Kamis, 17 Oktober 2013

Habib Al-Walid Muhammad bin Alwi bin Husin bin Hood Al-Athas

Al habib lahir di sebuah desa di daerah Sulawesi Selatan (Ujung Pandang) yang bernama Subik Mandar pada tanggal 14 Mei 1934 , Ayah Al habib bernama Al Habib Alwi bin Husin bin Hasan Al bin Hood Al Athas dan ibunya bernama Rugayyah binti Alwi bin Abdullah bin Sahl Jamalullail. Desa Subik ini adalah suatu daerah nelayan yang berhadapan dengan teluk Mandar , terletak diantara dua wilayah yaitu Majene dan Polewali . Masa kanak-kanak al habib dihabiskan di daerah ini,hingga suatu masa AL Habib diajak oleh pamannya yang bernama Al Habib Ali bin Husin bin Hasan Al bin Hood Al Athas merantau ke tanah Jawa tepatnya di Pekalongan,karena tidak betah dengan suasana baru ini al habib pulang kembali ke Ujung Pandang.

Pada umur 15 tahun al habib kembali merantau ke tanah Jawa tepanya daerah Surabaya, disini al habib bekerja pada Al habib Ja’far Aidid.Setelah tinggal selama 6 tahun di Surabaya al habib menikah pada umur 21 tahun dengan Syarifah Khadijah binti Alwi bin Ali Assofi Asseggaff. Setelah pernikahan ini al habib mendapat kepercayaan yang besar dari Al habib Alwi bin Ali Assofi Asseggaff yang juga merupakan mertua al habib untuk mengelolah pabrik secara penuh tenun kain sarung yang berada di Gapuro Gersik. Sejak saat diberi kepercayaan Al habib tinggal di Gersik,secara ekonomi al habib cukup mapan dan di waktu itu al habib sering menerima tamu dari berbagai lapisan masyarakat Alawiyin yang ada di Jawa Timur bahkan al habib juga mempunyai relasi dagang yang cukup luas dari berbagai daerah di Indonesia.

Kegemaran al habib terhadap nasab ini telah dimulai sejak al habib masih mudah/sebelum nikah dimana waktu itu masih banyak Wulaiti (kaum yang lahir di Hadramaut), dalam setiap acara al habib selalu menyempatkan diri untuk berinteraksi / bergaul dengan segala golongan dengan secara sungguh-sungguh menanyakan nama qabilahnya,asal daeranya dan berbagai masalah yang berkaitan dengan nasab. Terkadang al habib menyempatkan diri berkunjung dengan wulaiti untuk menanyakan permasalahan sekaligus belajar mengenai ilmu nasab adakalah suatu acara al habib sengaja membawa air untuk cucian tangan guna melayani orang-orang tua/wulati pada kesempatan yang sesaat itu alhabib menggunakan untuk berkenalan sekaligus mengenal orang lain.

Al habib belajar kepada banyak orang untuk memahami ilmu nasab ini,jadi al habib membutuhkan waktu puluhan tahun untuk duduk mengurusi permasalahan nasab ini tidak dengan tiba-tiba atau dengan kepentingan tertentu untuk mencari kedudukan di mata manusia,duduknya al habib di ilmu nasab ini jauh dari kepentingan pribadi ataupun golongan. Ada suatu kejadian yang membuat Al habib terpacu untuk belajar ilmu nasab ini, pada suatu ketika sewaktu alhabib baru mau mengenal /belajar silsilah alhabib sempat mendapat sindiran yang cukup membuat alhabib termotifasi untuk membuktikan ketidak benaran ucapan orang-orang. Pada waktu itu ada ucapan yang mengatakan bahwa “Mana mungkin orang dari pedalaman bisa mengerti nasab”. Ternyata perkataan ini terbantahkan oleh alhabib.

Al habib beserta keluarga hijrah ke Jakarta pada tahun 1981 di Jl. Cililitan Kecil Jakarta Timur dan pada tahun 1989 alhabib memegang kendali dalam menjaga kemurnian/kelestarian ilmu nasab ini hingga sampai akhir hayatnya. Jadi al habib mematahkan perkataan orang yang meragukan kemampuan al habib ternyata orang yang berasal dari daerahpun mampu memegang kendali ilmu nasab ini setelah belajar puluhan tahun dengan berkeliling kemana-mana. Al habib sempat berkeliling Indonesia bahkan semenanjung Melayu ,alhabib juga punya hubungan yang baik dengan beberapa orang ahli silsilah waktu itu. Diantaranya Al Isa bin Muhammad bin Al Qatmyr Al-Kaff, Al Habib Ibrahim bin Muhammad Al Kaff Singapura dan beberapa ahli silsilah yang lainnya. Al habib juga sempat mempersiapkan beberapa orang kader untuk mengantisipasi ke masa depan. Diantara kader tersebut adalah Al Habib Zainal Abidin bin Segaf Assegaf yang waktu itu masih berumur 30 tahun.

Sebulan sebelum meninggal alfaqier sempat bertemu al habib dirumahnya, alhabib berpesan “ya Waladi jangan engkau ikuti orang-orang yang berpegang diluar salaf kita, ikuti salaf-salaf kita suatu saat nanti mereka yang keluar dari salaf kita akan hancur sehancurnya” sembari beliau mengantar alfaqier ke luar. Rupanya itulah pertemuan terakhir dan pada tanggal 6 Februari 1995 Al habib meninggal dunia dan dikuburkan di Makam AlHabib Ahmad bin Alwi Al Umar AlHaddad (Habib Kuncung, dibelakang Kali Bata Mall, Jakarta ).

Selamat jalan habib curahan do’a menghantar mu di tempat istirahat yang tenang di dalam tamannya sorga

Semoga ALLAH menempatkanmu pada tempat yang terindah yang belum pernah ditempati manusia lain dimasamu.

Aaamiiin ya Robbal Alamiin.


Al Habib Muhammad bin Abdullah Alaydrus

Habib Muhammad bin Abdullah Alaydrus


Habib Muhammad bin Abdullah bin Syeikh bin Abdullah bin Syeikh bin Abdullah Alaydrus bin Abubakar As-Sakran lahir di kota Tarim tahun 970H. Beliau tumbuh dewasa sebagai seorang alim yang berakhlak mulia berkat asuhan ayahnya. Kakek beliau, Habib Syeikh, yang saat itu tinggal di India, mendengar kedalaman ilmu dan keluhuran budinya, maka pada tahun 989H, beliau meminta cucunya agar pindah ke Ahmad Abad, India. Di India, beliau digembleng lagi oleh kakeknya selama dua tahun yang penuh keberkahan sehingga ilmunya berkembang pesat.

Di samping kedalaman ilmu dan keluhuran pekertinya, beliau juga dikenal murah hati. Penduduk India: Muslim maupun kafir, sangat mempercayainya. Hal ini memudahkan beliau untuk meneruskan dakwah yang telah dirintis kakeknya. Sebab, sebelum meninggal pada tahun 990H, Habib Syeikh telah mengangkat beliau sebagai kholifahnya.

Pembaca yang budiman, Idhohul Asrori Ulumil Muqorrobin adalah salah satu karya beliau. Siapapun membacanya tentu akan memaklumi keluasan wawasan habib Muhammad Alaydrus. Dalam buku ini beliau membalas selok belok hawa dan nafs, serta membeberkan bagaimana keduanya memainkan peran dalam kehidupan manusia.

Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata, “Kitab Idhohul Asrori Ulumil Muqorrobin merupakan inti ajaran tasawuf”. Itulah sebabnya buku ini tak henti-hentinya dipelajari di majelis beliau. Setiap kali penuntut ilmu mengkhatamkannya, penuntut ilmu yang lain memulainya dari awal lagi (Idhohul Asrori Ulumil Muqorrobin: hal 5).

dipetik dari: Memahami Hawa Nafsu Rahasia Ilmu Kaum Muqorrobin oleh Sayid Muhammad bin Abdullah Alaydrus

 terbitan Putera Riyadi


AL HABIB MUHAMMAD BIN ‘ALAWY BIN 'UMAR BIN 'AYDRUS BIN 'ALAWY AL 'AYDRUS

(HABIB SA'AD - Tarim)

Beliau adalah Al Habib Muhammad bin ‘Alwy Al Aydrus, digelar dengan nama Habib Sa’ad. Beliau lahir di Tarim pada tahun 1351 H dan besar di Tarim. Mengambil 'ilmu dari 'ulama-'ulama Tarim khususnya di Ribath Tarim. Kemudian beliau berpindah ke ‘Aden untuk mencari bekerja. Dan disana beliau berhadapan dengan corak pemerintahan keras Komunis Merah pada ketika itu, yang menahannya (masukkannya) dalam penjara tanpa kesalahan dan tanpa kehormatan sebagai mana dilakukan kepada ramai daripada golongan sholihin.

Namun mehnah (ujian) yang merupakan tarbiyyah Allah ke atasnya, maka Allah telah mentaqdirkan baginya bahwa dia menghafal Al-Quran dalam kegelapan penjara. Kemudian pada 1395 H beliau keluar dari penjara setelah hampir 4 tahun dipenjara. Setelah itu beliau kembali ke Tarim dan menjadi imam di Masjid As-Saqqaf dan guru Al-Quran di Mu’alamah Abi Murayyin. Para pelajar berduyun-duyun datang belajar daripadanya walaupun berlaku kekerasan komunis pada ketika itu dan masih lagi berterusan selepas itu. Habib Sa’ad sangat suka membaca, memuthola’ah dan mengumpul bahan-bahan ilmu sehingga semua karangannya mencapai lebih 70 buah kitab. Beliau juga terlibat dalam beberapa seminar dan muktamar di Tarim.

Pada tahun 2009, beliau menerima anugerah penghargaan dari Markas Ibnu ‘Ubaydillah As-Saqqaf kerana jasa dan sumbangannya dalam bidang penghafalan Al-Quran.

Habib Sa'ad adalah Guru Al Qur'an oleh Habib 'Umar bin Muhammad bin Hafidz

Habib Sa’ad menghasilkan banyak penulisan, mencecah lebih daripada 70 buah. Antanra karangan beliau yaitu kitab mengenai niat, siwak, kelebihan kalimah Laa ilaaha ilallah,Hikam Al-Imam ‘Ali رضي الله عنه,,

Habib Sa’ad wafat pada usia 81 tahun. Beliau meninggal dunia ketika sedang membaca kitab Ihya ‘Ulumiddin karangan Al Imam Al Ghozali pada tengah hari Kamis dan Beliau tiba-tiba rebah sementara kitab masih berada di tangan beliau..Allahu Akbar !!!


https://www.facebook.com/photo.php?fbid=465184486835297&set=a.210709762282772.52958.210611705625911&type=1&relevant_count=1

AL IMAM AL HABIB MUHAMMAD BIN ‘ABDULLAH AL HADDAR

( Sang pendiri Ribath )

Nasab Beliau
Al Habib Muhammad bin 'Abdullah Al Haddar bin Syech bin Muhsin bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Sholeh bin Ahmad bin Syeikh Abu Bakar bin Salim,hingga terus bersambung kepada Baginda Rosulullah Saw.

Habib Muhammad lahir di desa `Azzah dekat kota Al Bayda di Utara Yaman pada tahun 1340 H (1921 M). Ayah beliau adalah ‘Abdullah danKakek beliau adalah Muhsin, Ibu beliau adalah Nur binti `Abdullah Ba Sahi, seorang wanita yang sangat sholihah yang dikenal karena amal dan ibadahnya. Ibu beliau sangatlah pemurah hingga sering membantu orang-orang kelaparan, terutama pada saat bencana kelaparan di Yaman selama Perang Dunia Kedua. Pada masa kecil Habib Muhammad belajar Al Qur'an dan ilmu-ilmu dasar agama dari ayah Beliau dan para ‘ulama Al Bayda. Di salah satu malam terakhir bulan Ramadhan waktu di masjid beliau menyaksikan cahaya yang cemerlang. Yang mana itu ternyata adalah Lailatul Qodar.

Rasa haus akan pengetahuan kemudian membuat Beliau mencoba untuk melakukan perjalanan ke Tarim pada usia 17 tahun. Setelah perjalanan dengan perahu layar dari Aden dengan Al-Mukalla Beliau tidak dapat pergi lebih jauh karena pertikaian politik dan dengan demikian kembali ke rumah. Tidak mundur, Beliau kemudian melanjutkan perjalanan melalui darat. Beliau di temani Ayahnya dalam perjalan. Ketika tiba saatnya bagi mereka untuk berpisah ayahnya menghadapi kiblat dengan berlinang air mata dan berkata: "Ya Allah orang yang mengirim anak-anak mereka ke Amerika dan tempat-tempat lain untuk mendapatkan mereka uang dan saya mengirim dia untuk belajar sehingga memberinya membuka dan membuat dia salah seorang ulama yang bertindak sesuai dengan pengetahuan mereka "Meskipun hampir mati kehausan di jalan pegunungan antara Seiwun dan Tarim dia akhirnya tiba dengan selamat di Tarim, dan langsung menuju Ribat terkenal, di mana ia bertemu. oleh Syeikh nya, Habib `Abdullah bin` Umar Assyathiri.

Habib Muhammad menghabiskan 4 tahun di Ribat dalam mengejar pengetahuan. Usaha beliau sangat gigih. Beliau akan mempersiapkan setiap pelajaran dengan membaca materi subjek setidaknya delapan belas kali dan hanya akan tidur sekitar dua jam di siang dan malam. Habib `Abdullah mengakui kemampuannya dan memberinya perhatian khusus dan tanggung jawab, meninggalkan Ribat di tangannya ketika ia meninggalkan Tarim. Beliau telah belajar dengan ‘Ulama –ulama yang masyhur di antaranya Habib `Alwy bin 'Abdullah Shihabuddin, Habib Ja'far bin Ahmad Al 'Aydarus dan Syeikh Mahfudz bin Salim Al Zubaydi. Setelah kematian Habib `Abdullah di 1361 H(1941 M) Habib Muhammad kembali kerumah, hatinya penuh dengan keinginan untuk menyebarkan pengetahuan dan membatu orang-orang menuju Allah. Pada 1362 H (1942 M) Beliau mendirikan sebuah madrasah di tempat kelahirannya `Azzah. Beliau juga termasuk berjasa dalam penyelesaian konflik suku pada waktu itu

Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan kaki untuk melakukan haji pada tahun 1365 H (1945 M). Setelah kembali, Beliau menghabiskan beberapa waktu di Ta `Izz belajar dengan Habib Ibrahim bin 'Aqil bin Yahya. Pada 1375 H (1955 M) Beliau melakukan haji untuk kedua kalinya dan setelahnya beliau selalu menyempatkan untuk ber haji tiap tahunnya.
Beliau mengambil ilmu dari para ‘ulama Hijaz, di antaranya Sayyid `Alwy bin 'Abbas Al-Maliki Al-Hasani.
Pada 1370 H(1950 M) Beliau pergi ke Somalia dan menjadi imam Masjid Mirwas di Mogadishu. Beliau menetap disana selama satu tahun setengah. Dia mengajar terus-menerus dan mengawasi pembentukan Ribat di kota Bidua. Di sinilah beliau bertemu seorang Guru Besar yaitu, Habib Ahmad Masyhur Al-Haddad.

Habib Muhammad sudah lama ingin mendirikan Ribat di kota Al-Bayda. Beliau mencari dukungan keuangan di Aden dan Ethiopia dan konstruksi awal telah selesai pada tahun 1380 H(1960 M).Beliau meminta agar Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz mengirim seseorang dari Tarim .Pada saat itu Habib Zein bin Ibrahim bin Sumith yang dipilih Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz untuk menjadi guru di Ribat dan menetap di Al-Bayda sekitar 20 tahun. Pada 1402 H(1981 M) Habib ‘Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafiz meninggalkan Hadramaut bermasalah dan datang ke Al-Bayda. Beliau menghabiskan 10 tahun mengambil pengetahuan dari Habib Muhammad Al Haddar, dan Habib ‘Umar pun menikahi putrinya Habib Muhammad Al Haddar. Habib ‘Umar juga mengajar di Ribat.

Habib Muhammad salalu setia dalam oposisinya terhadap pemerintah sosialis yang berkuasa di Yaman Selatan tahun 1387 H(1967 M). Hal ini menyebabkan Beliau dipenjara di Al-Mukalla dalam kunjungan ke Hadramaut pada tahun 1390 H(1970 M). Di dalam penjara pun beliau tak pernah putus dalam mengajar hingga narapida pun diberikan Beliau ilmu.Beliau pada akhirnya di bebaskan melalui perantara dari Habib ‘Abdul Qodir bin Ahmad Assedaf dan Habib Ja'far Al-'Aydrus, Dan Beliaupun kembali ke Al-Bayda, setelah berterima kasih kepada mereka atas usaha mereka dan memperingatkan para ulama dari Tarim dan Seiwun dari bahaya yang tersisa di Hadramaut.

Pada 1395 H(1974 M) Beliau pergi ke Kepulauan Comoros untuk mengunjungi Imam besar Habib ‘Umar bin Ahmad bin Sumith dan kemudian ke Kenya untuk mengunjungi Habib Ahmad Masyhur Al-Haddad. Habib Muhammad telah membentuk ikatan yang erat dengan Habib ‘Abdul Qodir Assegaf dan mereka bepergian bersama ke Irak dan Suriah pada 1396 H(1975 M). Habib ‘Abdul Qodir juga dua kali mengunjungi Al-Bayda dan Ribat Habib Muhammad. Habib Muhammad sangat menghormati gerakan Tabligh dan di tahun1402 H(1981 M) ia menuju ke Pakistan, Bangladesh, Thailand dan Malaysia untuk mengunjungi ulama gerakan itu dan menghadiri pertemuan mereka.
Di antara kitab yang beliau ajarkan adalah Shohih Al-Bukhari, 'Ihya' Ulumuddin, As-Shifa dan Minhajut-Tholibin karangan Imam Nawawi.
Dia mengumpulkan sejumlah koleksi dari adhkar untuk dibaca pada siang hari dan malam (al-Fawa'id al-Ithna `Ashar, Nashi'at al-Layl) dan di perjalanan (Jawahir al-Jawahir). Para adhkar banyak dibaca hingga sekarang di Darul-Musthofa. Dia juga menyusun koleksi ahdkar dan Duas untuk Ramadhan (al-Nafahat al-Ramadaniyya) dan untuk Haji (Miftah al-Haji). Dia menulis sebuah risalah tentang pencapaian akhlak mulia (al-`Ajalat Sibaq), risalah tentang kinerja haji (Risalat al-Hajj al-Mabrur) dan dikompilasi pilihan hadis berjudul al-Shifa Saqim. Habib Muhammad menderita sakit keras selama bertahun-tahun dan hingga menjelang akhir hidupnya Beliau masih sempat pindah ke Mekkah a. Kata-kata terakhir Beliau yang sering beliau lafadzkan tiap hari pada masa akhir hidupnya:

لا إِلَهَ إِلاّ الله أَفْنِي بِها عُمْري
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَدْخُل بِها قَبْري
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَخْلو بِها وَحْدي
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَلْقى بِها رَبِّي

la ilaha ill'Allah - dengan itu aku mengakhiri hidupku

la ilaha ill'Allah - dengan itu saya masukkan kuburku

la ilaha ill'Allah - dengan itu saja saya memisahkan diri

la ilaha ill'Allah - dengan itu aku bertemu Tuhanku

Dia kemudian jatuh ke sujud dan ruhnya meninggalkan tubuhnya. Dan Beliau pun wafat pada tanggal 8 Robi’ul Akhir 1418 H(1997 M). Beliau dimakamkan di dekat ibunya.

Semoga Ilmu Beliau selalu menerangi bumi ini


Al Habib Muhammad Bilfaqih Desa Pejalin

Makam Keramat Al Habieb Muhammad Bilfaqih (Manjanta) Tanjung Selor Desa Pejalin
Sekilas Sejarah Dari Al Habieb Muhammad Bilfaqih,,Beliau di Kenal Sebagai Orang Yang Sangat Tawadhu',,Taat Terhadap Perintah Allah SWT, Beliau Hidup Sangat Sederhana Bersama Dengan Seorang Istri,,Mohon Maaf Penulis Belum Dapat Informasi Tentang Keturunan2 Beliau,,Tapi Karena Banyaknya Informasi Yang Berbeda-beda Tentang Beliau Sehingga Penulis Mengalami Kesulitan Dalam Menginformasikan Disini,,Oleh Karena Beliau Memang Orang Yang Sangat Sederhana Dalam Segi Kehidupan Apapun, Bahkan Ada Suatu Kisah Fakta Dari Seseorang Yang Juga Merupakan Murid Dari Al Habieb Muhammad Bilfaqih, Ketika Beliau Pergi Memancing Ikan, Singkat Cerita Beliau Banyak Mendapatkan Rejeki Dari Allah SWT Berupa Ikan Yang Cukup Banyak, Namun Karena Kebaikan, Murah Hatinya Beliau, Ketika Perjalanan Pulang Menuju Rumah, Ikan Yang Beliau Dapat, Diminta Oleh Penduduk Setempat,,Sampai Habis Ikan Yang Beliau Dapatkan,,Sehingga Pulang Tidak Membawa Apa2,,Namun Beliau Ikhlas dan Sang Istri Tetaplah Sabar,,Sehingga Inilah Yang Menjadikan Beliau Sebagai Wali Allah SWT,,
Untuk Dokumentasi Makam Yang Lama dan Yang Baru Akan Saya Postikan Dalam Waktu Kedepan InsyaAllah.....

Karomah (Kekeramatan) Beliau Yang Allah Berikan Adalah :
Dulunya Makam Beliau Terletak DiDaerah Pejalin Tanjung Palas, Karena Adanya Pembangunan Maka Dengan Sendirinya Makam Beliau Berpindah Diseberang Desa Pejalin Ditengah Hutan Informasi Ini Disampaikan Ke Keturunan Beliau Melalui Mimpi Sehingga Makam Beliau Dikatakan Sahibull Barkah..
Ketika Seorang Warga Desa Baratan Berniat Kepada Allah SWT, Bahwa Memohon Anaknya Bisa Membaca Dan Lepas Dari Sakit, Orang Ini Diminta Untuk Bertawasul Ke Makam Beliau Dan Keluarlah Air Dari Batu Nisan Beliau Dan Ditampung Didalam Botol Aqua Oleh Orang Tersebut..
Makam Beliau Terletak -/+ 100 meter dari Pinggir Sungai, Ketika Banjir Besar Disekitar Makam Tenggelam Namun Makam Beliau Tidak Tersentuh Air Banjir Sedikit pun (Kesaksian Penulis Sendiri)
Ketika Malam Hari Sering Terdengar Lantunan Ayat Al Qur'an Serta Ramainya Orang Mengaji Di Makam Beliau (Kesaksian Penjaga Buah)
Dari Informasi Beliau Bernama Al Habieb Muhammad Bilfaqih,,Ada Juga Yang Mengatakan Al Habieb Muhammad Bin Ali Bilfaqih,,Ada Juga Yang Mengatakan Beliau Mempunyai Hubungan Saudara Dengan Al Habieb Abdurrahman Bin Abdullah Bilfaqih..Wallahu A'lam Bissawaf..

Diposkan oleh Ivient Harahap

http://auliya-allahswt.blogspot.com/2011/08/makam-keramat-al-habieb-muhammad.html

Al-Habib Muhammad Al-’Aidrus Sasterawan Melayu Terengganu ( tuk tuan besar )

Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad bin Sayyid Zainal ‘Abidin al-’Aidrus, selanjutnya disingkat dengan Sayyid Muhammad al-’Aidrus saja. Nama gelar adalah Tokku Tuan Besar. Sayyid Muhammad al-’Aidrus lahir pada 21 Rojab 1209 H/12 Februari 1795 M dan wafat pada malam Senin, 17 Muharam 1295 H 21 Januari 1878 M. Ada yang menulis bahawa ayah Sayyid Zainal ‘Abidin al-’Aidrus bernama Sayyid Syeikh bin Sayyid Mustafa al-’Aidrus.
Berdasarkan catatan Kadi Haji Ismail bin Syeikh Ahmad al-Fathani, dikatakan bahawa ayah Sayyid Zainal ‘Abidin al-’Aidrus bernama Sayyid Husein bin Sayyid Mustafa al-’Aidrus. Maklumat ini sama dengan yang ditulis oleh Sayyid ‘Abdur Rahman di Kuala Terengganu (Sabtu 12 Jamadilakhir 1411H/29 Disember 1990).

Dapat disimpulkan bahawa kakek Sayyid Muhammad al-’Aidrus adalah sayyid Mustafa al-’Aidrus yang makamnyanya terletak di Cabang Tiga, Kuala Terengganu tertanggal 1207 H/1792 M. Beliau digelar Tok Ku Makam Lama. Mulai dari sini hingga kepada beberapa tapisan, keturunannya menjadi tokoh-tokoh besar dan penyebar-penyebar Islam yang terkenal di Terengganu khususnya dan pantai timur Semenanjung umumnya.

Oleh sebab sayyid Muhammad al-’Aidrus adalah cicit sayyid Mustafa al-’Aidrus maka Tok Ku Paloh (sayyid ‘Abdul Rahman al-’Aidrus) adalah termasuk salah seorang keturunan ulama keturunan Nabi Muhammad s.a.w.. Tok Ku Paloh lahir pada tahun 1233 H/1818 M atau riwayat lain menyebut lahir 1236 H/1820 M, wafat Zulhijjah 1335 H/September 1917 M.

Datuk Misbaha dalam Pesaka, cetakan pertama 1983 halaman. 87, menjelaskan sayyid Muhammad al-’Aidrus sebagai ‘Pelopor dan Bapak Kesusasteraan Melayu Terengganu’.

Pendidikan

Ketika masih kecil sayyid Muhammad al-’Aidrus mendapat pendidikan keluarga sendiri, kemudian melanjutkan pendidikan pondok dari Syeikh ‘Abdul Qadir bin ‘Abdur Rahim Bukit Bayas yaitu seorang ulama besar yang berasal dari Patani.

Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya ke Mekah dengan Syeikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani. Syeikh ‘Abdul Qadir al-Fathani, Bukit Bayas dan Syeikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani.

Keduanya ada hubungan kekeluargaan yang rapat. Walaupun Syeikh ‘Abdul Qadir al-Fathani, Bukit Bayas dari segi nasab pangkatnya merupakan ayah saudara tetapi dari segi keilmuan beliau adalah murid Syeikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani. Bersama saat berada di Terengganu maupun setelah di Mekah, sayyid Muhammad al-’Aidrus bersahabat karib dengan Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf Pusin yang berasal dari Kemaman, Terengganu.

Beliau kemudian muncul sebagai ulama yang banyak menyalin pelbagai kitab karya-karya ulama dunia Melayu.

Selain belajar daridua ulama yang berasal dari Patani di atas, manuskrip karya sayyid Muhammad al-’Aidrus menyebut, beliau pernah belajar dari sayyid ‘Abdullah bin ‘Umar bin Yahya. sayyid Muhammad al-’Aidrus menyebut ulama ini sebagai, “persandaranku dan guruku” Manuskrip tersebut menjelaskan sanad ilmu secara lengkap bahawa guru beliau, sayyid ‘Abdullah bin ‘Umar bin Yahya, belajar dari sayyid Thahir bin Husein. Beliau belajar dari sayyid ‘Umar bin Saqaf. Beliau belajar dari sayyid Hasan bin ‘Abdullah.

Beliau belajar dari ayahnya Quthbur Rasyad sayyid ‘Abdullah al-Haddad. Beliau belajar dari sayyid ‘Umar bin ‘Abdur Rahman. Beliau belajar dari sayyid Husein. Beliau belajar dari sayyid Abi Bakar. Beliau belajar dari sayyid ‘Umar bin Muhammad Ba Syaiban. Beliau belajar dari sayyid ‘Abdur Rahman bin ‘Ali. Kemudian belajar dari al-Quthub al-’Aidrus sayyid ‘Abdullah. Beliau berguru dengan ayahnya sayyid Abi Bakar as-Sakran. Beliau belajar dari ayahnya sayyid ‘Abdur Rahman as-Saqaf. Beliau belajar dari ayahnya sayyid Muhammad Maula ad-Dawilah. Beliau belajar dari ayahnya sayyid Syeikh ‘Ali. Beliau berguru dengan ayahnya sayyid ‘Alawi. Beliau belajar dari ayahnya sayyid al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali.

Beliau belajar dari ayahnya sayyid ‘Ali. Beliau berguru dengan ayahnya sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Beliau belajar dari ayahnya sayyid ‘Ali Khala’ Qasam. Beliau belajar dari ayahnya sayyidi ‘Alawi. Beliau belajar dari ayahnya sayyid Muhammad. Beliau belajar dari ayahnya sayyid ‘Alawi. Beliau berguru dengan ayahnya sayyid ‘Ubaidilah. Beliau belajar dari ayahnya sayyid Muhammad al-Muhajir. Beliau belajar dari sayyid Muhammad an-Naqib. Beliau belajar dari ayahnya sayyid ‘Ali ar-Ridha. Beliau belajar kepada ayahnya sayyid Imam Ja’far as-Shadiq.

Beliau belajar dari ayahnya sayyid Imam al-Baqir. Beliau berguru dengan ayahnya sayyid ‘Ali Zainal ‘Abidin.

Beliau belajar dengan ayahnya sayyid Husein cucu Rasulullah s.a.w.. Beliau belajar dari ayahnya sayyidina ‘Ali ibnu Abi Thalib. Beliau belajar dari Nabi Muhammad s.a.w..

Dari sanad penerimaan ilmu sayyid Muhammad al-’Aidrus itu, jelas beliau lebih mengutamakan ilmu yang berasal dari keluarga ‘sayyid'. Barangkali sangat banyak ilmu pengetahuan yang beliau terima dari ulama-ulama keturunan Rasulullah dan ulama dunia Melayu terutama yang berasal dari Patani, seperti Syeikh ‘Abdul Qadir al-Fathani Bukit Bayas yang telah disebutkan. Oleh sebab itu beliau menjadi ulama besar Terengganu pada zamannya.

Selain giat mengajar di surau yang dibinanya di Cabang Tiga, Terengganu, beliau juga adalah Syaikhul Ulama yang diberi gelaran Paduka Raja Indera pada zaman pemerintahan Sultan Umar (1839-1876 M).

Mengenai sanad membaca Shalawat Dalail al-Khairat, beliau menulis: “Maka lagi akan berkata seorang faqir ila rahmatil Rabbil Ghani al-Quddus, as-sayyid Muhammad ibnu Zainal ‘Abidin al-’Aidrus, sesungguhnya telah aku baca akan kitab Dalail al-Khairat serta beberapa orang dari kami bagi yang menuntut akan keridloan Allah dan Rasul-Nya, termasuk dari mereka adalah Ahmad putra ‘Abdul Halim. Kemudian dari membaca maka menuntut ia dari aku akan ijazah untuk membacanya. Maka aku ijazahkanlah kepadanya seperti orang yang memberi ijazah kepadaku dengan yang demikian itu oleh guruku yang terlalu alim, yaitu Syeikh ‘Abdul Baqi bin almarhum Muhammad Shalih Syi’ab, orang negeri Madinah, dari kaum Anshari.”

Mengambil ilmu dari gurunya yang alim lagi ‘Allamah, lagi Wali, dengan tiada bantahan, yaitu sayyid ‘Ali bin ‘Abdul Barri al-Wafa-i, yang Hasan bangsanya dan Syafi’ie mazhabnya.

Ia mengambil dari gurunya yang alim lagi ‘Allamah Maulana as-sayyid Muhammad Murtadha, yang Hanafi Mazhabnya, Zabid negerinya, Husein bangsanya.

Ia mengambil dari gurunya Imam Muhyuddin Nurul Haq bin‘Abdullah, yang Hasan bangsanya.

Ia mengambil dari gurunya as-sayyid Sa’adud Din bin Muhammad.

Ia mengambil dari gurunya as-sayyid al-Mu’ammar ‘Abdus Syukur yang Husein bangsanya.

Ia mengambil dari gurunya, yang mengarang ia akan selawat tersebut, yaitu Syeikh Muhammad bin Sulaiman, al-

Jazuli negerinya, Hasan bangsanya. Maka jadilah antaraku dan antara yang memiliki karangan, yaitu Muhammad ibnu Sulaiman yang tersebut itu enam keturunan.

Karya Beliau

Karya-karya sayyid Muhammad al-’Aidrus yang terkenal adalah:

1. Kanzul Ula
2. Jauharus Saniyah;
3. ‘Uqudu Durrataini fi Tarjamati Kalimataisy Syahadataini;
4. Tuhfatul Wildan;
5. Mukhtashar;
6. Siratun Nabawiyah;
7. Sullamut Taufiq;
8. Targhibus Shibyan;
9. Ahaditsun Nabawiyah mimma Yata’allaqu bil ‘Imamatil ‘Arabiyah. Saya mempunyai manuskrip kitab ini, yang dinyatakan ia selesai penulisan, “pada hari Selasa yang kedua puluh (tak dapat dibaca) pada tahun 1267, sanah 1267 H (1851 M);
10. Salasilah Ratib al-Haddad diselesaikan pada 25 Ramadan 1267 H/24 Julai 1851 M;
11. Kaifiyat ‘Amal Ratib al-Haddad diselesaikan pada 26 Ramadan 1267 H/25 Julai 1851 M.


http://indo.hadhramaut.info/view/4588.aspx

Al Habib Muhammad Al-Bagir bin Soleh Maula Dawilah

Pelopor Hadrah Basaudan di Malang


Di Majelis Taklim Riyadus Shalihin, Malang, tiap Selasa pagi dibacakan hadrah Basaudan.



Tiap Selasa pagi, mulai pukul 05.30-07.00, Majelis Taklim Riyadus Shalihin, di Jln. Kapten Piere Tendean Gg. 3 No. 4-5, Malang, Jawa Timur, ramai oleh ratusan jamaah, yang mayoritas berpakaian putih-putih. Mereka dengan khusyu’ memanjatkan doa bersama, dituntun oleh Habib Muhammad Al-Bagir bin Soleh Maulad Dawilah, pengasuh Majelis Taklim tersebut, dan membaca hadrah Basaudan. Jamaah yang tidak mendapat tempat duduk di ruang majelis taklim yang berukuran 20 x 10 meter itu rela duduk di karton kardus sepanjang gang sempit.

Tradisi pembacaan rangkaian Istighatsah dan doa karangan Syaikh Abdullah bin Ahmad Basaudan ini baru dimulai sekitar tahun 2003. Hadrah Basaudan sendiri merupakan bacaan istighatsah masyarakat di Hadramaut. Habib Muhammad Al-Bagir Basaudan membuka secara resmi dan menyelenggarakan pembacaan Istighatsah dari rangkaian doa hadrah Basaudan ini secara berjamaah setelah mendapat ijazah dari Habib Ali bin Muhammad bin Salim bin Hafidz (Hadramaut) tahun 1423 H ketika datang ke Malang.

Awalnya, ia menyelenggarakan Istighatsah tiap Selasa sore, namun kemudian diganti menjadi pagi, karena melihat kondisi jamaah yang kalau sore hari sudah tampak loyo. “Jadi kita menggantinya pada Selasa pagi, dengan harapan jamaah mudah menerima pelajaran, karena pikiran masih segar,” tutur pria 73 tahun ini.

Di Majelis Taklim Riyadus Shalihin ini juga diajarkan pelajaran-pelajaran agama, seperti fiqih, tasawuf, hadits, aqidah, dan akhlaq. Selepas itu, pengajian taklim diisi oleh sang istri, mulai dari fiqih perempuan, tasawuf, hingga aqidah. Kitab-kitab yang diajarkan adalah Bidayatul Hidayah, An Nashoih Dinniyah, Sabilul Iftikaf, Muhawanah (tasawuf), Safinah Najah, Muqadamatul Hadramiyah, Taqrib (fiqih), dan lain-lain. Namun sekarang, khusus untuk kaum muslimah, setiap jam 09.00-12.00 diajarkan satu kitab pokok, yakni Riyadus Shalihin.

Selain itu, pada hari-hari tertentu juga diajarkan materi pelajaran yang beragam. Semua mata pelajaran dan ustadz yang mengajar telah terjadwal secara rutin tiap hari. Salah seorang ustadz yang mengajar di majelis taklim ini adalah Habib Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus, yang mengajar tiap Ahad pagi.

Menurut Habib Muhammad Al-Bagir, ia mengenyam pendidikan agama mulai dari pendidikan dasar di Pondok Darul Nasihin, yang dipimpin oleh Habib Muhammad bin Husein Baabud (Lawang, Malang), tahun 1940-an, dan kemudian memperdalam lagi dengan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih (Darul Hadits, Malang) tahun 1943. Selepas itu ia meneruskan belajar dengan Habib Alwi bin Salim Alaydrus (Malang) dan mendampinginya berdakwah keliling sampai ke pelosok-pelosok Malang.

Setelah Habib Alwi bin Salim Alaydrus wafat sekitar 1998, ia mulai membuka majelis taklim khusus kaum perempuan. Waktu itu materi yang diajarkan mulai dari pelajaran fiqih, tauhid dan tasawuf, akhlaq, dan lain-lain. “Kebetulan juga nama ayah saya Soleh, dan asal kita berjuang ini dimulai Riyadus Salehah (perempuan). Namun sempat terhenti. Setelah diganti menjadi Riyadus Shalihin dan bisa dipadukan lagi dengan kaum perempuan, sekarang bisa berkembang lebih maju lagi,” kata Habib Muhammad.

Walau majelis ini untuk kaum laki-laki dan perempuan, metode pendidikannya tetap dipisah. Kaum laki-laki diajar tersendiri oleh dewan ustadz, dan kaum perempuan oleh ustadzah.

Majelis Taklim Riyadus Shalihin diharapkan bisa berperan menggerakkan dakwah ke daerah-daerah terpencil. Sebab ustadz dan ustadzah sering diminta mengajar ke pelosok desa di Malang dan sekitarnya.

Diposkan oleh Majlis Arrahman


Al Habib Muhammad Al-Bagir Bin Alwi Bin Yahya

Pada dirinya bermuara banyak keberkahan. Dari berkah Habib Utsman Bin Yahya, Habib Alwi Al-Haddad Keramat Empang, Habib Umar Bin Hud Cipayung, hingga Habib Umar Bin Hafidz dan Habib Rizieq Syihab.


Bila malam Sabtu rutin melewati arah Petamburan, Jakarta Pusat, atau Gilisampeng Kebon Jeruk, Jakarta Barat, jangan kaget bila Anda sering mendapati umbul-umbul putih bertuliskan Majelis Warotsatul Musthofa dengan warna hijau cukup besar.

Majelis yang belum lama berdiri ini tampaknya sudah mendapat hati dari kaum muslimin. Ya, mereka ingin mengenal lebih banyak perihal majelis ini dengan menghadirinya dan mengenal siapakah sosok ulama dakwah yang menjadi sosok sentral di dalamnya.

Melalui penelusuran yang cukup lama, alKisah berkesempatan mewawancarai tokoh itu, di sela-sela padatnya aktivitas dakwahnya. Ternyata, ia seorang anak muda yang tampak kealiman dan akhlaqnya yang mulia pada dirinya. Benarlah kata Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Diwan-nya, “Al-‘Alimu kabirun wa in kana shaghiran wal jahilu shaghirun wa in kana syaikhan.” Yang artinya, seorang alim itu terlihat besar kewibawaannya meskipun muda belia usianya, sebaliknya orang bodoh itu terlihat kerdil sekalipun tua usianya.

Subhanallah, alKisah, yang selama ini sedikit banyak menyelami kitab-kitab Habib Utsman dan dulu sering mulazamah ke kediaman keluarganya, jadi “nyambung” saat bermuwajahah dengan tokoh muda ini.
Muara Keberkahan
Dai muda kelahiran Bogor, 19 Agustus 1988, ini adalah Habib Muhammad Al-Bagir bin Alwi Bin Yahya. Mengawali pembicaraan, ia menuturkan asal-usulnya:

“Abah ana adalah Habib Alwi bin Husein bin Muhammad bin Alwi bin Utsman bin Abdullah bin Agil bin Umar Bin Yahya asal Petamburan. Ana keturunan kelima dari Habib Utsman Bin Yahya Mufti Betawi. Sedangkan ibu ana Syarifah Rahmah, putri Al-Habib Ahmad bin Muhammad Alaydrus, yang dijuluki ‘Habib Ahmad Fakhr’ (fakhr berarti “kebanggaan” – Red.) asal Bogor.

Alhamdulillah, ana banyak mendapat keberkahan dan keberuntungan dari kedua kakek ana, yakni Habib Utsman dan Habib Ahmad Fakhr. Pertama, mendapat keberuntungan lahir di tempat tidur Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad Keramat Empang. Kamar khusus ini memang disediakan enjid (kakek) ana untuk Habib Alwi Al-Haddad, yang memang selalu ditempati beliau saat berkunjung ke rumah kakek ana, Habib Ahmad Fakhr. Jadi ada atsarnya di situ.

Satu keberuntungan lagi yang ana peroleh adalah ketika Ummi tengah mengandung ana. Beliau pergi ke kediaman Habib Umar Bin Hud Alatas, bertabarruk atas kehamilannya kepada Habib Umar.  Makanya, ummi ana mendapati ana punya wajah agak berbeda dari yang lain, lebih mancung, seperti hidung Habib Umar Bin Hud Alatas. Yang kedua, dari Habib Utsman.

Alhamdulillah segala sesuatunya menjadi amanah yang mulia yang patut ana emban sampai kapan pun.”

Ke Darul Mushthafa
Akhir 1999, saat usia 11 tahun, Habib Muhammad Al-Bagir, atau biasa disapa “Habib Bagir”, selulus dari SD, berangkat mondok ke Darun Nasyiin, Lawang, Jawa Timur, yang saat itu diasuh Habib Ali bin Muhammad Ba’bud.

Tak lama ia mondok, abahnya sakit. Dan, atas permintaan abahnya, akhirnya Habib Bagir kecil menyudahi nyantrinya di Lawang. Abahnya memintanya untuk sekolah di tempat yang terjangkau jaraknya oleh keluarga. “Ana ikuti keinginan orangtua, tapi ana hanya mau di pesantren, bukan sekolah umum,” katanya. 

Habib Bagir pun melanjutkan belajarnya ke Ma’had Darus Sa’adah Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hud Alatas, Cipayung, Bogor. Di antara guru-gurunya pada saat itu adalah Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa, Habib Quraisy Baharun, Habib Hamid Barakwan, Habib Muhammad Al-Baiti, yang kesemuanya adalah murid-murid senior Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz.

Selepas menempuh pendidikan selama dua tahun, pada tahun 2002, Habib Bagir berangkat ke Hadhramaut, untuk meneruskan pendidikan ke Darul Mushthafa. Alhamdulillah, semua berjalan dengan mudah atas izin Allah. Niat untuk belajar yang kuat menjadikan semuanya itu dimudahkan oleh Allah Ta’ala.

Tahun 2007, setelah bermukim selama lima tahun, Habib Bagir kembali ke tanah air. Sebetulnya ia masih berkeinginan belajar di sana, namun orangtua memintanya membantu aktivitas dakwah di Jakarta.
Kenangan saat di Darul Mushthafa begitu indah. Khidmah selama di sana terbukti keberkahannya. Benarlah kata sebuah syair:

Man khadama
qadama

Siapa yang mengabdi
akan maju

“Pada bulan Ramadhan, saya hanya membantu mencuci karpet, menyapu lantai dan halaman, membantu di dapur untuk menyediakan ta’jil, dan semua pekerjaan rumah tangga yang terkadang terlihat sepele. Namun, subhanallah, apa yang saya lakukan itu menurunkan keberkahan buat saya. Di Darul Mushthafa itu semuanya ilmu dan mengandung berkah yang besar. Guru Mulia sering mengunjungi dapur saat kami bekerja, dan beliau menebarkan senyum kepada kami. Sungguh, beliau seperti orangtua kepada anaknya, penuh kasih dan mengemong kami dengan ilmu dan akhlaq beliau,” kenangnya.

Kenangan lainnya yakni pergaulan dengan orang-orang Tarim. Sebelum masuk ke Darul Mushthafa, biasanya santri pemula mondok di Rubath Syihr, cabang Darul Mushthafa dan awal mula tempat berdirinya Darul Mushthafa sepulangnya Habib Umar belajar dari Baydha`. “Nah, orang-orang Arab di Syihr ini yang mengajari kami belajar bahasa Arab yang murni dan fasih, juga bahasa

Arab yang lazim dipakai di Tarim dan Yaman secara keseluruhan. Bahkan kami juga berkesempatan belajar bahasa Inggris dan Afrika, dari para kawan kami, murid-murid pemula Tuan Guru, yang berasal dari Amerika, Inggris, Australia, dan Afrika. Jadi menambah wawasan pergaulan kami.”

Alhamdulilah, di tanah air, ia masih diberi kesempatan untuk belajar lagi kepada beberapa ulama habaib, di antaranya Habib Umar bin Abdullah Alatas Berdikari Rawabelong dan Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab Petamburan. Di samping itu ia juga ikut serta aktif di majelis mudzakarah bersama Habib Jindan, Habib Ahmad, dan sejumlah ustadz lainnya, alumni Darul Mushthafa.
Warotsatul Musthofa
Sepulang dari Tarim, Habib Muhammad Al-Bagir punya tekad untuk memakmurkan kembali Masjid Jami' Al-Islam Petamburan, Jakarta Pusat, sebuah masjid peninggalan Habib Utsman Bin Yahya, buyutnya. Di masjid itulah untuk pertama kalinya ia menyampaikan khuthbah Jum’at dan mengajar ta’lim setiap Ahad malam.

Tiga tahun kemudian, berkah dari ilmu yang diperoleh, Habib Bagir mengajar di beberapa majelis, masjid, dan mushalla di beberapa wilayah, bahkan sampai ke Bogor.

Setelah berjalan sekian tahun, timbul keinginan dari dirinya untuk membangun sebuah majelis yang terorganisir yang menaungi sekian majelis yang diasuhnya. Tujuannya, agar bermanfaat lebih banyak bagi umat lewat satu payung majelis sehingga timbul kebersamaan.

Alhamdulillah, kemudian berdirilah majelis yang dinamakan “Warotsatul Musthofa”.

Kegiatan Warotsatul Musthofa berjalan dari majelis ke majelis, rumah ke rumah. Perlahan namun pasti, semuanya berkembang pada satu tujuan untuk mengajak jama’ah mempelajari Islam lebih baik lagi, mengenal dan mencintai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Betapa indahnya kalau melihat negeri ini makmur oleh majelis, diwarnai oleh muslimin dan muslimah yang hidup harmonis, yang mencintai Rasulullah SAW, menjalani syari’at beliau dalam segala bentuk aktivitas mereka.

Alhamdulillah, murid dan jama’ah antusias mengikutinya. Mereka berbondong-bondong berperan serta. Ada yang membawa sound system,  tenda. Ada yang mengurusi sablon, ada yang menyumbangkan keahlian berorganisasi. Semua terwadahi.

Dengan merendah Habib Muhammad Al-Bagir mengatakan bahwa dirinya hanya menjadi pendorong dan penasihat, sedangkan semua yang menjalaninya jama’ah dan murid-muridnya.

“Mereka ini punya semangat yang tinggi untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, yang mencintai majelis ini bukan hanya para orang tua, pemuda, dan remaja, tapi juga anak-anak kecil. Mereka ini suka datang ke rumah saya, mau minta bendera-bendera kecil. Yah, namanya anak-anak.... Semangat dan cinta mereka tumbuh karena fithrah yang Allah berikan, subhanallah.

Di samping itu, bilamana pengajian kita adakan, ada pembacaan tilawatul Qur’an, dan yang membaca itu anak kecil, sehingga ini menjadi daya tarik yang luar biasa buat siapa saja, bahwa penanaman aqidah dan syari’ah, penanaman mahabah kepada Rasulullah SAW, dilakukan sejak usia dini.”

Namun ia tekankan juga kepada jama’ah, “Ini bukan majelis sekadar rame-rame. Ini majelis yang harus tetap berada pada koridor Islam yang benar. Jama’ah laki-laki dan perempuan tidak diperkenankan campur baur, dan pembacaan Al-Qur’an dan Maulid harus disimak baik-baik, agar turun keberkahan dari Allah Ta’ala buat semua.”

Ia berharap, semoga jama’ahnya meneladani akhlaq Rasulullah SAW.

Tentang nama Warotsatul Musthofa, nama itu diperoleh lewat kontak bathin dengan gurunya, Tuan Guru Mulia Habib Umar Bin Hafidz. “Bisyarah ini saya peroleh dari Guru Mulia Al-Habib Umar Bin Hafidz saat beliau berkunjung ke Majelis Darul Mushthafa Petamburan beberapa tahun yang lalu,” kata habib muda keturunan kelima Habib Utsman ini.

Wilayah dakwah dengan bendera Warotsatul Musthofa yang telah berjalan selama empat tahun ini kini mencakup sebahagian besar wilayah Jakarta, terutama Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, sebahagian Jakarta Timur dan Selatan, hingga sampai ke Tangerang, Parung, serta Gunung Sindur di Bogor.

Kesan dan Pesan para Guru
Guru yang sangat dikagumi Habib Muhammad Al-Bagir di antaranya Habib Muhammad Rizieq Syihab. “Beliau guru pertama ana saat masih dalam usia belia dan beliau baru pulang belajar dari Arab Saudi,” ujarnya. Kemudian Habib Ali bin Muhammad Ba’bud (Lawang), Habib Munzir Al-Musawa dan Habib Quraisy Baharun (Darus Sa’adah Cipayung), Syaikh Obeid Balas’ad (Darul Mushthafa), almarhum Habib Umar bin Abdullah Alatas (......................), dan masih banyak lagi. Mereka ini benar-benar mengisi relung hatinya. Maka wajarlah, keberkahan selalu mengiringi habib muda ini.

Sedang guru yang sangat memotivasinya untuk terjun ke dunia dakwah yakni Tuan Guru Mulia Al-Habib Umar Bin Hafidz, yang cara mendidik dan mengajarnya sungguh luar biasa. Ia seperti orangtua kepada anaknya, penuh kasih dan mengemong murid-murid dengan ilmu dan akhlaqnya. “Bila saya mendapati suatu hal yang bikin saya jenuh atau terbersit sesuatu hal yang tidak mengenakkan bathin,  usai shalat berjama’ah lalu berkesempatan memandang wajah Guru Mulia, hilanglah semua permasalahan itu, tanpa berkeluh kesah atau curhat kepada beliau. Bahkan berganti dengan ketenangan bathin. Maka, bagaimana bila mendapati senyuman beliau. Subhanallah...,” kata Habib Bagir dengan mata berbinar
Begitu juga dengan gurunya sejak ia masih kecil dan masih bermulazamah dengannya hingga kini, yakni Habib Muhammad Rizieq Syihab. Habib Rizieq selalu menekankan pesan dan kesan yang dalam, baik saat ia hendak berangkat ke Tarim maupun hingga sekembalinya ke tanah air, dan mengaji lagi kepadanya, “Jangan pernah berhenti berjuang untuk berdakwah, istiqamah dalam mengingatkan kebaikan dan kebenaran kepada orang lain.”

Lalu ia menambahkan, “Pesan beliau yang sangat ana pegang adalah, ‘Jangan berbicara dengan niat orang mau dan harus mendengarkan pembicaraan kita. Katakan, yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil. Jangan meminta sesuatu kepada orang. Jangan mengandalkan keindahan retorika atau ceramah yang bagus, yang hanya membuat orang senang tapi tidak menyentuh hati orang yang didakwahi, apalagi menimbulkan akhlaq yang tidak bagus. Yang terpenting adalah menjaga akhlaq’.”

Begitupun dengan sang ayah. Ada pesan dari ayahnya yang hingga hari ini terus dijaga. “Saya ingat, waktu itu saya sedang membenahi pakaian ke dalam koper saya saat detik-detik keberangkatan dari rumah menuju bandar udara, untuk berangkat belajar ke Tarim. Abah sambil memandangi saya berkata, ‘Ya Muhammad Al-Bagir, nanti sepulang belajar dari Tarim jangan bawa pulang apa pun. Satu saja yang dibawa pulang: akhlaq! Abah cuma berharap satu hal itu. Kitab-kitab boleh dibawa pulang. Pakaian tinggalkan saja, kasih buat orang-orang di sana.’ Pesan itulah yang terus saya pegang hingga kini,” demikian Habib Bagir mengenang.

Ya, baginya, akhlaqlah yang pokok, tonggak amal dan mu’amalah kepada siapa pun. Tidak memandang status seseorang, apalagi ukuran-ukuran duniawi. Bahkan seorang yang dikatakan alim pun dapat tergelincir dalam hal ini.

Ia menuturkan, “Seorang jama’ah ana punya kakak cacat seumur hidup. Sering kali ia menanyakan diri ana kepada adiknya yang ikut majelis ana. Pengin ketemu, katanya. Walhasil, ana yang pengin datang ketemu kakaknya. Subhanallah, ia nggak menyangka malah ana yang datang, dan ia terharu.

Ana memang selalu berupaya agar ana bergaul dengan akhlaq yang mulia, seperti yang dipesankan Abah dan guru-guru ana.”

Meneladani Akhlaq Rasulullah
Ketika alKisah menanyakan ihwal cita-cita, Habib Muhammad Al-Bagir mengatakan, cita-citanya bukan seperti cita-cita kebanyakan orang, yang pada umumnya untuk urusan pribadi. Ia bercita-cita ingin jama’ahnya dan umat ini punya akhlaq seperti akhlaq Rasulullah SAW dan berjalan pada jalan yang diridhai Allah Ta’ala.

Cita-cita lainnya, ia berharap, lewat Majelis Warotsatul Musthofa, kelak ia bisa membangun pesantren, lembaga-lembaga sosial, sehingga ada wadah buat orang-orang susah yang belum berkesempatan menimba ilmu. Sesuai namanya, Warotsatul Musthofa, yang berarti “warisan Baginda Nabi Muhammad SAW”, tidak mewariskan dinar ataupun dirham, melainkan mewariskan ilmu. Dan warisan itu bukan hanya hak dzurriyyahnya, tapi juga seluruh umatnya. “Mudah-mudahan ada jalan untuk niatan baik ini lewat orang-orang yang baik, amin...,” katanya penuh harap.

Habib Bagir juga ada niat untuk menulis, di antara kesibukan mengajar dan berdakwah. Sebahagian dari fawaid (catatan atas syarah ilmu yang disampaikan guru-guru secara lisan) dan apa yang terbetik di hati, sejauh ini sudah banyak dirangkumnya. Namun langkah konkret yang kini tengah difokuskannya adalah mengumpulkan dan menginventarisir karya-karya kakeknya, Habib Utsman bin Abdullah Bin Yahya, yang termasyhur sebagai mufti Betawi dan penulis kitab yang sangat produktif.

Ada kurang lebih 160 buah karya Habib Utsman yang ada di berbagai negeri dan daerah. Di Hadhramaut sendiri, Habib Bagir mendapatinya di perpustakaan Habib Abdullah bin Husein Bin Thahir, seorang ulama penulis kenamaan. Begitu pun dari beberapa ulama atau kiai Betawi di Jakarta, ada beberapa karya Habib Utsman yang dikoleksi para kiai ini dalam bentuk cetakan lama. Sedangkan yang di Belanda, ada di perpustakaan Universitas Leiden.

Habib Bagir ingin agar jama’ah dan umat bisa menggali karya-karya Habib Utsman ini dan memahaminya kembali. Dengan cara, ia mempermudah bahasanya dari bahasa Melayu lama, atau menerjemahkan yang berbahasa Arab.

Untuk saat ini, ia mengajarkan kitab Sifat Dua Puluh dalam majelis-majelis yang diadakan Warotsatul Musthofa. Ternyata, sambutannya luar biasa. Dari para kiai dan habaib, Habib Bagir terus mendapat dorongan untuk mensyiarkan kembali turats (karya) Habib Utsman.
“Habib Ali Bin Sahil, orangtua dan juga guru ana berkata kepada ana, ‘Kitab enjid (yakni Habib Utsman) mesti kita hidupkan lagi, ya Muhammad Al-Bagir...’. Begitu pun saat di Hadhramaut, ada seorang kakek ana yang juga ulama di sana, cicit langsung Habib Utsman, Habib Ali bin Muhammad Alaydrus, yang ana mengaji kepadanya setiap Kamis, berpesan, ‘Kalau bukan kita yang membaca karangan-karangan Habib Utsman, siapa lagi?’ Inilah kewajiban yang harus kita tunaikan dari para orangtua kita,” katanya penuh semangat.

Alhamdulillah, para keturunan Habib Utsman yang lainnya bahu-membahu untuk menghidupkan atsar (peninggalan) dan turats (karya)-nya. Ada Habib Ahyad Banahsan di Ma’had Al-‘Abidin Jakarta Timur dan cucu langsung Habib Utsman, yakni Habib Abdullah bin Yahya bin Utsman Bin Yahya, di Sudimara, Jombang, yang menghidupkan pembacaan kitab-kitab Habib Utsman di majelisnya, serta masih banyak lagi para keturunannya. Bahkan banyak juga majelis-majelis yang diasuh kalangan kiai dan asatidz Betawi yang dalam majelisnya menggunakan kitab-kitab karya Habib Utsman. Inilah mudah-mudahan bentuk penghargaan atas keilmuan Habib Utsman dan buah amalnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahun Baru Hijriyyah
Menutup wawancara dengan habib muda yang murah senyum ini, ia menyampaikan pesan tentang Tahun Baru Hijriyyah yang akan kita lalui sesaat lagi. Hendaknya kita mengenang hijrahnya Nabi SAW dan para sahabat dan mengambil ibrahnya. Mari berhijrah dari keadaan yang tidak diridhai Allah menuju keridhaan-Nya. Menjadikan hari-hari kita ke depan kepada hal yang lebih baik lagi, sebagaimana Baginda Nabi SAW menjadikan hari-hari dalam kehidupannya dalam keadaan yang suci dan baik.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Al-yawm ‘id, bukrah ‘id, ams ‘id, kullu yawmin la na’shi wa la dzanba fihi fahuwa ‘id.” Yang artinya, hari ini adalah hari raya, besok hari raya, bahkan kemarin juga hari raya. Setiap hari yang tidak kita isi dengan kemaksiatan dan dosa, itu adalah hari raya. Maka dari itu, mudah-mudahan, membuka lembaran baru di Tahun Baru Hijriyyah ini, kita semua selalu memperbaharui hidup dalam keadaan yang diridhai Allah SWT. Amin.

Diposkan oleh Abu Yazid Bustomi
http://majelisan.blogspot.com/2012/09/ringkasan-biografi-al-habib-muhammad-al.html

Al Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya

Al Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Ba’Alawy Pekalongan, Ketua Jam'iyyah Ahlut Tariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMN), organisasi di bawah NU yang mengkoordinasi jemaah tarekat Mu'tabarah.
Seorang muslim agar mendapatkan keselamatan Insya ALLAH, di dalam agama, dunia dan akhirat haruslah memegang teguh beberapa prinsip ini.
Pegang teguh teladan salaf shalihin
Baik itu thariqah-nya, akhlaknya, amal salehnya. Pegang teguh dan kuat mantap, walaupun kamu sampai sulit dan kere (sangat miskin) tetaplah teguh memegang teladan Salaf Shalihin. Gigit kuat dengan gerahammu, jangan dilepas jika kamu ingin selamat dan mendapat ridho-Nya. Jadikanlah keimanan sebagai Imam bukan akal yang menjadi ujung tombaknya. Hati-hati di akhir jaman ini, akan dan sudah banyak muncul paham dan orang-orang yang lebih mengedepankan akal-rasio-logika dibandingkan imannya. Seharusnya Iman menjadi imamnya, akal & logika menjadi makmumnya, mengikuti iman. Tinggalkan pendapat orang-orang yang mengedapankan akalnya dibanding imannya. Percuma dan sia-sia waktumu jika menanggapi orang-orang yang demikian, kamu akan rugi dunia akhirat. Karena bagaimana mungkin akal manusia bisa menerima seluruh kebesaran khazanah kerajaan Allah SWT, hanya keimanan yang dapat menerima kebesaran AllahSWT. Ziarah shalihin.
Baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup, dan kuatkan tali ikatan silaturahim. Berziarah (mengunjungi) kaum shalihin jangan hanya ketika ada maunya, kalau ada perlunya saja. Hal itu baik tidak terlarang, tetapi kurang kemanfaatannya untuk jangka panjang. Hanya untuk kebutuhan-manfaat sesaat belaka, sungguh sangat disayangkan. Tetapi alangkah baiknya kita berziarah sholihin itu karena mahabbah ilaa mahbub, kecintaan kepada yang dicintai. Kalau hal ini dijalin dengan baik maka ia akan mendapat limpahan madad (pertolongan), sirr asrar (rahasia) dan jaah (essence, intisari) dari ziarahnya. Dan sering silaturahmi itu menimbulkan kecintaan dan keridhoan Allah SWT kepada orang yang menjalin hubungan silaturahmi, sehingga rahmat dan berkah serta maghfirah Allah SWT terlimpah kepadanya. Jauh dari bala’, musibah, penyakit dan diberi kelancaran rezeki. Insya Allah.

Diposkan oleh Majlis Arrahman