Senin, 02 Desember 2013

Ahmad ibnu Harb an-Naisyaburi

adalah seorang sufi terkemuka dari Nisyabur, seorang ahli hadits yang handal, dan seorang pejuang di sejumlah perang suci. Ia datang ke Baghhdad pada masa Ahmad bin Hambal dan mengajar di sana. Ia wafat pada 234 H / 849 M dalam usia 85 tahun.

Ia bertetangga dengan seorang Zoroastrian yang bernama Bahram. Bahram mengirim seorang untuk melakukan perjalanan dagang. Di tengah perjalanan, seluruh barang milik Bahram dibawa lari para pencuri.

Saat Ahmad mendengar berita pencurian itu, ia berkata pada muridnya, “Bangkitlah, musibah telah menimpa tetangga kita. Mari kita ke rumahnya dan menyatakan ikut berduka, walaupun ia seorang Zoroastrian, namun ia tetap tetangga kita.”

Ketika mereka tiba di depan pintu rumah Bahram, si tuan rumah nampak sedang menyalakan api sesembahannya. Bahram berlari menyambut mereka dan mencium tangan Ahmad. Bahram berpikir mungkin mereka lapar. Walaupun saat itu roti sulit di dapat, Bahram menyuguhkan roti di atas meja untuk mereka.

“Tidak usah repot-repot,” kata Ahmad, “Kami datang untuk menyatakan rasa simpati kami. Aku dengar barang-barangmu telah dicuri.”

Bahram berkata, “Ya, benar, tapi aku punya tiga alasan untuk tetap bersyukur pada Tuhan. Pertama, mereka mencuri milikku, bukan milik orang lain. Kedua, mereka hanya mengambil separuh. Ketiga, bahkan sekalipun seluruh harta benda duniawiku hilang, aku masih memiliki agamaku, dunia itu memang datang dan pergi.”

Kata-kata Bahram itu membuat Ahmad senang. Ia berkata pada muridnya, “Catat itu, hawa Islam keluar dari kata-kata ini.” Kemudian sambil menatap Bahram, ia menambahkan, “Mengapa engkau menyembah api ini?”

“Agar ia tidak membakarku,” jawab Bahram. “Kedua karena di dunia ini aku telah memberinya begitu banyak bahan bakar, di hari kemudian ia tidak akan mengkhianatiku dan akan menghantarkanku kepada Tuhan.”

“Engkau telah melakukan sebuah kesalahan besar,” komentar Ahmad. “Api itu lemah, bodoh dan khianat. Semua anggapanmu tentangnya adalah salah. Jika seorang bocah menyiramkan sedikit air padanya, maka ia akan padam. Sesuatu yang selemah itu bagaimana mungkin bisa menghantarkanmu kepada Dia Yang Begitu Perkasa? Sesuatu yang tak berdaya menghadapi sedikit tanah, bagaimana mungkin bisa menghantarkanmu kepada Tuhan? Selain itu, untuk membuktikan bahwa ia bodoh, jika engkau menaburkan kasturi dan sampah di atasnya, maka ia akan membakar keduanya. Ia tidak bisa membedakan mana yang lebih baik. Ia tidak bisa membedakan sampah dengan kasturi. Lalu, engkau telah tujuh puluh tahun menyembahnya, dan aku tidak pernah menyembahnya. Mari kita taruh tangan kita di api ini, dan engkau akan melihat bahwa api ini akan membakar tangan kita berdua. Ia tidak akan setia padamu.”

Kata-kata Ahmad ini begitu menyengat hati Bahram.

“Aku akan mengajukan empat pertanyaan padamu,” kata Bahram, “Jika engkau mampu menjawab keempatnya, aku akan menerima agamamu. Jawablah, mengapa Tuhan menciptakan manusia? Dan setelah menciptakan mereka, mengapa Tuhan memenuhi kebutuhan mereka? Mengapa Tuhan mematikan mereka? Dan setelah mematikan mereka, mengapa Tuhan menghidupkan mereka kembali?”

“Allah menciptakan manusia untuk menjadi hamba-Nya, untuk beribadah kepada-Nya,” jawab Ahmad. Dia memenuhi kebutuhan mereka agar mereka mengenal-Nya sebagai Yang Maha Memenuhi Kebutuhan. Dia mematikan mereka agar mereka mengatahui kekuatan-Nya yang Maha Meliputi segala sesuatu. Dia menghidupkan mereka kembali agar mereka tahu Tuhan Maha Kuasa dan Maha Tahu.”

Segera setelah Ahmad menyelesaikan kalimatnya, Bahram mengucapkan dua kalimat syahadat. “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.”

Tiba-tiba Ahmad memekik dengan keras dan jatuh pingsan. Selang beberapa lama, ia kembali siuman.

“Apa yang membuat Anda jatuh pingsan?” Tanya para muridnya.

“Saat Bahram bersyahadat,” jawab Ahmad, “Sebuah suara memanggilku dari dalam relung batinku. “Ahmad,” kata suara itu, “Bahram telah menjadi penganut Zoroastrian selama tujuh puluh tahun, namun akhirnya ia beriman, engkau telah menghabiskan tujuh puluh tahun dalam keimanan, sekarang di penghujungnya, apa capaianmu?”

 ***

Ada dua Ahmad yang sama-sama tinggal di Nisyabur, yang satu bernama Ahmad ibnu Harb dan yang lainnya dijuluki Ahmad sang saudagar.

Ahmad ibnu Harb adalah seorang yang selalu sibuk berdzikir kepada Allah, sampai-sampai ketika seorang tukang cukur hendak mencukur kumisnya, mulutnya tetap saja berkomat-komit.

“Tetaplah tenang saat aku mencukur kumismu,” kata si tukang cukur.

“Uruslah urusan-urusanmu sendiri,” jawab Ahmad ibnu Harb.

Dan setiap kali si tukang cukur mencukur kumisnya, sebagian bibirnya terluka.

Pada suatu kesempatan, ia menerima sepucuk surat, dan selama beberapa berniat untuk membalasnya, namun ia tidak memiliki waktu luang.

Kemudian di suatu hari, seorang muadzin mengumandangkan azan. Saat itu ia berkata, “Inilah saatnya untuk membalas surat sahabatku. Katakana padanya agar jangan lagi menyuratiku, karena aku tidak memiliki waktu luang untuk membalasnya. “Tulislah, sibukkan dirimu dengan Allah, selamat berpisah.”

Sementar Ahmad sang saudagar, ia begitu sibuk dengan cintanya kepada hal-hal duniawi. Suatu hari, ia memerintahkan pelayannya untuk membawakan makanan. Si pelayan menyiapkan makanan dan menghidangkannya di hadapan Ahmad. Namun Ahmad tetap saja larut dalam hitung-hitungan bisnisnya hingga larut malam dan ia pun tertidur.

Ketika ia bangun di pagi harinya, ia memanggil pelayannya, “Engkau tidak menyiapkan makanan yang aku perintahkan.”

“Aku sudah menyiapkannya, tapi tuan begitu sibuk dengan perhitungan-perhitungan bisnis tuan,” kata si pelayan.

Si pelayan memasak makanan untuk kedua kalinya dan menghidangkannya di hadapan tuannya, namun lagi-lagi Ahmad tidak punya waktu untuk menyantap makanan itu. Untuk ketiga kalinya, si pelayan menyiapkan makanan untuk Ahmad dan masih saja ia tidak sempat untuk menikmatinya. Akhirnya si pelayan masuk k eruangan Ahmad, lalu menyuapkan sejumlah makanan ke mulutnya.

Kemudian, Ahmad sang saudagar pun terbangun. “Ambilkan baskom,” perintahnya mengira bahwa ia telah makan.

***

Ahmad ibnu Harb memiliki seorang anak laki-laki yang ia latih untuk percaya kepada Allah.

“Kapan saja engkau menginginkan makanan atau apapun,” kata Ahmad kepada anaknya, “Pergilah ke jendela itu dan katakan, “Ya Allah, aku butuh makanan.”

Setiap kali anak itu pergi ke jendela itu, Ahmad dan istrinya menaruh apapun keinginan anak mereka di sana.

Suatu hari, mereka keluar rumah. Anak mereka yang ditinggal sendirian itu mulai merasakan lapar. Seperti biasa, ia pergi kejendela dan berdoa, “Ya Allah, aku butuh makanan.”

Seketika itu makanan terhidang di dekat jendela itu.

Kemudian, Ahmad dan istrinya pun pulang, dan mereka menemukan anak mereka sedang duduk menikmati makanan.

“Dari mana engkau mendapatkan makanan itu?” Tanya mereka.

“Dari Dia yang memberiku setiap hari,” jawab si anak.

Maka mereka pun mengerti bahwa anak mereka telah sampai di jalan tauhid.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar