Minggu, 17 November 2013

Habib Muchdor bin Muhammad Bin Syaikh Abu Bakar

Tak Gentar karena Benar
“Yang saya harapkan adalah hebat kata Allah, bukan kata manusia. Andaikan saya tidak berhasil di dunia, yang penting berhasil di akhirat. Buat apa berhasil di dunia kalau tidak berhasil di akhirat.”



“Siapa yang berada di depan rel, saya tubruk. Kalau mau selamat, naik ke gerbong.”

Ungkapan ini menjadi prinsip bagi figur kita kali ini. Untuk urusan membela kepentingan umat, tidak ada kata gentar baginya. Beliau adalah Habib Muchdor bin Muhammad bin Muchdor Bin Syaikh Abu Bakar, Tapos, Depok, Jawa Barat.

Bagi para muhibbin di wilayah Jawa Barat, nama Habib Muchdor sudah tidak asing. Bila di Jakarta masyarakat sangat mengenal nama Habib Rizieq sebagai benteng masyarakat dari kemaksiatan, di Jawa Barat Habib Muchdor adalah singa jalanan yang memporak-porandakan tempat-tempat kemaksiatan bersama aparat pemerintah dan masyarakat. Beliau adalah figur yang tidak diragukan lagi keberaniaannya dalam memerangi berbagai bentuk kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat.

Habib Muchdor, yang lahir di Tapos pada tanggal 16 April 1956, sejak kecil sudah didik oleh orangtuanya untuk menjadi anak yang taat beragama dan berbakti kepada orangtua. Dan pendidikan sungguh mengkristal di dalam hatinya.

Bagi Habib Muchdor, taat kepada orangtua adalah prinsip utama dalam hidupnya. “’Anta wa maluka li-abika (Engkau dan hartamu adalah milik orangtuamu) adalah prinsip bagi saya dalam hal apa pun,” kata Habib Muchdor meyakinkan.

Itulah sebabnya, sejak belia, Habib Muchdor sudah berprinsip bahwa apa pun yang dikatakan oleh orangtuanya, pasti akan diikuti, yang bagi Habib Muchdor, sejak kedua orangtuanya berpisah, sosok sang ibulah yang menjadi pembentuk utama kepribadiannya. Sehingga tak mengherankan ketika sang ibu menyuruhnya berhenti dari SMEA, padahal waktu itu ia baru duduk di kelas 2, tanpa pikir panjang ia langsung mematuhinya.

Ketika itu, sang ibu, Syarifah Khadijah Al-Haddad, berharap agar Habib Muchdor mengkhususkan diri untuk memperdalam ilmu agama. Dan Jamiat Kheir, Tanah Abang, Jakarta, adalah tempat yang dijadikan tujuan sang ibu untuk menaruh harapan agar putranya kelak menjadi seorang penerus dakwah, yang telah diwariskan oleh kakeknya, Rasulullah SAW. Di Jamiat Kheir, Habib Muchdor menimba ilmu dari guru-guru utama, terutama para habib.

Di usia mudanya, Habib Muchdor pernah sukses menjadi seorang pengusaha. “Saya pernah punya toko elektronik di Jatinegara, tetapi, karena ibu saya tidak ridha, langsung saya tutup toko itu dan terjun ke dunia dakwah,” kenang Habib Muchdor.

Sejak tahun 1976, Habib Muchdor sudah mulai terjun ke tengah masyarakat untuk berdakwah di sela-sela kegiatan usahanya sebagai seorang pedagang. Di antaranya beliau sudah mempunyai Majelis Ratib di daerah Cipayung.

Setelah tokonya ditutup, sebagaimana harapan sang ibu, Habib Muchdor pun sepenuhnya terjun ke tengah masyarakat sebagai juru dakwah dan pengayom umat.
“Saya ini, ilmu nggak punya. Tapi soal mental, saya berani, karena berkah dari ibu,” kata Habib Muchdor merendah.
Dua Pondok Pesantren
Dalam perjalanannya, selain memimpin majelis ta`lim, ratib, dan shalawat, Habib Muchdor telah mendirikan dua pondok pesantren, Pondok Pesantren Al-Fakhriyah dan Pondok Pesantren Majelis Ratib dan Shalawat Al-Muchdor.

Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, yang kini sudah memiliki lembaga pendidikan formal hingga tingkat menengah atas, berdiri di atas tanah wakaf seluas 5.000 meter persegi. Tanah ini pada awalnya adalah kebun melon milik Lurah Adang, Kelurahan ...... (tanya Pak Tri), Tapos, Depok, Jawa Barat.

“Dulu di zaman Soeharto, saya bilang ke Pak Adang (yang waktu itu belum jadi lurah), ‘Ente kalau nanti jadi lurah, nih kebon bikin pesantren, ya...,” kata Habib Muchdor.

Dengan izin Allah, ucapan itu pun menjadi kenyataan. H. Adang terpilih menjadi lurah dan kebun melonnya pun diwakafkan untuk dibangun pesantren. Bersama Lurah Adang, tokoh pemerintah setempat, dan para aghniya muhibbin, Habib Muchdor mulai pembangunan pesantren. Hingga berdirilah pesantren putri dua lantai. Al-hamdulillah sekarang sudah tiga lantai.

“Santri yang belajar di Pesantren Al-Fakhriyah, syaratnya cuma mau pakai jilbab dan mau belajar. Semuanya gratis,” kata Habib Muchdor bersemangat.

Saat ini, pengelolaan Pesantren Al-Fakhriyah lebih banyak diserahkan kepada anak-anak Lurah Adang, yang banyak menjadi ustadzah, selain memang karena dikhususkan untuk santri putri. Dan dengan bantuan Lurah Adang sendiri, pesantren ini sudah memiliki beberapa ruko untuk dikontrakkan, yang hasilnya digunakan sebagai penopang kegiatan pesantren.

PP Al-Muchdor adalah lembaga yang cikal bakalnya adalah majelis ratib yang diadakan pada setiap malam Ahad di Cipayung. Di pondok inilah, tak kurang dari tiga sampai empat ratus jama’ah hadir dalam setiap pagelaran majelis yang diadakan pada setiap malam Ahad.

“Alhamdulillah, sekarang sudah ada tanah wakaf kurang lebih 8.000 meter dari Bapak Bambang, insya Allah akan digunakan untuk pengembangan Pondok Pesantren Al-Muchdor. Dan insya Allah ini pesantren putranya,” kata Habib Muchdor optimistis.  

Prinsip Dakwah
Dalam berdakwah, membela rakyat adalah prinsip utama bagi Habib Muchdor. “Kalau rakyat susah, saya akan bela rakyat. Siapa pun pemimpinnya silakan, yang penting jangan  membuat susah rakyat.”

Habib Muchdor mempertaruhkan jiwa raganya untuk menjadi yang terdepan dalam membela kepentingan rakyat. Hal itu di antaranya beliau tunjukkan dengan memberikan kritik tegas terhadap aparat pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Bahkan, beliau tidak pernah takut menghadapi siapa pun, termasuk oknum kekuasaan, di saat harus turun bersama masyarakat memerangi kemaksiatan, terutama memerangi narkoba.

Ketika berada di atas podium, tidak seorang pun yang dapat mencegah Habib Muchdor untuk mengkritik siapa pun. Bahkan di zaman Orde Baru, beliau sudah sangat keras mengkritisi pemerintah.

“Kalau sudah salam, prinsip saya: Siapa yang di rel, saya tubruk. Kalau mau selamat, naik ke gerbong,” katanya.

Mengenai ceramahnya yang terkesan main-main, Habib Muchdor menegaskan, “Saya ceramah memang seolah main-main, tapi hati saya tidak. Itu sudah jadi ciri dan bakat saya. Dalam berceramah, saya harus mengikuti mustami` (pendengar). Apa maunya hadirin? Bukan hadirin yang harus ikut saya. Agar bisa diterima oleh masyarakat, orang ceramah itu kayak orang mancing. Kita harus ikuti apa yang ikan mau, jangan ikan ikut kita.”
Meskipun keras, Habib Muchdor tidak pernah hantam kromo. Dalam setiap gerakannya membasmi kemaksiatan, beliau selalu bergerak dan bertindak bersama masyarakat dan aparat yang berwenang. Karena itulah, meskipun tegas terhadap kemaksiatan, Habib Muchdor tidak pernah dipermasalahkan oleh pihak kepolisian, misalnya.

Akhir-akhir ini terlihat jelas merosotnya akhlaq generasi muda. Maka, menurut Habib Muchdor, harus muncul ulama-ulama yang tidak hanya sibuk menjual “sorban” dan mudah dibeli oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Dibutuhkan ulama yang `amilin, yang memikirkan kepentingan dan keselamatan umat, bukan ulama yang “ngambilin”.

Habib Muchdor berusaha memberikan contoh. Dalam acara-acara besar dakwah yang digelarnya, beliau tidak pernah meminta-minta. “Saya nggak pernah minta-minta sama siapa pun. Bila ada yang datang memberi bantuan, itu semua Allah yang menggerakkan.”

Bahkan untuk perhelatan Haul Akbar Akbar tahunan yang diselenggarakan pada setiap bulan Muharram sejak tahun 1992, yang diberi nama “Pesta Merah Putih”, Habib Muchdor sengaja mengeluarkan tabungannya selama setahun untuk biaya perhelatan itu. “Saya mengeluarkan dana dari usaha saya satu tahun untuk satu malam, dan pahalanya saya hadiahkan untuk Ibu,” kata Habib Muchdor.

Perhelatan akbar ini bukan hanya menunjukkan bakti beliau kepada sang ibu, tapi juga menjadi teladan bagi masyarakat agar tidak perlu takut kekurangan rizqi ketika kita berada di jalan yang diridhai Allah.

“Orang yang beriman tidak perlu takut kekurangan rizqi, karena kita punya Allah. Hanya orang yang tidak yakin kepada Allah yang takut kekurangan.”

Dipeluk Pak Harto
Buah dari ketulusan Habib Muchdor ini, bukan hanya masyarakat yang simpatik dan kagum kepada beliau, bahkan Presiden Soeharto pun pernah memeluk beliau dan mengatakan simpati terhadap upaya beliau menyelenggarakan perhelatan akbar  “Merah Putih”.

“Alhamdulillah, para pejabat teras negara juga senang sama saya, demikian pula petinggi-petinggi parpol,” katanya.

Meski begitu, ia tidak pernah memanfaatkan kedekatannya dengan para pejabat untuk keuntungannya pribadi. Rumahnya yang sekarang ditempatinya, misalnya, tidak mewah untuk ukuran seorang ulama yang dekat dengan pejabat-pejabat ternama. Terlihat biasa saja.

Semua yang didapatnya dari kedekatannya dengan para pejabat itu diperuntukkan bukan hanya kepada jama’ah, tapi juga kepada warga pada umumnya.

Habib Muchdor berpesan kepada umat, warna boleh beda, partai boleh beda, gubernur boleh beda, tapi persatuan harus selalu dijaga, demi kejayaan bangsa dan negara. Dan dalam “Merah Putih” itu terkandung makna persatuan.

Kepada pemerintah ia berpesan, cintai rakyat, sayangi rakyat, jangan tipu rakyat.
Sedang untuk para ulama, Habib Muchdor juga berpesan agar mereka menghidupkan agama, bukan menumpang hidup pada agama.

Ketika ditanya tentang patokan kesuksesan, Habib Muchdor menegaskan, “Yang saya harapkan adalah hebat kata Allah, bukan kata manusia. Andaikan saya tidak berhasil di dunia, yang penting berhasil di akhirat. Buat apa berhasil di dunia kalau tidak berhasil di akhirat.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar