Minggu, 17 November 2013

Habib Ali bin Sholeh Alatas

Pencipta Langgam Ad-Diba’i

Kala itu, ia membaca mengikuti apa yang didengar dan diajarkan ayahnya datar saja, tidak ada langgam. Berkat kecerdasannya yang lekat dengan dialek Betawi ini, ia menciptakan langgam sendiri khas Hadhrami.


Memasuki bulan Rabi’ul Awwal, peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW mulai terasa. Satu hari bisa sampai tiga, em­pat, sampai lima acara. Di Indonesia, peringatan Maulid terus bergeliat hingga memasuki bulan Shafar, bahkan ada yang merayakannya dibarengi dengan pe­ringat­an Isra Mi’raj. Hari-hari sepan­jang bulan Maulid menjadi begitu sibuk. Ini pun dirasakan oleh Habib Ali bin Sholeh Alatas.

Tiap kali perayaan Maulid Nabi, ha­bib berkepribadian ramah ini tidak per­nah absen menghadiri undangan melan­tunkan kitab Maulid Ad-Diba’i dengan suaranya yang merdu, bahkan hingga ke luar negeri. Hebatnya, ratusan bait syair tentang sejarah kehidupan Rasulul­lah itu ia bacakan tanpa melihat kitabnya, ia hafal di luar kepala.

Ihwal kepiawaian Habib Ali mem­baca kitab Maulid karya Syaikh Abdur­rah­man Ad-Diba’i ini berasal dari sang kakek, Ha­bib Muhammad bin Muhsin Alatas, gene­rasi pertama habaib yang menjejakkan kaki di Bekasi, dan ayah­nya sendiri, Habib Sholeh bin Abdullah Alatas.

Ketika Habib Sholeh wafat pada 10 Muharram atau 23 Januari 1975, Habib Ali mulai sering diminta membaca Maulid Ad-Diba’i di berbagai tempat. Ia juga me­lanjutkan kebiasaan sang ayah, mem­baca Maulid tersebut setiap malam Jum’at di mushalla yang didirikan ayah­nya. Dari seringnya membaca, habib kelahiran tahun 1950 ini akhirnya hafal di luar kepala.

Kala itu, ia membaca mengikuti apa yang didengar dan diajarkan ayahnya datar saja, tidak ada langgam. Berkat kecerdasannya yang lekat dengan dialek Betawi, ia menciptakan langgam sendiri khas Hadhrami yang begitu indah. Suara­nya yang merdu makin menyempurnakan langgam bacaan Maulid-nya.


Rekaman Maulid dan Shalawat

Tahun 1990, Habib Ali bin Sholeh Alatas diminta oleh Radio Asyafi’iyyah, Jatiwaringin, untuk membacakan Maulid Ad-Dibai yang disyiarkan secara luas. Berawal dari situlah langgam irama Mau­lid-nya yang khas segera menarik per­hatian masyarakat luas. Sejak itu pula undangan membaca Maulid Ad-Dibai se­makin mengalir. Qari terkenal Indone­sia, Muammar Z.A., juga sempat memu­ji­nya dan memintanya rekaman.

Pada tahun 1993, Habib Ali diminta rekaman oleh perusahaan Virgo Record. Setelah album perdananya, berturut-turut permintaan rekaman berdatangan dari Naviri Record, dan beberapa studio rekaman lain, untuk melantunkan ratib, Simthud Durar, dan terakhir kumpulan shalawat yang diiringi organ tunggal. Sebagian album kaset hasil rekamannya tersebut hingga kini masih disimpan rapi di rumahnya. Bahkan alKisah mendapat­kan oleh-oleh kaset rekaman shalawat dari Habib Ali sepulang wawancara di kediamannya di Jalan Kartini, Bekasi.

Selain sibuk membaca Maulid Ad-Dibai, Habib Ali juga sibuk mengajar dan berdakwah khususnya mengajar dan mengasuh ta’lim peninggalan sang ayah, Majelis Ta’lim Ar-Ridwan. Selain itu, ia juga mengajar di beberapa majelis ta’lim di antaranya di Pengasinan, Ke­mayoran, Cikuning, Pondok Kelapa, Jati­makmur, dan Bekasi. Semua aktivitas mengajarnya itu ia lakukan hanya ingin mengamalkan sedikit ilmunya seraya berharap keberkahan. Dalam setiap ta’limnya, ia lebih menekankan akhlaq dengan cara mencoba mencontohkan. Ini diambilnya dari apa yang telah di­ajar­kan ayahnya, yang begitu mementing­kan pendidikan akhlaq.


Mengutamakan Akhlaq

Habib Ali kecil banyak belajar agama kepada ayahnya. Menurutnya, ayahnya ter­bilang cukup keras dalam mendidik diri­nya. Apalagi kalau soal pendidikan agama dan akhlaq. Ia kerap dimarahi bila tidak me­nuruti nasihat abahnya. Se­masa men­didiknya, ayahnya sangat me­nekankan pendidikan akhlaq dan moral. “Orang ber­ilmu belum tentu berakhlaq, tetapi orang yang berakhlaq sudah tentu berilmu. Biar ilmunya banyak kalau akh­laqnya rendah, rendah derajatnya. Se­baliknya, biarpun sedikit ilmunya kalau tinggi akhlaqnya, ting­gi pula derajatnya,” kata Habib Ali me­nirukan kata-kata ayahnya.

Sungguh ironi, belakangan berkem­bang fenomena seorang berilmu namun tidak berakhlaq. Ini menyedihkan. Me­reka yang katanya alim (berilmu) sering terlihat berdakwah hingga ke pelosok desa tanpa mengindahkan adab dan akhlaqnya. Banyak kasus para alim yang nota bene tamu undangan tidak memiliki ihtiram (etika) dengan tokoh masyarakat dan agama setempat.

Misalnya, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada para tokoh agama se­tempat, mereka membuka pengajian, membahas kitab, dan sebagainya. Padahal, tradisi selama ini, para dai yang akan menggelar pengajian itu sebelum­nya meminta restu kepada para sesepuh keagamaan setempat, baru mereka be­rani membuka pengajian.

“Padahal akhlaq adalah wujud dari pengamalan ilmu. Bukankah Rasulullah sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlaq umatnya?” kata Habib Ali.

Menurut Habib Ali, perilaku seperti itu jelas bukan perilaku orang-orang alim. “Seperti yang diajarkan abah saya, yang juga kerap mendidik dan berpesan kepada anak-anak agar bisa menjadi manusia yang berilmu sekaligus berakh­laq. Konsep ajaran Islam itu indah dan pe­nuh penghormatan. Anak harus meng­hormati orang tua, orang tua me­nya­yangi anak dan yang lebih muda. Dan akhlaq kepada sesama, sekalipun bukan sesama muslim, tetap harus saling menghormati.”

Selain belajar agama dan akhlaq kepada ayahnya, Habib Ali juga belajar ilmu fiqih kepada Mu’allim Mu’thi dan bel­ajar membaca Al-Qur’an kepada Ustaz Muhammad Ali, yang adalah guru me­nga­ji setempat. Ketika beranjak dewasa, secara intensif Habib Ali mengikuti pengajian Habib Abdurrahman Asegaf, di Bukit Duri.

Kini di usianya yang telah memasuki 62 tahun, Habib Ali semakin merasa ber­syukur atas nikmat yang telah Allah SWT berikan kepadanya. Dari pernikahannya dengan Syarifah Lu’lu binti Abdullah Alatas, ia dikaruniai tujuh orang anak. Alhamdulillah, mereka mengikuti jejak Habib Ali, berdakwah dengan caranya masing-masing.

Dalam mendidik putra-putrinya, Ha­bib Ali terbilang cukup demokrat. Ia tidak pernah memaksa anaknya untuk men­jadi ini dan itu, apalagi memaksa mengi­kuti jejaknya. “Biar anak yang memilih ja­lannya sendiri, orangtua tinggal men­dukung. Yang penting mereka tetap berada di jalan Allah,” tuturnya.

Menurut Habib Ali, seyogia­nya orang­tua tidak mendidik anak agar takut kepada mereka, me­lain­kan bagaimana mereka bisa secara sadar dan ikhlas meng­hor­mati dan berbakti. Dengan me­nanamkan ilmu agama dan akhlaq, ini mudah. Alhamdulillah Habib Ali telah mempraktek­kan­nya. Alhasil, anak-anak­nya tahu apa yang bisa dipersembahkan untuk mendapatkan ridha orang­tua. Bah­kan anak keempatnya, Habib Abdullah, santri Hadhra­maut, ternyata juga sudah me­ngua­sai Maulid Ad-Dibai dan siap meneruskan jejaknya.

****

Habib Abdullah bin Ali Alatas

Meraih Ridha Abah untuk Menggapai Ridha Allah


Nasihat dan didikan yang ditanamkan Habib Ali bin Sholeh Alatas begitu berbe­kas pada benak Habib Abdullah bin Ali Alatas. Anak keempat dari tujuh bersau­dara ini bangga mendapatkan pendidik­an langsung dari abah dan uminya: Ha­bib Ali bin Sholeh Alatas dan Syarifah Lu’lu binti Abdullah Alatas.

Sejak kecil kedua orangtuanya be­gitu disiplin menanamkan pendidikan agama dan akhlaq. Cara yang dulu per­nah diajarkan oleh njid-nya (kakek), Habib Sholeh bin Abdullah Alatas.

Selain belajar agama kepada orang­tua, Habib Abdullah kecil juga belajar di Madrasah Ibtidaiyyah pada sore hari selepas belajar di Sekolah Dasar Negeri.

Setamat sekolah dasar, ia melanjut­kan pendidikannya ke Pondok Pesan­tren di Bangil, Jawa Timur, selama dua ta­hun. Ingin terus mendalami agama, Habib Abdullah melanjutkan nyantri ke Rubath Tarim, Hadhramaut, selama em­pat tahun.

Tahun 2002 Habib Abdullah diminta kembali ke tanah air oleh Habib Ali untuk meneruskan dakwahnya. Maklum, kala itu kesehatan Habib Ali mulai menurun. Ia pun mencoba mengamalkan ilmunya dengan menggantikan abahnya berdak­wah, mengisi ta’lim, dan membaca Maulid Ad-Dibai.

Dalam pembacaan Maulid Ad-Dibai, ia pun mencontoh langgam dan cara abah­nya. “Menurut saya, langgam Abah sudah sangat bagus, jadi saya menerus­kan saja, tidak perlu menciptakan lang­gam sendiri. Kalau sudah ada yang lebih bagus, kenapa tidak kita teruskan,” kata Habib Abdullah.

Menurut Habib Abdullah, dahulu, njid-nya, Habib Sholeh, belum memiliki lang­gam khusus dalam membaca Mau­lid Ad-Diba’i, datar saja. Maka abahnya, Habib Ali, menciptakannya, dengan be­gitu indah, langgam khas Hadhrami. Oleh karena itu, kini ia tidak perlu men­ciptakan langgam baru, melainkan me­les­tari­kannya.

Suara Habib Abdullah tidak kalah dengan Habib Ali. Ia menuruni suara emas Habib Ali. Jama’ah pun menerima­nya dengan hangat. Permintaan mem­baca Maulid Ad-Dibai semakin banyak. Apalagi di musim Maulid seperti seka­rang ini. Bahkan undangan yang memin­tanya membaca Maulid Ad-Diba’i pun da­tang dari mancanegara.

Kini, Habib Abdullah telah menjadi penerus Habib Ali, pembaca Maulid Ad-Dibai.

Habib kelahiran 15 Maret 1983 ini me­rasa senang dan bangga bisa mene­rus­kan jejak abahnya. Ia terharu dengan apa yang telah ia lakukan. Rasa haru itu makin terasa ketika ia membaca se­jarah Nabi yang terangkum dalam Maulid Ad-Diba’i di ta’lim rumahnya sendiri mau­pun di pesantrennya, di kawasan Bantar Gebang, Bekasi. Tanpa disadarinya ia kerap menitikkan air mata.

Harapan habib yang telah menikahi Sya­rifah Jihan binti Segaf Alatas ini hanya satu, yaitu akan terus melanjutkan dakwah abahnya, demi meraih ridha orangtua, karena di situlah terletak ridha Allah SWT.

Akhir perbincangan dengan alKisah, Habib Abdullah berharap, semoga pe­rayaan Maulid tidak hanya menjadi upa­cara seremonial biasa. Namun lebih dari­pada itu, membawa spirit perubahan un­tuk umat dan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar