pada bulan Ramadhan, dan mengatakan, "Meski sakit dalam kondisi infus, tolong bawa saya dalam acara Al-Quds."


Diposkan oleh Majlis Arrahman

Al Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf

adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm.

Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf ( tokoh alim dan imam Masjid Jami’ Asegaf di Pasar Kliwon Solo), berawal dari pendidikan yang diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayah handa tercinta, Habib Syech mendalami ajaran agama dan Ahlaq leluhurnya.

Berlanjut sambung pendidikan tersebut oleh paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaout.

Habib Syech juga mendapat pendidikan, dukungan penuh dan perhatian dari Alm. Al-Imam, Al-Arifbillah, Al-Habib Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan pemegang magom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan syiar cinta Rosul yang diawali dari Kota Solo.

Waktu demi waktu berjalan mengiringi syiar cinta Rosulnya, tanpa disadari banyak umat yang tertarik dan mengikuti majelisnya, hingga saat ini telah ada ribuan jama’ah yang tergabung dalam Ahbabul Musthofa. Mereka mengikuti dan mendalami tetang pentingnya Cinta kepada Rosul SAW dalam kehidupan ini.

Ahbabul Musthofa, adalah salah satu dari beberapa majelis yang ada untuk mempermudah umat dalam memahami dan mentauladani Rosul SAW, berdiri sekitar Tahun 1998 di kota Solo, tepatnya Kampung Mertodranan, berawal dari majelis Rotibul Haddad dan Burdah serta maulid Simthut Duror Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf memulai langkahnya untuk mengajak ummat dan dirinya dalam membesarkan rasa cinta kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW .

Sampai sekarang, Habib Syech masih melantunkan syair-syair indah nan menggetarkan hati Sholawat Shimthud Durror di berbagai tempat, untuk di Jogja setiap malam Jumat Pahing di IAIN SUKA, Timoho.

Sholawat rutin :
setiap hari Rabu Malam dan Sabtu Malam Ba’da Isyak di Kediaman Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf .
Pengajian Rutin Selapanan Ahbabul Musthofa
- Purwodadi ( Malam Sabtu Kliwon ) di Masjid Agung Baitul Makmur Purwodadi.
- Kudus ( Malam Rabu Pahing ) di Halaman Masjid Agung Kudus.
- Jepara ( Malam Sabtu Legi ) di Halaman Masjid Agung Jepara .
- Sragen ( Malam Minggu Pahing ) di Masjid Assakinah, Puro Asri, Sragen.
- Jogja ( Malam Jum’at Pahing ) di Halaman PP. Minhajuttamyiz, Timoho, di belakang Kampus IAIN.
- Solo ( Malam Minggu Legi ) di Halaman Mesjid Agung Surakarta.

Jangan hanya main band meniru dan mengidolakan gaya orang-orang kafir, tapi Nabi sendiri tidak pernah ditiru dan dipuji puji! Sudah saatnya bersholawat, menjunjung, memuji dan meniru Nabi Muhammad SAW agar memperoleh syafaatnya dan beliau mengakui kita sebagai umatnya, karena percuma saja kita yg mengaku ngaku umatnya, tapi tidak pernah bersholawat.






Al Habib Sholeh bin Muhammad Mauladdawilah

Lahir di Singosari Malang pada 1295 H / 1807 M. Wafat Jum’at, 28 Ramadhan 1370 H / 1950 M. Di Makamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang. Pendidikan Nyantri kepada Al Habib Muhammad bin Hadi Assegaf, di Kota Siwon, Hadramaut, Yaman, berguru pada Al Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi (Shohibul Maulid), dan kepada Al Habib Ahmad bin Hasan Al Attas. Putra/Putri 13 Orang.
Perjuangan/Pengabdian : Perintis berdirinya Madrasah Attaraqqie, Mengajar di beberapa masjid, dan majelis taklim.
Ulama Waro’ yang Sederhana
Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah dilahirkan di Singosari Malang pada tahun 1295 H atau bertepatan dengan tahun 1807 M. Beliau diasuh oleh kedua orang tuanya sampai menginjak usia remaja. Kemudian dibawa ayahnya ke Negeri Hadramaut, dan menetap di Kota Siwon untuk menuntut ilmu, supaya menjadi orang alim dalam bidang hukum Islam. 
Di Hadramaut, beliau belajar kepada Al Habib Al Alim Al Alamah Muhammad bin Hadi Assegaf, yang terkenal sebagai mahaguru di Kota Siwon. Selain itu, juga berguru pada Al Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi (Shohibul Maulid) dan kepada Al Habib Ahmad bin Hasan Al Attas (Shohibul Khuroidho).
Berkat kecerdasan dan inayah dari Allah SWT, maka beliau berhasil dalam menuntut ilmu, seperti apa yang dicita-citakan ayahnya. Diantara teman-teman beliau yang seangkatan dalam menuntut ilmu itu adalah Asysyaich Abdurrahman bin Muhammad Baraja yang menjabat sebagai Qodhi di Kota Siwon.
Salah satu bukti yang menunjukkan kepadatan ilmunya, pada waktu di majelis ilmu Al Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf Gresik, ada seorang peserta majelis dari Malang menanyakan suatu masalah kepada Al Habib Abubakar. Setelah dijawab masalah tersebut, lalu Al Habib Abubakar berkata, bila ada masalah lagi, tidak perlu datang ke Gresik, cukup ditanyakan kepada seorang alim di Malang, yaitu Al Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah.
Selama tinggal di Siwon, beliau menikah dengan cucu Al Habib Sholeh bin Hasan Al Bahar di Sabah. Sekembalinya ke Malang, beliau giat mengadakan pengajian-pengajian, termasuk di Kidul Pasar. Diantara santri beliau yang terkenal, Al Habib Ahmad bin Hadi Al Hamid, Pasuruan, KH Abdullah bin Yasin, Pasuruan, KH. Muhsin Blitar, Al Habib Ali bin Abdullah Mauladdawilah Talun Lor, H. Dahlan, Wetan Pasar, dan KH Ahmad Damanhuri Malang.
Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah sangat memperhatikan bidang pendidikan, terutama pendidikan putra-putrinya. Bahkan sampai mendatangkan guru Asysyaich Ali Arrohbini untuk mengajar Qiro’atul Qur’an di rumahnya di Bareng Raya, serta mengirim beberapa putranya ke Hadramaut untuk menuntut ilmu di Siwon pada mantan gurunya, yakni Al Habib Al Alim Al Alamah Muhammad bin Hadi Assegaf. 
Diantara 13 putra-putrinya yang sekarang masih ada, yakni Habib Alwi bin Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, yang kini berada di Jeddah, Habib M Bakir bin Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah di Malang, dan Ali bin Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah yang berada di Solo.
"Beliau merupakan salah satu perintis Madrasah Attaraqqie, dan sempat juga mendatangkan Al Ustadz Abdul Kadir bin Ahmad Bilfaqih dari Surabaya sekitar tahun 1940-an untuk mengajar, dan menjadi Kepala Madrasah Attaraqqie," kata Ustadz Ahmad bin Salim Alaydrus, menantu Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, kala itu.
Amalan beliau sehari-hari yang menonjol adalah dzikrulloh. Diwaktu apapun saja, beliau selalu berdzikir kepada Allah SWT. "Hendaknya lisanmu itu selalu basah karena gerak dengan berdzikir kepada Allah." 
Selain itu, dalam hidupnya suka beramal, terutama pada fakir miskin, anak yatim, dan famili-familinya. "Dalam hidupnya, beliau juga sangat sederhana dan berlaku waro’, dengan meninggalkan semua perkara yang syubhat (meragukan, red.), yang tidak jelas halalnya. Perbuatannya selalu dijaga benar-benar dan disesuaikan dengan hukum syariat Islam," tutur Ustadz Ahmad, yang juga kakak kandung Ustadz Alwy bin Salim Alaydrus.
Ada beberapa kekeramatan Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, diantaranya sewaktu Gunung Kelud di Blitar meletus dan terjadi lahar. Waktu itu beliau sedang mengajar di sebuah masjid. Atas Rahmat dan takdir Allah SWT masjid tersebut tidak roboh dan tidak tersentuh aliran lahar dari Gunung Kelud. Demikian juga dengan jamaah pengajian yang berada  di dalam masjid selamat. Padahal rumah-rumah di sekitar masjid roboh dan hanyut terkena aliran lahar. Bahkan sandal Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, yang semula hanyut terbawa lahar, setelah banjir lahar redah sandal tersebut kembali lagi ke depan pintu masjid.
Beliau wafat pada hari Jum’at, 28 Ramadhan 1370 H, bertepatan dengan tahun 1950 M dalam usia 75 tahun, dan dimakamkan di pemakaman umum Kasin, Malang. Setelah beberapa hari beliau dimakamkan, beberapa pemilik rumah yang ada di sekitar  pemakaman Kasin sering melihat ada cahaya yang keluar dari salah satu makam di pemakaman tersebut. Setelah diselidiki, ternyata cahaya tersebut berasal dari makam Al Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah.


Sumber : http://www.masjidjami.com/profile-kyai/habib-sholeh-bin-muhammad-mauladawilah.html
Achmad Fahrizal Zulfani Al Hanif 
http://zulfanioey.blogspot.com/2012/09/habib-sholeh-bin-muhammad-mauladdawilah.html

Al Ustadz Al Habib Sholeh bin Ahmad Al Aydrus

Beliau adalah Ad Da'i ilallah Al Ustadz Al Habib Sholeh bin Ahmad bin Salim Alaydrus, salah seorang ulama kharismatik yang disegani di Malang. Beliau lahir di Malang pada 21 Juli 1953.

Pendidikan dasarnya diperoleh di Madrasah Ibtidaiyah At-Taraqqie, Malang, yang pada saat itu dikelola pamannya sendiri, Al Ustadz Al Habib Alwi bin Salim Al-Aydrus.
Selesai dari Madrasah Ibtidaiyyah, beliau melanjutkan pendidikan Tsanawiyah di Ponpes Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang. Di pondok pesantren ini, beliau belajar dasar-dasar ilmu hadits langsung dari Al Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih yang di kemudian hari menjadi mertuanya.

Selepas dari Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah, sekitar tahun 1977, Al Habib Sholeh Bin Ahmad Al Aydrus mendapat tawaran beasiswa dari negeri Yordania dan Libya. Namun putra (alm.) Al Habib Ahmad Bin Salim Al Aydrus ini tidak menerima tawaran beasiswa tadi. Beliau justru memutuskan berangkat ke Makkah Al Mukarramah untuk berguru kepada As Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki Al Hasani.

Ihwal dipilihnya Makkah sebagai tempat tholabul 'ilmi (menuntut ilmu) tidak terlepas dari isyarah dari Al Habib Sholeh Bin Muhsin Al Hamid (Tanggul) yang menyuruh Al Habib Sholeh pergi ke Makkah Al Mukarromah. "Tuntutlah ilmu ke Habibmu di Madinah Al Munawarrah," kata Al Habib Sholeh Bin Muhsin Al Hamid kepada beliau yang masih ada ikatan keluarga. Yang dimaksud habib di sini adalah Rasulullah SAW.

Sehari setelah mendapat isyarah dari Al Habib Sholeh Bin Muhsin Al Hamid, beliau diberitahu pamannya bahwa dirinya sudah ditunggu oleh Abuya Al Maliki di Makkah. Akhirnya berangkatlah Al Habib Sholeh meninggalkan Indonesia untuk berguru kepada Al-Imam As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.

Begitu sampai di Makkah Al Habib Sholeh sangat senang karena bisa bertemu dengan Abuya As Sayyid Muhammad Al Maliki, salah satu ulama Ahlussunnah yang sangat dihormati.

Saat bertemu gurunya itu, Abuya Al Maliki berkata kepada Al Habib Sholeh, "Aku melihat pada diri kamu ada pancaran cahaya ilmu,". Ungkapan Abuya Al Maliki ini merupakan isyarah bahwa Al Habib Sholeh dianggap mampu menerima ilmu yang akan diberikan oleh Abuya Al Maliki sekaligus menjadi penyeru ummat di kemudian hari. Sebab ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abuya Al Maliki memiliki kemampuan membaca seseorang. Abuya Al Maliki hanya menerima murid baru berdasarkan isyarah yang beliau peroleh.

Karena tinggal di kediaman Abuya Al Maliki cukup lama, Al Habib Sholeh faham betul kepribadian agung Abuya Al Maliki. Bagi Al Habib Sholeh Abuya Al Maliki adalah guru yang sangat arif. Meskipun Abuya Al Maliki bermadzhab Maliki, kenyataannya Abuya Al Maliki juga faham Madzhab Syafi’i.

Istilah sekarang, Abuya Al Maliki sangat toleran dengan perbedaan. Selain itu, kalau ada murid yang baru datang ke Makkah, Abuya Al Maliki pasti mengajaknya ke makam Rasulullah di Masjid An Nabawi. Juga diajak ke Uhud sekaligus ditunjukkan tempat-tempat di mana Nabi duduk, dan di mana Nabi berdiri. Dengan metode ini, murid pun langsung paham.

Selama 5 tahun dalam gemblengan Abuya Al Maliki, Al Habib Sholeh sudah mengkhatamkan kurang lebih 100 kitab. Rupanya 5 tahun belajar di Abuya Al Maliki masih dianggap kurang oleh Al Habib Sholeh. Akhirnya Al Habib Sholeh menambah lagi masa belajar beliau meski beberapa sahabatnya ada yang sudah kembali ke tanah air untuk berdakwah.

Memantapkan Langkah Dakwah

Setelah menempuh pendidikan di Ribath Al Maliki selama sepuluh tahun, Al Habib Sholeh pulang ke Indonesia tahun 1988. Kemudian beliau menikah dengan putri Al Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Al Habib Sholeh kemudian mengabdikan ilmunya mengajar di Ponpes Darul Hadits Al Faqihiyyah.

Al Habib Sholeh diwasiati oleh Abuya Al Maliki untuk menjadi penerus dakwah Rasul. "Kuunuu waratsatan nabi shallahhu 'alaihi wasallam," pesan Abuya Al Maliki. Karena itu tidak heran jika pola pengajaran dari sang guru diamalkan betul oleh Al Habib Sholeh melalui model pengajaran yang simpel tapi tepat sasaran.

Saat ini, selain menjadi pengajar di Pondok Pesantren Darul Hadits Malang, beliau juga membuka majelis taklim di rumahnya, Jln. Bareng Kartini Gg. 1 No. 2, Malang yang bernama Majlis Taklim wad Dakwah Lil Ustadz Al Habib Sholeh bin Ahmad Al Aydrus.
Aktivitas beliau memang banyak dicurahkan untuk mengajar. Pada bulan-bulan tertentu, beliau juga menyempatkan diri untuk berdakwah di berbagai daerah baik di nusantara maupun di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam.

Adapun materi yang disampaikan dalam tiap taklimnya, Al-Habib Sholeh Al Aydrus merujuk kitab-kitab ulama salaf, seperti dalam bab fiqih Minhajut-Thalibin, karya Imam Nawawi, Al Muhadzdzab, karya Imam Asy-Syirazi, Minhajul Qawim, karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami. Jam'ul Jawami’, karya Imam As Subki untuk ushul fiqihnya.

Sedang kitab hadits yang beliau ajarkan adalah Shahih Al Bukhari, Al Adzkar an-Nawawiyah. Untuk masalah tauhid, beliau mengajarkan kitab Jauhar at Tauhid. Adapun untuk masalah tasawuf, kitab yang beliau ajarkan ialah kitab Ihya’ Ulumiddin, kitab Bidayatul Hidayah, keduanya karya Imam Al Ghazali, kitab Ar-Risalatul Qusyairiyyah, karangan Imam Al Qusyairi, kitab dan An-Nashaih ad-Diniyyah dan beberapa kitab Al Imam Al Habib Abdullah Al-Haddad.

Pesan Abuya Al Maliki agar menjadi penerus nabi telah terbukti. Al Habib Sholeh telah menjadi tumpuan umat dalam masalah agama dan dakwah. Selain berdakwah lewat taklim, Al Habib Sholeh juga telah mengarang beberapa kitab yang dijadikan acuan dalam mengajar di banyak pondok pesantren. Lebih dari itu beberapa kitab karangan beliau juga dijadikan rujukan dalam belajar mengajar di beberapa negara seperti Makkah, Madinah, Mesir dan Yaman.

Kitab-kitab Susunan Al Habib Sholeh bin Ahmad Al-Aydrus,

Dalam Bab Hadits : Lafthul Intibahat Fiima Hadzaral Ulama Minat Ta'lifaat, Tuhfatul Akhyaar Fii takhriji maa fii an Nashaih Minal Akhbar, Faidhul 'Allam Fii syarhi Arba’in Haditsan fis Salaam, Syarh At Targhiib Wat Tarhiib (dua juz)

Dalam Bab Fiqih : Assyaafiyah Fii Istilaahatil Fuqoha Asy Syafi'iyyah (dua juz), Is'aaful Muhtaj Fii Syarhil qiilaat Al Murojjahah Fiil Minhaaj, Irsyadul Haair ilaa ad'iyah wa aadabil Hajji Wal Musaafir Waz Zaair (Buku Panduan Adab dan Doa untuk Haji, Umrah dan Musafir)

Bab Tasawwuf: Al Mawaahibul Jaliyyah Fii Mukaatabaati Ahli Maqamatil Aliyyah, An Nashrul Faaih Fii Tartiibil Fawaatih

Bab Tsaqofah Islamiyyah: Al Faidhul Ilmiyyah Wal Fakahaatul Adabiyyah, I'laamul Bararah Bi Mabadi’ al ‘Asyarah, Fakkul Mughlaqat Fii bayanii al-Muradaat Mina Alqaab wa Asmaail Kutub al Muthlaqat.

Bab Tarikh : Minhaatul Ilaahil Ghaniy Fii Ba'dhi Manaaqibi Al Imam Alawy bin Abbas Al Maliki Al-Hasani, Lawaami'un Nur As Sani Fii Tarjamah Syaikhina Al Imam Muhammad bin Alwi Al Maliki Al- Hasani, Ghayatul Amani fi ba'dhi manaqibi Al Habib Al Imam As Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani.

Bab Sastra : Al Lughotul Arobiyyah Lughotul Qur'an, Al Injaaz Fii Amtsalat ahli Hijaaz, Nailul Arab Bii Muqaddimatil Khutab

Bab Nahwu : Alghaz An Nahwiyyah

Diposkan oleh Majlis Arrahman

Pangeran Antasari bin Pangeran Mas’ud

bin Sultan Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah, lahir tahun 1809, ibunya bernama Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ia adalah keluarga Kesultanan Banjarmasin, tetapi hidup dan dibesarkan di luar lingkungan istana, yakni di Antasan Senor, Martapura. Kericuhan-kericuhan yang terjadi di kalangan penguasa kesultanan, menjadikan cicit dari Sultan Aminullah ini tersisih, walaupun ia sebenarnya pewaris pula atas tahta Kesultanan Banjar.
Ketika Sultan Adam (1825-1857) meninggal dunia, Belanda mengangkat cucunya yaitu Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan. Putra Sultan Adam yaitu Pangeran Abdulrachman, ayah Tamjidillah, telah meninggal lebih dahulu pada 1852. Pengangkatan ini menimbulkan masalah, karena ibu Tamjidillah adalah orang Cina. Ditambah kesenangannya pada minuman keras dan bermabuk-mabukan. Para bangsawan, ulama, dan rakyat tidak menyukai terhadap pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan. Yang lebih disukai adalah putra Abdulrachman yang lain yaitu Pangeran Hidayatullah. Dia selain putra dari ibu bangsawan, juga berperangai baik. Tapi Tamjidillah sudah didukung dan ditetapkan Belanda sebagai sultan dan Hidayatullah dijadikan mangkubumi (patih)
Harapan rakyat Banjar adalah Hidayatullah yang menjadi sultan, yang diperkuat pula dengan Surat Wasiat Sultan Adam Alwasyiqubillah. Isi Surat Wasiat itu sebagai berikut: Sultan Adam memberi kepada Pangeran Hidayat gelar Sultan Hidayatullah Khalilullah. Mengangkat menjadi penguasa agama serta mewariskan semua tanah kesultanan, semua alat senjata kesultanan, alat pusaka dan padang-padang perburuan. Apabila Sultan Adam wafat, maka penggantinya ialah Pangeran Hidayat, dan hendaknya memerintah rakyat dengan penuh keadilan dan mengikuti perintah agama. Memerintahkan kepada seluruh rakyat Kesultanan Banjar supaya mentaati hal ini dan jika perlu mempertahankan dengan kekerasan. Memerintahkan kepada semua pangeran, menteri, orang besar kesultanan, ulama dan tetua kampung supaya mematuhi ketentuan ini, apabila dilanggar Sultan Adam menjatuhkan kutuknya.
Karena keadaan itu muncullah gerakan-gerakan perlawanan rakyat. Di berbagai tempat, di kampung-kampung, mereka mempengaruhi rakyat dan di sana-sini mengganggu ketenteraman. Keresahan rakyat tampak jelas dengan timbulnya perlawanan di daerah pedalaman, yaitu: Di Banua Lima (Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua) dipimpin oleh Tumenggung Jalil. Di Muning dibawah pimpinan Aling yang telah menobatkan dirinya menjadi sultan dengan nama Penembahan Muda. Anaknya yang bernama Sambang diangkat dan bergelar Sultan Kuning. Anak perempuannya Saranti diberi gelar Puteri Junjung Buih. Nama kampungnya diganti menjadi Tambai Makkah. Di daerah Batang Hamandit, Gunung Madang, dipimpin Tumenggung Antaluddin. Di Tanah Laut dan Hulu Sungai dipimpin oleh Demang Lehman. Di Kapuas Kahayan dibawah pimpinan Tumenggung Surapati.
Pangeran Hidayatullah dalam kedudukannya sebagai mangkubumi mengutus 3 orang untuk menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang sedang bergolak. Salah seorang dari utusan itu adalah pamannya sendiri, yaitu Pangeran Antasari. Maka terbukalah kesempatan bagi Pangeran Antasari untuk menghubungi pemimpin-pemimpin gerakan rakyat yang siap mengadakan perlawanan, bahkan ia berhasil memperoleh kepercayaan rakyat dan dipilih sebagai pemimpin perlawanan. Cita-cita mereka memang sesuai dengan sikap dan pendirian Antasari.
Oleh karena itu ia dan keluarganya diam-diam meninggalkan kediamannya di Antasan Senor Martapura dan menyatukan diri dengan kaum perlawanan di pedalaman. Puteranya yang bernama Gusti Penembahan Muhammad Said, dikawinkan dengan Saranti, puteri Penembahan Aling, tokoh yang berpengaruh di kalangan mereka.
Pangeran Antasari berhasil mempersatukan gerakan rakyat yang dipimpin oleh Penembahan Aling di Muning dengan gerakan rakyat yang dipimpin oleh Tumenggung Jalil di Benua Lima. Wilayah perlawanan bertambah luas, meliputi Tanah Dusun Atas, Tabanio dan Kuala Kapuas, serta Tanah Bumbu. Semuanya menjadi satu front di bawah pimpinan Pangeran Antasari untuk menentang Belanda dan kekuasaannya yang menggunakan Sultan Tamjidillah.
Pengaruh Pangeran Antasari menjadi makin luas, juga di kalangan alim ulama Banjar yang sebagian besar bersedia ikut menempuh jalan kekerasan. Pada permulaannya ia berhasil menghimpun sebanyak 6.000 orang lasykar. Serangan pertama dilakukan pada tanggal 28 April 1859. Dengan serangan itu maka meletuslah Perang Banjar. Pagi-pagi buta 300 orang lasykar yang dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari menyerang tambang batu bara dan benteng Belanda di Pengaron. Pertempuran berlangsung hingga pukul 14.00 siang. Baik pihak Pangeran Antasari mapun pihak Belanda berjatuhan korban.
Pengaron dikepung rakyat lasykar Antasari. Komandan Beeckman sangat khawatir karena persediaan makanan sudah menipis. Ia segera mengirim kurir, tetapi kurir itu dapat dibunuh oleh lasykar. Keadaan di luar tambang dan benteng Belanda di Pengaron dapat dikuasai lasykar Pangeran Antasari. Dua puluh orang bersenjata parang menyelinap ke dalam pos dan benteng tambang batu bara Oranje Nassau Pengaron, tetapi diketahui musuh, dan semuanya gugur terbunuh. Dokter Belanda di dalam lokasi itu diamuk dan dibunuh oleh orang hukuman. Pangeran Antasari sebagai pimpinan lasykar perlawanan mengirim surat kepada Beeckman agar ia menyerah.
Dalam keadaan semacam ini pemerintah Belanda menganggap berbahaya terhadap pangeran Antasari sehingga dianggap pemberontak yang dikenai premie atau harga kepala 10.000 gulden untuk menangkapnya hidup atau mati. Demikian pula terhadap Pangeran Hidayatullah yang kemudian bergabung dengan Pangeran Antasari. Hal ini dilakukan Belanda setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860.
Di dalam bulan suci Ramadhan 1278 H (14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur) para alim ulama dan pemimpin rakyat di Barito, Sihong, Teweh serta kepala-kepala suku Dayak Kapuas Kahayan berkumpul di Dusun Hulu untuk menobatkan Pangeran Antasari menjadi Penembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, pemimpin tertinggi agama. Dengan demikian, dalam pengertian rakyat, kedaulatan daerah Banjar dipegang oleh Pangeran Antasari. Kekuasaan dan kedaulatan dilaksanakan sesuai dengan keadaan perang yang masih berkobar.
Belanda masih berusaha berdamai dengan Pangeran Antasari dan bersedia memberi pengampunan. Pangeran Antasari menolak ajakan Belanda dengan mengirim surat kepada gezaghebber (Kepala Daerah/penguasa) di Marabahan (Bakumpai). Isinya ialah penolakan pengampunan yang diajukan Belanda kepada Pangeran Antasari. Ia tidak percaya kepada janji-janji yang diberikan Belanda dan menganggapnya sebagai tipu muslihat belaka. Pangeran Antasari sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin hanya memberi satu jaminan untuk perdamaian, yaitu diserahkannya Kesultanan Banjarmasin, sedangkan Belanda hanya diizinkan untuk menarik pajak. Kalau syarat tersebut tidak dipenuhi, maka Pangeran Antasari memilih jalan meneruskan peperangan.
Pada tahun 1862 Pangeran Antasari merencanakan suatu serangan besar-besaran terhadap Belanda, tetapi secara mendadak, wabah cacar melanda daerah Kalimanatan Selatan, Pangeran Antasari terserang juga. Dalam keadaan sakit parah ia diangkut ke pegunungan Dusun Hulu. Akhirnya meninggal di kampung Sampirang, Bayan Pegog, Hulu Teweh, pada tanggal 11 Oktober 1862. Kemudian makamnya dipindah pada 11 November 1958 ke Komplek Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin.

/adimust.wordpress.com/about-pics/pangeran-antasari-panembahan-amiruddin-khalifatul-mukminin/