Senin, 02 Desember 2013

FARDHU-FARDHU WUDHU

NiatNiat yaitu tujuan untuk berbuat (melakukan) dengan motivasi (dorongan) untuk mengikuti perintah-perintah Allah. Para ulama mazhab sepakat bahwa niat itu termasuk salah satu fardhu dalam wudhu dan tempatnya pada waktu melaksanakan wudhu itu. Hanafi: Sahnya shalat tidak hanya tergantung pada wudhu dan niat; maka seandainya ada seorang yang mandi dengan tujuan hanya untuk mendinginkan badannya atau untuk membersihkannya, kemudian membasahi semua anggota wudhu, lalu ia shalat, maka shalatnya adalah sah, karena tujuan final dari wudhu itu adalah suci, sedangkan kesucian dengan mandi tersebut telah tercapai, lianya Hanafi mengecualikan sesuatu yang bercampur dengan sisa-sisa keledai atau anggur yang tcrbuat dari kurma. Dalam masalah ini mereka (Hanafi) menegaskan dengan wajibnya niat. (Ibnu Abidin, Jilid I, halaman 76). Membasuh MukaYang dimaksud dengan membasuh muka adalah mengalirkan air pada muka. la wajib cukup satu kali saja. Batasnya dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung dagu.  Syafi’i: Juga wajib membasahi sesuatu yang di bawah dagu.  Imamiyah dan Maliki: Batasnya seluas ibu jari dan telunjuk.  Mazhab-mazhab yang lain: Batas membasuh muka itu dari anak kuping kiri ke anak kuping kanan.  Empat maz­hab: Kewajibannya itu hanya membasuh muka, sedangkan memulai dari atas itu adalah lebih utama. Membasuh Dua TanganKaum Muslimin sepakat bahwa membasuh dua tangan sarnpai dua siku-sikunya satu kali adalah wajib. Imamiyah: Wajib memulainya dari dua siku-siku dan batal bila sebaliknya, sebagairnana Imamiyah mewajibkan mendahulukan ta­ngan yang kanan dari tangan yang kiri.  Mazhab-mazhab yang lain:Yang wajib itu adalah membasuhnya, sedangkan mendahulukan tangan yang kanan dan memulai dari jari jemari adalah lebih utarna. Mengusap KepalaHambali: Wajib mengusap semua kepala dan dua telinga. Sedang­kan mandi, menurut Hambali adalah cukup sebagai pengganti dari mengusap, dengan syarat melewatkan kedua tangannya di atas kepala.  Maliki; Wajib mengusap semua kepala tanpa telinga.  Hanafi: Wajib mengusap seperempat kepala, tetapi cukup dengan memasukkan kepala ke dalam air atau menuangkan air di atas kepalanya. Syafi’i: Wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan membasahi atau menyiram sebagai pengganti dari mengusap. Imamiyah: Wajib mengusap sebagian dari depan kepala, dan cu­kup dengan sangat sedikit sepanjang bisa dinamakan mengusap ke­pala, tetapi tidak boleh membasahi dan tidak boleh pula menyiraminya, sebagaimana Imamiyah mewajibkan mengusapnya dengan basahan wudhu, dan jika digunakan air baru serta mengusap dengannya, maka wudhunya batal.  Empat mazhab: Wajib mengusap dengan air baru. (Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah,jilid I, dalam bab mashurra’si, dan juga di Tadzkirah, ‘Allamah Al-Hilli). Kalau mengusap surban, maka Hambali telah membolehkannya, dengan sebagian surban itu berada di bawah dagu. Hanafi, Syafi’i dan Maliki: boleh kalau ada udzur, tetapi bila tidak, tidak boleh. Imamiyah: Tidak boleh mengusap surban, berdasarkan firman Allah:  “Dan usaplah kepala-kepala kalian”. Sedangkan surban tidak bisa dinamakan kepala. DuaKaki Empat mazhab: Wajib membasuhnya sampai mata kaki satu kali.  Imamiyah: Wajib mengusapnya dari ujung jari-jemari sampai pada mata kaki. Kesepakatan ulama mazhab: Boleh mendahulukan yang kanan dari yang kiri. Perbedaan apakah mengusap atau membasuh dua kaki itu sebenarnya bersumber dari pemahaman ayat 6 surat Al-Maidah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menegakkan shalat, maka basuhlah muka-muka kamu, kedua langan kamu sampai siku-siku, dan usaplah kepala-kepala kamu dan kaki kamu sampai dua mata kakinya”. Kata arjul ada yang membaca dengan kasrah, yaitu arjulikum, dan ada yang membacanya dengan fathah, yaitu arjulakum. Maka orang yang berpendapat dengan cukup mengusap berarti menjadikan kata arjul itu athaf kembali pada kata ru ‘us sekaligus membacanya kasrah, dan kedudukan nashabnya fil mahalli (berada di tempat), karena setiap yang dikasrahkan lafadznya ia di-nashab-kan (di-fathah-kan) pada mahal (tempat). Dan orang berpendapat dengan membasuh, ia mengatakan bahwa arjul itu di-nashab-kan (di-fathah-kan) dengan menjadikannya athaf kembali pada kata aidiya. Silahkan membaca Tafsir Ar-Razi. Empat mazhab: Boleh mengusap sepatu dan kaos kaki sebagai pengganti dari membasuh dua kaki.  Imamiyah: Tidak boleh, berdasarkan perkataan Imam Ali salâmullâhi ‘alaihi:  “Saya tidak mengamalkan, apakah saya mengusap dua khuf (sepatu) atau punggung unta di padang Sahara”. TertibTertib ini berdasarkan keterangan ayat, yaitu: Dimulai dari muka, lalu dua tangan, lalu kepala, lalu dua kaki. la wajib sekaligus syarat sahnya wudhu, menurut Imamiyah, Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki: Tidak wajib tertib, dan boleh dimulai dari dua kaki dan berakhir di muka.  MuwalatYaitu berurutan antara membasuh anggota-anggota wudhu dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu pindah (melakukan) pada anggota selanjutnya dengan segera. Imamiyah dan Hambali: Wajib muwalat, hanya Imamiyah mensyaratkan tidak sampai kering anggota yang dibasuh itu sebelum melanjutkan anggota sesudahnya. Kalau sampai kering anggota wudhu itu, maka batallah wudhunya, dan berarti wajib memulai lagi. Hanafi dan Syafi’i: Tidak wajib muwalat, hanya dimakruhkan memisahkan dalam membasuh antar anggota-anggota wudhu itu kalau tidak udzur, bila ada udzur, maka hilanglah kemakruhan itu. Maliki: Muwalat itu diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu dalam keadaan sadar, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia tidak sadar, sebagaimana kalau ia menuangkan air yang dianggapnya untuk wudhu, maka kalau ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh dua tangannya, atau air yang akan dipergunakan untuk wudhu itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya berarti ia telah melakukan sesuatu yang dibangun di atas keyakinannya, sekalipun telah lama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar