Minggu, 17 November 2013

Habib Ahmad Kazim bin Lukman Al-Kaf

Dakwah Penuh Onak


Suatu ketika Majelis Sayyidul Wujud dilaporkan kepada polisi dengan hasutan mengganggu ketenteraman masyarakat, namun justru kepolisian mendukung majelis ini.


Tahun kesepuluh kenabian dikenal sebagai ‘amul huzni (tahun duka) bagi Nabi Muhammad SAW. Dua orang yang sangat dicintainya telah me­ninggal dunia, yaitu istri tercinta, Siti Khadijah RA, dan pamanda terkasih, Abu Thalib. Kedua orang ini adalah pembela dan pelindung yang sangat tabah, kuat, dan disegani masyarakat Makkah, bagi Rasulullah SAW. Dengan meninggalnya Siti Khadijah dan Abu Thalib, orang-orang kafir Quraisy se­makin berani menggang­gu dan menya­kiti Nabi Muhammad SAW.

Karena penderitaan yang dialami Nabi Muhammad SAW semakin hebat, beliau bersama Zaid bin Haritsah beren­cana pergi ke Thaif guna meminta ban­tuan serta perlindungan dari keluarganya yang berada di kota itu.

Karena mereka adalah para pembe­sar dan orang-orang terhormat di kota itu, Nabi Muhammad SAW berharap dak­wah­nya diterima oleh masyarakat Thaif. Nabi Muhammad SAW beranggapan akan mendapat pertolongan, perlindung­an, dan bantuan dari kerabatnya itu. Tapi harapan itu sungguh jauh dari kenyataan, bahkan beliau diusir dan dihina.

Tak hanya keluarga, penduduk Thaif pun melakukan penolakan dan memper­lakukan Rasulullah SAW dengan kasar.

Saat menghindari orang-orang yang menganiaya mereka, Rasulullah SAW berdoa, “Ya, Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia.

Wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelin­dungku. Kepada siapa diriku hendak Eng­kau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?

Jika Engkau tidak murka kepadaku, semua itu tak kuhiraukan, karena sung­guh besar nikmat yang telah Engkau lim­pahkan kepadaku.

Aku berlindung dengan sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat dari murka-Mu yang hen­dak Engkau turunkan pada diriku. Sung­guh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”

Lalu, di angkasa, sekumpulan awan meneduhi keduanya yang sudah le­tih berlari menyelamatkan nyawa dan risa­lah. Saat itulah Rasulullah SAW mende­ngar ucapan salam seseorang dari atas sana. Seketika beliau menengadahkan kepalanya. Nun di atas sana, Jibril AS ber­kata, “Wahai Muhammad, sesung­guh­nya Allah telah mendengar apa yang di­katakan kaum Tsaqif serta jawaban me­reka atas ajakanmu. Bersamaku ini ada­lah malaikat penjaga gunung yang diutus Allah untukmu. Maka perintahkanlah apa saja yang Engkau kehendaki.

Seandainya Engkau ingin dia meng­himpitkan Gunung Abu Qubais dan Bukit Ahmar ke tubuh dan seluruh perkam­pung­an mereka, niscaya dia akan me­lakukannya!”

Sesaat kemudian, malaikat penjaga gunung muncul dan memberikan salam ke­pada Rasulullah SAW. Malaikat gu­nung ini meyakinkan apa yang telah di­katakan oleh Malaikat Jibril AS tadi.

“Perintahkanlah aku. Seandainya eng­kau menghendaki kedua bukit ini di­himpitkan kepada mereka, niscaya akan aku lakukan dengan segera!” ujarnya.

Namun Rasululullah SAW menolak tawaran itu. Beliau bahkan memanjatkan doa kepada Allah agar penduduk Thaif diberi hidayah. Dengan tetesan air mata, beliau SAW berdoa, “Ya Allah, berilah hi­dayah kepada kaumku ini, karena sung­guh mereka masih tidak mengetahui.” Kemudian Rasulullah SAW pun bermu­najat dengan sepenuh hati agar dari ke­turunan mereka nantinya lahir generasi-generasi yang beriman, menyembah Allah semata.

Penggalan kisah indah penuh hikmah dari Rasulullah SAW ini sangat layak di­jadikan pembukan perkenalan kita de­ngan figur kita kali ini, yaitu Habib Ahmad Kazim bin Lukman Al-Kaf.

Teramat singkat memang pertemuan alKisah dengan Habib Ahmad di tengah-tengah kesibukan dakwahnya membina umat. Namun dari pertemuan singkat ini, banyak penggalan kisah hidup habib muda yang lahir di Palembang 5 Mei 1977 ini, yang dapat dijadikan sebagai pelajar­an.



Majelis Sayyidul Wujud

Berangkat dari keluarga agamais, se­jak kecil Habib Ahmad Kazhim telah bel­ajar agama dan umum di Madrasah Dini­yah Darul Muttaqin, Palembang. Dan un­tuk takhassus ilmu-ilmu syari’at, Habib Ah­mad Kazim menimba langsung dari sang kakak tercinta, Habib Muhammad Rafiq Al-Kaf.

Namun, meskipun cukup banyak me­miliki ilmu agama, dalam kehidupannnya, Habib Kazim mengaku bahwa dirinya ter­masuk anak yang paling banyak menyu­sahkan kedua orangtua dan saudara-sau­daranya.

Untuk menambah pengalaman, Ha­bib Kazim merantau ke Jawa Barat dan menikahi seorang gadis Ciwidey ber­nama Ria Fadhilah. Setelah menikah itu­lah, Habib Kazim merasakan lembaran baru kehidupannya dimulai.

Allah memberikan ujian yang berat berupa kesulitan ekonomi ditambah istri yang didera sakit kanker ganas. Hari demi hari semakin berat terasa dijalani oleh Habib Kazim, hingga ia mencoba menga­du nasib ke Jakarta. Namun, penderitaan tak juga kunjung berlalu, bahkan Habib Kazim terlilit utang. Cobaan hidup yang kian berat semakin memuncak tatkala istri tercintanya dipanggil oleh Allah SWT.

Saat-saat yang teramat pahit itulah yang menyadarkan Habib Kazim bahwa selama itu dia jauh dari Allah SWT. Dan satu hal yang tak pernah terlupakan da­lam hidupnya, di saat kondisi sangat ter­jepit dan dililit utang, justru orang yang ber­kenan menolongnya adalah sese­orang yang tak mampu secara finansial. “Orang miskin yang mau nolong saya,” kata Habib Kazim.

Orang baik tersebut meminta agar Ha­bib Kazim mau menerima uang dari hasil menggadaikan surat tanah satu-satunya.

Dari sinilah Habib Kazim bangkit dan bertekad untuk membuka lembaran hi­dupnya untuk mengabdi kepada ilmu dan melayani masyarakat.

Habib Kazim mulai merintis men­diri­kan majelis ilmu di Cempaka Putih, Ja­karta, yang saat ini diteruskan oleh ka­wannya, Habib Muhammad Syahab.

Adapun awal mula hijrah ke Bandung, Habib Kazim mengungkapkan, itu ber­awal dari isyarat salah seorang gurunya. Gurunya berkata, “Bila engkau hendak hijrah, pilih satu dari dua tempat, Kalsel atau Jawa Barat.”

Dari isyarat itu dipilihlah Jawa Barat, dengan alasan karena di Caringin terda­pat makam sang kakek tercinta, Abdullah bin Abu Bakar Al-Kaf, dan istri tercinta pun dimakamkan di daerah Ciwidey. Dan se­lanjutnya yang menjadi pilihannya ada­lah kota Cimahi, Bandung.

Di Cimahi, pertama kali membuka ma­jelis ta‘lim di Masjid Agung Cimahi dengan nama “Majelis Sayyidul Wujud”. Nama ini adalah gelar Nabi SAW dan di­pilih dengan harapan semoga masyara­kat lebih me­ngenal dan mencintai Rasul­ullah SAW.

Karena semakin berkembang, diben­tuklah majelis keliling antar-masjid. “Dan alhamdulillah, sudah lebih dari setahun ini, kita telah mengadakan pengajian ak­bar bulanan yang diadakan di sepanjang Jalan Raja Bentang ini dan dihadiri ribuan jama’ah dan muhibbin dari berbagai pen­juru Bandung,” kata Habib Kazim.

Namun, itu semua tak berjalan mulus begitu saja. Di antara tantangannya, se­ring kali rumahnya dilempari batu dan ko­toran, panggung majelis pun beberapa kali akan dirobohkan, bahkan ada juga se­kelompok masyarakat yang berkeliling untuk menggalang tanda tangan warga untuk mengajak berdemo agar majelis di­bubarkan dan Habib Kazim serta keluar­ganya hengkang dari rumahnya.

Bahkan, suatu ketika Majelis Sayyidul Wujud dilaporkan kepada pihak polisi de­ngan hasutan mengganggu ketenteram­an masyarakat, justru pihak kepolisian men­dukung majelis ini dengan mengata­kan bahwa majelis semacam ini majelis yang baik dan semestinya didukung.

“Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT, semua tantangan dapat diatasi,” ucap­nya penuh syukur.

http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/3155-habib-ahmad-kazim-bin-lukman-al-kaf-dakwah-penuh-onak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar