Sabtu, 09 November 2013

Habib Muhammad bin Abdullah Al-Junaid

Antara Islam dan Kaum Muslimin
Jawaban bijak Habib Umar itu bagai air sejuk yang membasahi kerongkongannya yang tengah dahaga di tengah padang sahara. Jawaban itu pula yang seakan menjadi titik awal dari fase baru dalam kehidupannya.

Gagasan sang Guru Mulia Habib Umar Bin Hafidz beberapa tahun silam untuk membentuk sebuah wadah bersama bagi para ulama agar dapat duduk bersama dalam mengatasi berbagai problematik umat mendapat sambutan hangat di berbagai tempat. Kini, Majelis Muwasholah Antar Ulama Mus­limin, nama lembaga yang mewadahi para ulama tersebut, telah memasuki ta­hun kelima. Meski masih seumur jagung, lembaga tersebut sedemikian cepat me­lesat dan memiliki gaung yang besar, baik di Nusantara maupun mancanegara.
Sebagaimana yang pernah disampai­kan Habib Umar sendiri, lembaga ini di­harapkan dapat mengorganisir semua unsur yang terkait untuk kepentingan umat dengan didasari kerangka dan lan­dasan agama yang lurus dan terbuka tan­pa sikap fanatisme berlebihan atau hal yang membingungkan umat agar semua usaha dakwah dari semua unsur dapat lebih tercurahkan untuk kebutuhan yang ter­penting bagi umat dalam menjaga te­gaknya persatuan dan kebersamaan de­ngan mendahulukan sikap lentur dan meng­hargai yang lain. Karena, memang, Islam bukanlah agama yang sempit.
Mensinergikan berbagai unsur umat yang terkait dalam lembaga ini tentu bu­kan perkara yang mudah. Di sini berkum­pul para ulama yang datang dari berbagai latar belakang. Perlu kesungguhan yang ekstra keras, di samping pengalaman yang teruji dan wawasan yang luas bagi para penggiatnya agar kesemua unsur potensial itu dapat secara maksimal sa­ling bersinergi. Amanah berat tersebut kini terutama diemban Habib Muhammad bin Abdullah Al-Junaid, yang duduk se­bagai mudir (direktur) Majelis Muwa­sho­lah Antar Ulama Muslimin.

Menguasai Empat Bahasa
Terlahir pada tahun 1965 di Hadhra­maut, Habib Muhammad melewati masa kecil yang kurang beruntung. Saat mema­suki usia bersekolah, negerinya kala itu tengah dalam cengkeraman penguasa komunis, yang sangat membatasi ruang gerak para ulama. Rubath-rubath (lem­baga-lembaga pendidikan agama) di kota Tarim maupun kota-kota lainnya di Hadh­ramaut tak boleh beraktivitas.
Akibatnya, ia pun melewati pendi­dik­an dari masa kecil hingga remajanya ha­nya di madrasah umum di kota kelahir­an­nya itu. Bahkan selepas pendidikan se­tingkat SLTA, ia sempat ikut pelatihan wa­jib militer selama tiga tahun. Di sela-sela waktunya, bila situasinya memungkinkan, ia menyempatkan diri menghadiri majelis ilmu di tempat Habib Masyhur Bin Hafidz, kakanda Habib Umar Bin Hafidz.
Langkah kaki Habib Muhammad be­rikutnya mengantarkannya hingga sam­pai ke Ukraina. Di sana, selama enam ta­hun, ia menjadi mahasiswa di negeri yang saat itu menjadi salah satu negara bagian Uni Soviet itu. Ilmu kimia, itulah jurusan yang dipilihnya hingga ia lulus dan menggondol gelar sarjana sebagai se­orang insinyur ilmu kimia.
Selepas pendidikan di Ukraina, tahun 1993, ia kembali ke tanah kelahirannya dan mengabdikan diri sebagai salah se­orang tenaga pengajar pada sebuah insti­tusi pendidikan di sana. Tentunya, dalam bi­dang studi yang telah digelutinya sela­ma bertahun-tahun di Ukraina, yaitu ilmu kimia. Saat itu negerinya, Yaman Selatan, telah bersatu dengan Yaman Utara, dan hingga kini gabungan dua negara menye­but negara mereka sebagai Republik Yaman.
Kesungguhannya dalam belajar dan perjalanan hidupnya yang akrab dengan dunia akademis membuatnya memiliki kemampuan berbagai bahasa dunia se­cara aktif. Setidaknya, selain bahasa Arab tentunya, ia menguasai dengan baik ba­hasa Inggris, bahasa Rusia, dan bahasa Spanyol. Karena saat ini ia sering bolak-balik Hadhramaut-Jakarta dan kemudian memiliki banyak aktivitas di sini, yaitu da­lam kapasitasnya sebagai mudir di Maje­lis Muwasholah Antar Ulama Muslimin, tak mustahil bila ke depannya ia dapat pula berkomunikasi dalam bahasa Indo­nesia.

Mematikan Hati?
Selain bekerja sebagai seorang peng­ajar, ternyata Habib Muhammad adalah seorang pebisnis. Di negerinya sana, dulu, ia memiliki usaha sampingan, yaitu membuka sebuah toko yang menjual per­lengkapan suvenir khas Yaman. Sehari-hari, tokonya banyak dikunjungi turis man­canegara yang ingin membawa oleh-oleh suvenir setelah berkunjung ke Ya­man.
Saat itu, yaitu ketika ia mempunyai usaha toko suvenir itu, sesekali ia men­dengar ceramah agama yang disampai­kan beberapa pendakwah di sana. Na­mun hatinya terkadang bimbang dengan perkataan beberapa dai yang didengar­nya pernah menyatakan bahwa sering ber­interaksi dengan orang-orang kafir itu dapat mematikan hati.
Bagaimana tidak bimbang, ia memiliki usaha toko suvenir yang pelanggannya terbanyak adalah kalangan turis manca­negara, yang notabene non-muslim. Lalu, agar ia tak sampai memiliki hati yang mati, apakah ia harus menutup usaha toko su­venirnya itu?
Dalam kebimbangan hati yang ia alami, suatu ketika ia menghadiri sebuah majelis ilmu yang diisi oleh Habib Umar Bin Hafidz. Saat itu kebimbangan hati yang tengah melandanya tampak jelas dari raut wajahnya. Rupanya, Habib Umar memperhatikan hal itu.
Usai majelis, saat berdekatan de­ngan­nya, Habib Umar pun mengatakan kepadanya bahwa sejak tadi sepertinya ia sedang bingung memikirkan sesuatu. ”Ada apa gerangan?” tanya Habib Umar kepada Habib Muhammad.
Habib Muhammad pun mencurahkan isi hatinya saat itu. Ia menuturkan, ia te­ngah dilanda kebimbangan hati. Di satu sisi ia memiliki usaha yang konsekuen­si­nya ia harus sering-sering berinteraksi de­ngan para turis dari Eropa dan berbagai belahan dunia lainnya yang kebanyakan mereka adalah non-muslim, sementara pada sisi lain ia juga mendengar bahwa sering berinteraksi dengan orang-orang kafir dapat mematikan hati. ”Ya Habib...,” ia pun bertanya kepada Habib Umar, ”...apakah saya harus menutup usaha toko suvenir saya ini?”

Fase Baru Kehidupannya
Habib Umar tersenyum. Ia mencoba memahami kebimbangan hati Habib Mu­hammad sekaligus mencoba menenang­kan hatinya. Sejurus kemudian Habib Umar berkata, ”Perkataan itu adalah bagi kebanyakan awam, bukan dalam konteks umum yang membuat setiap kita dapat di­kenai perkataan itu. Bagi orang awam, yang tidak memiliki bekal agama yang cu­kup, sering berinteraksi dengan orang ka­fir dapat membawa alam berpikir mereka kepada pola pikir yang mengakrabi keka­firan, mengingkari ajaran syari’at. Itu artinya membuat hati mereka menjadi mati.
Sedangkan bagi kita, yang telah da­pat mengetahui dan meyakini hakikat ke­benaran agama ini, berinteraksi dengan mereka tidak menjadi masalah. Bahkan, semestinya kita memandang setiap pi­hak, termasuk orang-orang kafir itu, seba­gai lahan dakwah bagi kita. Di situlah pe­luang kita untuk dapat berdakwah terha­dap mereka, setidaknya dengan menun­jukkan akhlaq mulia kita sebagai muslim.”
Jawaban bijak Habib Umar itu bagai air sejuk yang membasahi kerongkong­annya yang tengah dahaga di tengah pa­dang sahara. Jawaban itu pula yang se­akan menjadi titik awal dari fase baru da­lam kehidupannya.
Dalam kesempatan itu pula, Habib Umar menghadiahinya buku-buku ka­rangan Syaikh Nuh Hamim Keller, se­orang mualaf asal Amerika yang menjadi seorang ulama besar dan terkenal. Tak tanggung-tanggung, saat itu ia sampai menerima 27 naskah karya Syaikh Nuh Hamim Keller. Di dalam buku tersebut, ba­nyak hal yang ia dapat, seperti keyakin­an terhadap kebenaran
 ajaran agama suci ini hingga hal-hal yang dapat mem­bawa inspirasi dakwah dalam kehidupan setiap insan muslim.
Keluar dari majelis Habib Umar itu, di dadanya tumbuh bergumpal-gumpal se­mangat dakwah yang kian hari kian mem­besar, menguat, dan menggelora. Ada tekad yang membara di hatinya saat itu. Ya, tekad dakwah, di mana pun dan ka­pan pun. Sejak itu, ia pun bertekad untuk berada dalam barisan dakwah bersama sang guru mulia, Habib Umar Bin Hafidz. Sejak itu pula, ia semakin intens terlibat dalam setiap majelis dan kegiatan dak­wah yang digerakkan Habib Umar.
Tak seberapa lama, ia pun sampai menyewa sebuah gedung untuk dijadikan tempat baginya dalam membantu gerak langkah dakwah sang guru, di antaranya de­ngan menerbitkan sejumlah media dak­wah yang dapat beredar di tengah masyarakat.
Allah SWT telah mentaqdirkannya se­bagai seorang ahli dalam ilmu kimia, yang ternyata hal itu sangat bermanfaat dalam salah satu aktivitasnya melestarikan nas­kah-naskah kitab tua yang masih dapat terselamatkan.
Berbasiskan ilmu pengetahuan yang ia miliki, bahkan ia berhasil menciptakan metode dan mesin tersendiri dengan for­mula kimia yang ia temukan, cara untuk memperbaiki kondisi naskah-naskah ki­tab tua yang masih dapat diselamatkan. Ia pun tercatat sebagai salah seorang mudir di Markaz An-Nur, sebuah lembaga yang bergerak secara khusus dalam pe­nelitian dan pelestarian kitab-kitab atau manuskrip kuno di Hadhramaut.
Beberapa tahun terakhir, ia aktif ter­libat dalam Majelis Muwasholah Antar Ulama Muslimin, dan bahkan kini diper­caya sebagai mudirnya. Sebuah tantang­an dakwah yang amat berat, tentunya. Di bawah koordinasinya, kini Majelis Mu­washolah banyak menjalin hubungan de­ngan berbagai instansi, baik swasta mau­pun pemerintah, dalam kerja sama demi kemaslahatan umat.
Saat berbincang dengan alKisah, ia mengkritisi pola hidup umat Islam yang tak lagi mencerminkan pola hidup se­orang muslim. Hal ini membuat pandang­an tak tepat kerap dialamatkan kepada ajaran Islam. Padahal, bukan Islam-nya yang bermasalah. Agama ini adalah aga­ma yang sempurna, indah, dan menga­gumkan bagi setiap orang yang mau dengan jujur menilainya. Tapi kini, seakan ada jurang yang amat dalam, yang me­misahkan umat Islam dari ajaran agama Islam.

Kisah Syaikh Nuh di Mesir
Kembali pada buku-buku Syaikh Nuh yang pernah dihadiahkan Habib Umar kepadanya. Di antara buku-bukunya itu, Syaikh Nuh, yang pada awalnya adalah seorang Katholik taat yang berprofesi se­bagai pelaut, menceritakan pengalaman­nya ketika suatu saat berada di tengah lautan mendapat guncangan ombak yang amat dahsyat dan luar biasa besar.
Saat itu, sebagaimana dikisahkan kem­bali oleh Habib Muhammad, ia me­rasakan betapa dirinya begitu kecil dan tak berarti. Sedemikian tak berartinya, bah­kan diri seorang manusia itu sesung­guhnya tak memiliki kuasa apa pun dalam menentukan kehidupannya sendiri.
Alhamdulillah, beberapa waktu kemu­dian, ombak pun mereda. Ia selamat.
Setelah peristiwa itu, ia mulai melaku­kan pencarian terhadap tuntunan sebuah agama yang lurus dan benar. Ia mem­pelajari kajian berbagai agama, sampai ia pun tertarik pada ajaran agama Islam. Untuk mengetahui lebih jauh, ia pun pergi ke Mesir.
Sampai suatu ketika, dalam pencari­annya berjalan ke sana dan ke sini di Negeri Piramid itu, ia memperhatikan ting­kah polah umat Islam yang ada di sana. Ia, yang saat itu berpakaian sangat lusuh, bertemu seorang nenek yang mendekati­nya dan memberinya uang.
Ia terkejut. Ia katakan kepada nenek itu, ”Bu, kenapa Ibu memberi uang ini ke­pada saya? Ibu tak kenal saya dan saya pun tak memiliki hubungan apa-apa de­ngan Ibu.”
”Ini shadaqah,”jawab sang nenek dengan tegas. ”Saya tak berharap apa pun dari shadaqah dan shadaqah juga bukan karena masalah dekat atau jauh de­ngan siapa pun. Saya hanya berharap balasan dari Allah SWT.”
Hatinya terperanjat mendengar ja­waban si nenek. Betapa kuatnya jalinan hati antara nenek itu dan Tuhannya. Be­gitu mungkin yang saat itu ada dalam pi­kirannya.
Di lain kesempatan, salah seorang ka­wan yang banyak menemaninya di per­jalanan, yang dikenalnya bukanlah se­orang muslim yang taat, tengah meng­angkut banyak barang dengan semacam troli, kereta dorong. Saat membawa troli itu, tiba-tiba ada salah satu barangnya yang terjatuh.
Keller ingin membantu temannya itu. Secara refleks, ia membungkukkan ba­dannya dan ingin memungut barang milik temannya yang jatuh itu.
Namun, secara refleks pula, sang te­man cepat mencegahnya. ”Jangan, ini Al-Qur’an!!!” teriak sang teman. Ternyata yang terjatuh itu adalah Al-Qur’an.
Sang teman segera mengambil air wudhu tak jauh dari lokasi itu, kemudian memegang dan mengangkatnya secara perlahan.
Sebelum meletakkan kembali di tem­pat semula dan lebih aman, sang teman mencium kitab suci umat Islam tersebut.
Bagai sedang menyaksikan sebuah drama, detik demi detik kejadian itu di­perhatikannya dengan serius. Hatinya ka­gum, sekaligus terharu, betapa kawannya itu, yang notabene di matanya pun bukan termasuk seorang muslim yang taat, amat menghormati kitab sucinya. Peman­dangan semacam ini tak pernah ia da­patkan bahkan pada komunitas Katholik yang taat sewaktu di negerinya dulu.
Sementara, pada tulisannya yang lain, Syaikh Muh Hamim mengisahkan penga­laman seorang mualaf, yang ter­tarik de­ngan Islam dan kemudian menjadi mus­lim, yang pernah mengatakan, ”Se­gala puji hanya milik dan bagi Allah, yang telah lebih dulu mempertemukanku de­ngan Islam sebelum mempertemukanku de­ngan kaum muslimin.” Sebuah ung­kap­an keprihatinan sang mualaf atas si­kap hidup sebagian besar umat Islam di hari ini yang tak lagi mencerminkan ajaran agamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar