Minggu, 17 November 2013

Al Habib Ahmad bin Anis Bin Abdul Qadir Basurrah

Menuntut Ilmu , Qalbu Harus bersih

Ilmu Allah itu hanya diberikan kepada orang yang bersih, tidak diberikan kepada orang yang suka bermaksiat.

Muda, energik, dan berpikir positif, itulah ciri yang menonjol dari Habib Ahmad bin Anis bin Abdul Kadir Basurrah. Ditempa di Huraidhah dan Tarim untuk menekuni dakwah membuatnya selalu berpra­sang­ka baik dalam menyikapi persoalan yang menimpa umat Islam.

Masa kecilnya sampai kelas dua SD dihabiskannya di Arab Saudi, lalu ia pindah ke Indonesia dan bersekolah di Jamiat Kheir. Habib Ahmad juga sempat mencicipi sekolah Muhammadiyah se­belum akhirnya menuntut ilmu ke Huraidhah dan Tarim selama lima tahun lebih.

“Setamat SMA sebenarnya saya tertarik untuk melanjutkan kuliah, namun kedatangan Habib Muhammad Shaleh Alatas ke Jakarta yang menawarkan bel­ajar di Huraidhah membuat saya beru­bah pikiran, apalagi pergaulan saya dan juga banyak saudara adalah dengan para pendakwah,” tutur pria berusia 25 tahun ini.

“Awalnya rencana di Hadhramaut hanya dua tahun, khawatir kalau tidak betah. Ternyata malah keasyikan me­nun­tut ilmu di sana sampai hampir enam tahun.

Saat kedatangan Habib Muhammad ke Jakarta, dia bilang bahwa dia punya tempat belajar tapi belum ada pondok­nya. “Silakan kalau mau belajar.”

Saya berangkat berempat dengan te­man ke Huraidhah. Ini adalah cabang Pesantren Darul Musthafa, yang diasuh oleh Habib Umar Bin Hafidz,” katanya.

Berbekal Niat Baik

Mulailah pengembaraan ilmu dan prak­­tek dakwah yang sesungguhnya di­lakukan di negeri para wali itu. Menurut­nya, bekal­nya hanyalah  niat baik untuk menuntut ilmu dan sedikit bahasa Arab, karena ketika kecil ia sudah fasih ber­bahasa Arab.

“Saat itu kami belajar di masjid, ting­galnya mengontrak di rumah penduduk, setiap Kamis dan Jum’at kami dilepas untuk berdakwah masuk ke rumah pen­duduk. Di sana bertahan tiga tahun, lalu saya pindah ke Rubath Tarim, asuhan Habib Salim Asy-Syathiri, sempat meng­i­kuti pelajaran di tempat Habib Umar Bin Hafidz selama empat puluh hari. Di Ru­bath Tarim dua setengah tahun, belajar fiqih, akhlaq, nahwu, lalu hafalan Al-Qur’an, sisa hari lainnya digunakan un­tuk terjun ke dunia dakwah sampai ke pelosok-pelosok Tarim,” ujar suami Zahara binti Hasan Alatas ini.

Ketika sudah bermukim di Huraidhah selama setahun, barulah berdiri pesan­tren, dan santrinya mulai bertambah. Mereka yang masuk paling awal disuruh mengajar santri baru, termasuk Habib Ahmad. Ia pun ikut mengajarkan kitab Risalatul Jamiah, Safinatun Najah, dan kitab-kitab dasar lainnya. Menurut Habib Ahmad, santri juga diharuskan ikut program pesantren kilat (daurah) selama empat puluh hari di Pesantren Darul Musthafa di bawah bimbingan Habib Umar Bin Hafidz.

“Di Huraidhah, kami hidup seperti orang zaman dahulu, hanya belajar dan beribadah, tidak boleh menonton, tidak boleh keluar pesantren, fasilitas modern seperti kipas angin atau AC tidak ada, padahal di sana musim panas sangat luar biasa, musim dingin juga esktrem dingin. Yang kami dapatkan di situ ada­lah arti kehidupan. Kami paham, hidup itu seperti itu, jangan asal enak saja. Keberkahan ilmu kami mengertinya di situ,” tuturnya.

Dengan suasana yang fokus seperti itu, menurutnya, ilmu cepat masuk, para santri tidak tercemar dengan hal-hal yang membuat hilangnya keberkahan ilmu, seperti maksiat atau melihat hal-hal lain yang dilarang agama.

Kesiapan mental adalah salah satu fokus yang sangat diperhatikan ketika menuntut ilmu di Huraidhah. Menurut Habib Ahmad, jadwal para santri diatur dengan ketat dan disiplin, mulai dari ba­ngun sebelum subuh sampai nanti tidur lagi jam sebelas malam.

“Wasiat dari guru, kita tidak ada wak­tu berhenti untuk berdakwah dan me­nuntut ilmu. Jadi kalau pulang jangan sampai berhenti belajar. Bisnis tidak apa tapi jangan sampai melupakan dakwah,” ujarnya menirukan gurunya, dan itu yang dipegangnya sebagai bekal berdakwah.

Sepulang dari Hadhramaut, Habib Ahmad mulai berdakwah dengan lebih menonjolkan akhlaqul karimah. Ia ber­dakwah dengan tutur bahasa yang le­mah lembut dan penuh kesabaran.


Majelis Mudzakarah

Habib Ahmad Anis Basurrah terma­suk orang yang sangat mencintai ilmu. Kalau sudah berbicara tentang ilmu pe­ngetahuan, semangatnya menyala-nyala.

Salah satu majelis yang ia istiqamah mengikutinya adalah majelis mudza­ka­rah para ustadz dan habaib. Majelis ini di­ikuti para ustadz dan pembimbing ma­jelis ta’lim di kawasan Jakarta Timur.

Habib Ahmad mengatakan, penga­da­an majelis adalah agar para ustadz dan habaib bisa berbagi ilmu dan ber­tukar pengalaman. “Contohnya, ada per­tanyaan-pertanyaan rumit, tidak bisa di­jawab saat ditanyakan. Karena adanya majelis ini, kita bisa saling bertanya. Ka­rena majelis mudzakarah ini banyak ula­ma yang hadir, begitu juga para habib, mereka yang berpengalaman dalam hal ilmu bisa sharing. Juga agar ilmu kita tidak mudah hilang.”

Menurut Habib Ahmad, tidak perlu ma­jelis para ustadz dan habaib ini ba­nyak, tapi yang penting istiqamah.


Hambatan untuk istiqamah berma­cam rupa. “Kalau di Indonesia, karena dunianya begitu bebas, maksiat banyak terlihat. Berbeda dengan di Hadhramaut. Jadi, untuk bersikap istiqamah, di sana itu mendukung. Makanya kalau belajar di sana lebih terjaga,” ujarnya.
“Ilmu Allah itu hanya diberikan kepa­da orang yang bersih, tidak diberikan ke­pada orang yang suka bermaksiat.”

Habib Ahmad melanjutkan, “Tidak ada larangan untuk menjadi apa saja, pejabat, dokter, astronom, dan lain-lain, tapi Islam-nya harus benar-benar kuat. Jadi pejabat, misalnya, harus mempu­nyai ilmu agama yang kuat. Sehingga menjadilah ia pejabat yang membawa kemaslahatan. Begitulah seterusnya untuk bidang apa saja.”

Kalau dokter, contoh lain, mempu­nyai ilmu agama yang baik, berakhlaq dengan akhlaq Rasulullah SAW, tidak akan ada pasien yang menjerit atau di­tolak berobat. Ia akan merangkul, ia akan memberi obat dan nasihat agama.

Agar tidak Kering

Menurutnya, sangat penting para ulama memberikan ilmu kepada umat, terlebih ilmu fiqih, karena ilmu itu sangat bermanfaat di dalam kehidupan sehari-hari. Tiap hari ada muamalah, itu butuh fiqih. Mau zakat, butuh fiqih. Mau meni­kah, perlu fiqih.

Kalau semua umat Islam sudah me­mahami fiqih zakat, misalnya, dan me­reka mengeluarkan zakat, tidak akan ada faqir miskin.

Rasulullah SAW bersabda, “Kami, para nabi, tidak mewariskan dinar dan dir­ham. Tapi kami mewariskan ilmu. Barang siapa sudah mengambil ilmu, ber­arti ia sudah mengambil sesuatu yang paling berharga.”

Dalam konteks kehidupan bangsa kita, mengapa kita banyak mengalami kesulitan? Karena kita jauh dari agama, kurang peduli pada agama, terutama ilmu agama. Mereka yang membantu agama Allah, Allah SWT berfirman da­lam hadits qudsi, “Wahai bumi, bantulah hamba ini, karena ia sudah membantu agama Allah.” Maka urusannya lancar, rizqinya lancar.

Dalam mempelajari ilmu, harus se­imbang antara fiqih, aqidah, dan tasa­wuf. Ilmu tasawuf itu memang penting, tapi harus dibarengi dengan ilmu zhahir, seperti fiqih dan aqidah. Perlu juga adab-adab bagaimana Rasulullah SAW meng­hadapi kehidupan, jadi ada fiqihnya. Se­baliknya kalau hanya fiqih, tanpa tasa­wuf, akan kering.

Kecintaan kepada ilmu harus di­mulai sedini mungkin. Menurutnya, anak-anak perlu dikondisikan untuk selalu mende­ngar yang baik, melihat akhlaq yang baik. “Jangan diajari bohong, misalnya ada yang bertanya lalu diajari menjawab bohong. Kalau orangtua kesulitan, ada ustadz, bisa juga belajar mengaji di TPA, mereka diajari agama sedari kecil, jadi ada rekaman yang baik-baik itu di dalam memorinya. Kalau sudah terekam, nanti akan muncul ketika ia dihadapkan pada dunia di luar, dengan maksiat misalnya insya Allah ia akan menolak. Dan se­baliknya, kalau dari kecil melihat yang maksiat, ketika besar dia mungkin me­rasa tidak bersalah melakukan maksiat itu,” kata Habib Ahmad dengan mantap.

Sesungguhnya Allah SWT hanya menerima yang suci. Mau menuntut ilmu tapi makannya hasil mencuri. Itu tidak akan diterima.

Kalau ada makanan yang syubhat, tinggalkan, karena tidak tahu statusnya. Ada uang ditemukan, jangan main me­miliki saja. Kalau menemukan sesuatu, umumkan selama setahun. Setelah se­tahun tidak ada yang mengklaim, baru­lah itu boleh dimanfaatkan oleh si pe­nemu. Begitu fiqihnya.

“Jujur, semua kita butuh dunia, tapi jangan jadikan cinta dunia di atas segala-galanya. Inti keburukan adalah cinta dunia. Dunia harus dijadikan se­bagai pembantu untuk meningkatkan ibadah.”

Ihwal banyaknya kekacauan dan pertengkaran, Habib Ahmad mengata­kan, “Kalau kita semua ber-Islam de­ngan baik, insya Allah tidak akan ada kekacauan dan pertengkaran.

Di dunia ini ada dua jalan, yaitu jalan Rasulullah dengan seluruh keutama­an­nya, lalu ada jalan iblis dengan segala perbuatan jeleknya. Pandai-pandailah kita untuk memilih. Pilihlah jalan Rasul­ullah SAW. Mari kita teladani sedikit demi sedikit akhlaq Rasulullah, makin lama makin banyak....”

Peran Orangtua

Menurut Habib Ahmad, agar gene­rasi muda bersemangat menuntut ilmu, orangtua harus memperhatikan sung­guh-sungguh pendidikan agama anak-anaknya. “Jaga anak-anak agar tidak berkeliaran sehabis maghrib, karena banyak setan bergentayangan setelah maghrib. Ajak mereka mengaji, kisahkan cerita-cerita nabi, cerita ketaatan dan kehidupan yang baik. Contohkan adab dan akhlaq Rasulullah SAW di depan anak-anak. Perbanyak kisah dan teladan untuk anak-anak.”

Lalu orangtua juga mengingatkan anak agar berhati-hati dengan tontonan. Televisi misalnya. “Sudah saatnya kita punya channel televisi yang Islami, khu­sus saluran ulama dan pengajaran aga­ma, karena televisi sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter anak.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar