Senin, 28 Oktober 2013

Syekh Umar Sutadrana

Makam Syekh Umar Sutadrana salah satu makam yang terkenal di Wonosobo. Bahkan sampai manca negara, terutama Malaysia dan Singapura. Terletak di Dusun Kaligintung Desa Guntur Madu Kecamatan Watumalang, makam kuna ini tak pernah sepi peziarah. Konon, banyak berdoa di tempat itu banyak terkabulnya. Hanya saja, peziarah sudah diwanti-wanti untuk tidak memohon hal-hal buruk, berbau kemaksiatan. Bila pantangan ini dilanggar, akan diusir oleh penghuninya.

Dusun Kaligintung berada di perbukitan. Pemandangan kanan kiri cukup indah. Hamparan sawah menghijau dan gemericik air sungai mengalir menambah ketenangan desa di ketinggian itu. Makam Syekh Umar Sutadrana terletak di pemakaman desa. Melewati jalan kecil bercor melewati perkampungan.

Cungkup atau rumah yang melindungi makam dibuat sedemikian rupa. Di dalamnya terdapat makam Syekh Umar Sutadrana dan istrinya. Namun tidak berdampingan. Berada di bawah. Selain itu di dalam makam juga terdapat tempat bersemedi. Dilengkapi kamar mandi dan ruang dapur. Sehingga jauh dari kesan seram maupun horor.

Suasana makam sangat sejuk. Angin berhembus leluasa dari perbukitan di kanan kompleks makam. Tak heran bila peziarah betah berlama-lama di situ. Mereka datang dari berbagai kota di Indonesia. Bahkan dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Australia.

Di buku tamu yang disediakan juru kunci atau sesepuh desa Patah Tjitpto Suwiryo, tertulis pengunjung dari Surabaya, Lumajang, Jakarta, Semarang, Solo dan kota-kota sekitar Wonosobo. Siapa Syekh Umar Sutadrana, sehingga makamnya begitu dikenal hingga negeri jiran?

“Beliau datang dari Arab, keturunan ke-31 Nabi Muhammad. Datang ke Indonesia tahun 1820 bersama ayahnya Syekh Abdul Rahim. Sebagai pedagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Menginjakkan tanah Jawa pertama kali di Jogjakarta,”ujar Patah Tjipto Suwiryo mengawali ceritanya.

Nama aslinya hanya Umar, kemudian membaur dengan orang Jawa ditambahi Sutadrana. Lantas ia bersama ayahnya menjadi prajurit Mataram. Berjuang melawan penjajah Belanda di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Ketika Belanda berhasil memukul perlawanan Pangerang Diponegoro, prajuritnya kocar-kacir. Syekh Umar dan ayahnya lari ke Wonosobo. Bersembunyi di suatu tempat yang kini disebut Sudagaran. Hingga memiliki 6 anak dari istri yang berasal dari Jogja.

“Enam anaknya itu bernama Eyang Jami, Eyang Mangundrana, Noyodrono, Singodrono, Surodipo, dan Abdullah. Singodrono itu Eyang saya, sedangkan Abdullah menurunkan anak-anak yang kini berada di Singapura,”cerita pria beranak 7 itu dengan runtut.

Meskipun sudah lama bermukim di Sudagaran, ternyata tentara Belanda masih mencium jejaknya. Akhirnya diputuskan, untuk pindah ke pinggiran kota agar lebih aman. Dusun Kaligintung Desa Guntur Madu menjadi pilihan keluarga besar Syekh Umar untuk menetap. Hingga akhir hayatnya, dia tinggal di desa tersebut. Sementara anak keturunannya tersebar di berbagai kota sekaligus di Malaysia.

Makam Syekh Umar dikeramatkan oleh penduduk setempat. Karena memiliki keanehan-keanehan. Dikatakan Patah, sebelum dibangun, makam berada persis di bawah pohon wuru. Daunnya lebat. Anehnya, daun-daun kering itu tak pernah jatuh di atas pusaranya. Tetapi berada di pinggir-pinggir. Sehingga makam selalu bersih. Di atas makam terdapat jalan setapak. Kata Patah, kalau ada orang ingin lewat di jalan tersebut berpikir berulangkali. Pasalnya, seringkali terjadi keanehan. Mendadak muncul cahaya putih yang berasal dari pusara.

Ketika akan dibangun cungkup, Patah sangat berhati-hati. Sebab Syekh Umar sudah berpesan tidak ingin dibuat cungkup yang menutupi keseluruhan makam. Namun diizinkan untuk diperbaiki. “Sehingga makamnya tetap utuh seperti itu. Dua batu nisan kuna tidak diganti, begitu juga tanahnya. Tembok di sekeliling tidak tertutup rapat. Suasana makam cukup sejuk dan mendukung sekali untuk berdoa,”tandasnya.

Jangan sekali-sekali datang ke makam dengan niat berdoa untuk kemaksiatan atau keburukan. Peringatan itu disampaikan Patah Tjipto pada siapa saja yang hendak berziarah. Permohonan atau doa hanya untuk kebaikan, tidak lebih. Dikatakan pensiunan kepala sekolah SD Guntur Madu itu, pernah ada kejadian unik yang dialami peziarah.

Pengunjung dari Pati itu berziarah karena pikirannya sudah bumpet, terjerat hutang ratusan juta. Saat berdoa khusuk, dia merasa di depannya ada sekotak uang. Reflek ia ingin mengambilnya. Namun tak teraih, padahal berada tepat di depannya. Kejadian semacam itu, kata Patah hanya sebagai gambaran. Untuk meraih cita-cita perlu ada daya upaya. Tidak hanya dilakukan dengan doa, tapi diikuti oleh usaha.

Cerita lain adalah ketika peziarah dari Madiun diusir dari makam oleh penghuninya. Barangkali peziarah ini meminta hal-hal yang tidak diperkenankan. “Entah apa yang diminta. Ketika sedang tahlilan mendadak dia merasa di sampingnya muncul asap putih. Lama kelamaan menebal membentuk sosok pria bersurban putih. Lalu mengucapkan kata-kata ‘pulang’ sembari tangannya mengusir peziarah itu. Karuan, dia langsung meninggalkan makam,”ujarnya kepada Radar Semarang ketika berkunjung ke rumahnya di Guntur Madu beberapa waktu lalu.

Kejadian itu untuk memperingatkan para peziarah agar tidak memohon hal-hal yang neko-neko. Pernah pula, seorang peziarah diwajibkan membersihkan lingkungan makam karena ada tikus mati. Pada hari pertama datang, ada bangkai tikus. Terpaksa, pengunjung membersihkan. Beberapa saat tertidur, ketika bangun, kembali ditemukan bangkai tikus. Keanehan inilah yang membuat makam tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat.

Bagi mereka yang benar-benar ingin terkabul cita-citanya harus melewati serangkaian godaan. Saat berada di makam, akan muncul ular berjalan di dekatnya. Kemudian datang harimau menguji keberaniannya.

“Terakhir ada pocongan yang menghampiri lalu jatuh di pangkuannya. Apakah peziarah akan mampu menghadapi berbagai cobaan itu,”katanya setengah bertanya.

Makam Syekh Umar diresmikan pada awal tahun 1993. Ribuan masyarakat dari Palembang, Jakarta, Bandung datang. Tidak ketinggalan keturunannya dari Malaysia dan Singapura juga ikut menyaksikan. Makam diresmikan oleh Bupati Wonosobo yang waktu itu masih dijabat oleh Sumadi.

Tiap tahun peziarah dari Malaysia dan Singapura pasti datang. Semula hanya beberapa orang, kini rombongan sampai ratusan. Mereka berasal dari organisasi keagamaan Rufaqa dan Awariyun. Pernah pula bertandang Persatuan Islam dan Pencaksilat Singapura (Prepensis) pada tahun 1994.

Patah sendiri mengaku sering merasakan rindu bila 3 hari tak mengunjungi makam. Suasana yang sejuk, membuat hati tentram. Dan sangat mendukung kekhusukan dalam berdoa. Kehadiran para peziarah sedikit banyak berimbas positif pada perekonomian warga setempat. Sejumlah rumah di Dusun Kaligintung mayoritas tembok dan dibangun dengan bagus. 


http://way4x.wordpress.com/kyai-abdurahman-wahid/foto-%E2%80%93-foto-para-ulama/makam-syekh-umar-sutadrana-dikunjungi-peziarah-malaysia-dan-singapura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar