Selasa, 08 Oktober 2013

SYEIKH SHIRAJUL HUDA ( DATU SANGGUL )

Selalu Shalat Jum'at di Makkah
Beliau mempunyai banyak kelebihan. Selalu shalat Jum'at di Makkah, dan menjadi murid Nabi Khidhir
Syeikh Abdussamad sering membagi daging binatang rusa dan kijang kepada penduduk dusun Muning, Kalimantan Selatan, tempat tinggalnya. Daging itu diperoleh dengan cara menyumpit binatang tersebut yang lewat di bawah pohon tempat Beliau duduk ber-juntai setiap hari. Namun kebiasaan tersebut tidak dilakukan pada hari Jum'at, karena dia pergi ke Makkah untuk melakukan shalat Jum'at.
Pekerjaan menghadang dan mengintip binatang itu disebut menyanggul yang berasal dari kata sanggul. Inilah asal mula Syaikh Abdussamad diberi gelar Datu Sanggul, atau Datuk Sanggul.
Datu Sanggul, seperti dikutip dari Riwayat Datu Sanggul, saduran M. Zaini A.D., pada suatu hari diminta Nabi Khidhir As untuk mengantar Datu Daha ke Makkah. Datu Daha ingin shalat di sana. Datu Daha adalah anak angkat Nabi Khidhir setelah dia mengalami peristiwa yang luar biasa. Datu Sanggul menyanggupi permintaan itu, dengan syarat Datu Daha harus memegang dirinya erat-erat dengan mata tertutup sampai ada perintah membukanya.

Demikianlah, beberapa saat kemudian Datu Daha diizinkan membuka mata dan ternyata sudah tiba di Makkah. Mereka lalu ke masjid dan menjalankan shalat Jum'at.
Datu Daha kemudian minta kesediaan Datu Sanggul untuk mengantarkan lagi ke Makkah tapi kali itu untuk naik haji. Menanggapi permintaan itu Datu Sanggul minta agar Daha menunggu hari Jum'at. Setelah itu Beliau lenyap dari depan mata Datu Daha.

Diceburkan ke Laut
Datu Daha adalah orang yang pernah bertemu Nabi Khidhir ketlka dia dalam kondisi yang sangat letih setelah diceburkan oleh kapten kapal karena kapal layar yang mereka tumpangi menuju Tanah Suci tiba-tiba berhenti di tengah laut tanpa sebab yang jelas. Untuk mencari kejelasan itu, dengan bantuan paranormal, Datu Daha diceburkan ke dalam laut. "Si Fulan ini harus tinggal di tengah laut," kata si paranormal kepada kapten kapal setelah menghitung-hitung bayangan ghaib.
Begitu tubuh Datu Daha tercebur ke laut, kapal itu pun bergerak melaju seperti semula dan meninggalkan Datu Daha di tengah laut. Setelah 30 jam terombang-ambing di laut, akhirnya Datu Daha terdampar di pantai. Ketika hampir pingsan, Beliau berdoa kepada Allah SWT mohon keselamatan.
Kemudian Beliau berjalan menelusuri pantai hingga kelelahan dan jatuh pingsan.
Ketika siuman, dia melihat banyak makam sejauh mata memandang dalam keadaan rapi. Namun Beliau tidak melihat bangunan rumah. "Pasti kuburan ini ada yang mengurus," pikirnya. "Namun, siapa?"
Karena kelelahan, Beliau terduduk sambil menoleh kiri-kanan, hingga tampak olehnya sebuah gubuk. Dengan tertatih-tatih dia datangi gubuk itu dan di-dapatinya seorang lelaki tua sendirian di dalamnya.
"Assalamu'alaikum," ujarnya.
Kemudian terjadilah dialog di antara keduanya.
Singkat kata, orang tua itu adalah Nabi Khidhir, yang mengaku sebagai pengurus pemakaman tersebut, yaitu makam orang-orang yang mati tenggelam di laut, seperti yang dialami Datu Daha. Jawaban itu diberikan setelah Datu Daha menceritakan pengalamannya sendiri.
Mengetahui bahwa orang tua itu adalah Nabi Khidhir, Datu Daha menyatakan keinginannya untuk pergi haji.
"Kalau Ananda ingin menunaikan ibadah haji, besok aku ikutkan kepada Syaikh Abdussamad. Tiap hari Jum'at dia singgah kemari sebelum ke Makkah," jawab Nabi Khidhir.
Begitulah, Datu Daha akhirnya bertemu Datu Sanggul dan dibawa keMakkah.
Berbulan-bulan kemudian, Datu Daha bertemu para penumpang kapal layar yang ditumpangi dulu. Mereka heran mengetahui Daha telah tiba di Makkah lebih dulu daripada mereka. "Bukankah Anda dulu dilempar ke laut, kok bisa duluan sampai di Makkah? kata salah seorang di antara mereka, keheranan.
"Itu semua kehendak Allah," jawab Datu Daha. Namun dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Nabi Khidhir. Dalam keheranan itu, mereka akhirnya berkesimpulan bahwa kemungkinan Datu Daha adalah wali, bukan orang sembarangan.
Ketika ibadah haji selesai, Datu Daha pun diantar pulang oleh Datu Sanggul dengan cara yang sama. Namun dia di-turunkan di ujung kampung Daha, Borneo, tempat asal Datu Daha. "Dari sini Anda jalan ke rumah, supaya orang kampung melihat Anda sudah kembali dari Tanah Suci," pesan Datu Sanggul.
Begitulah, dalam sekejap mata, Datu Daha telah melihat kembali kampung-nya dan Datu Sanggul lenyap dari depannya.
Hari itu orang-orang kampung Daha terheran-heran melihat Datu Daha telah kembali. Mereka bertanya-tanya, tapi tidak dijawab oleh Daha. "Aku pulang atas kekuasaan, kodrat, dan iradat Allah. Aku tak kuasa menjelaskannya," kata Datu Daha.
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan itu, orang-orang kampung menunggu kembalinya para jamaah lainnya sesama penumpang kapal layar. Namun ternyata mereka juga menyatakan keheranannya.
Mereka menceritakan bahwa Datu Daha dibuang ke laut karena ada sesuatu yang aneh ketika kapal tiba-tiba terhenti di tengah laut. Namun ketika sampai di Jeddah, mereka heran meli¬hat Daha juga sudah ada di sana de¬ngan selamat. "Kami terkejut, apa ini benar Datu Daha, atau kami salah lihat," tutur mereka.
Begitu juga ketika ibadah haji selesai. Pada hari Jum'at sorenya dia sudah tidak ada lagi di Makkah, padahal menurut pengakuannya dia tiba pada hari Jum'at sebelum shalat Jum'at.
Cerita itu membuat warga kampung percaya bahwa Datu Daha memang naik haji dan dia adalah wali yang patut dihormati.

Dalam Balutan Asap Putih
Datu Sanggul, atau Syaikh Abdus-samad, atau Syaikh Ahmad Sirajul Huda,Beliau berguru kepada Datu Suban, seorang ulama besar yang ditemuinya dalam mimpi, yang tinggal di Kalimantan Selatan.
Setelah mendapat restu dari ibunya, dia berlayar ke Kalimantan melalui selat Bangka Belitong dan kota Banjarmasin hingga tiba di Kampung Muning, Pantai Munggu tayuh Tiwadak Gumpa Rantau Tapin, Kalimantan Selatan, pada tahun 1750 M.
Singkat cerita, Datu Sanggul menjadi murid kesayangan Datu Suban dan diberi sebuah kitab pusaka yang berbentuk segi delapan. Rupanya ketika' kitab itu diserahkan, itulah akhir hayat Datu Suban, karena tak lama kemudian dia wafat dalam balutan asap putih yang mengepul ke udara ketika tengah berjalan meninggalkan tempat upacara penyerahan kitab tersebut.
Setelah mengamalkan ilmu hakikat dan ilmu laduni dari gurunya itu, Datu Sanggul diberi kelebihan oleh Allah, seperti menceburkan diri ke air sungai dan berwudhu tapi badannya tidak basah kecuali yang wajib wudhu. Tiap hari Jum'at bersembahyang Jum'at di Mas-jidil Haram, Makkah.
Dia juga berteman dengan Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari ( Datu Kelampayan ) sejak tahun 1760, yang bertemu setiap shalat Jum'at di Makkah.
Syaikh Muhammad Arsyad ingin mempelajari kitab pusaka Datu Suban yang bersegi delapan. Namun Datu Sanggul meminjamkan hanya sebelah sehingga kitab itu berbetuk rencong dan disebut kitab Barencong, dengan catatan: bila ingin melanjutkan kajian dalam kitab itu, Maula Al-Banjari harus turun ke tanah Jawi dan menemuinya di Kampung Muning sambil membawa kain putih seukuran lima helai kain sarung.
Ternyata ketika tiba saatnya untuk mempelajari kitab itu, Syaikh Muhammad Arsyad Banjari tidak berhasil menemui Datu Sanggul di Kampung Muning, karena ia sudah wafat.
Teringat pada pesan agar memba¬wa kain putih berukuran lima kain sarung Syaikh Muhammad Arsyad pun menduga bahwa ketika itu agaknya Datu Sanggul sudah mendapat firasat dari Allah akan meninggal bila belahan kitab Barencong itu diserahkan.

Sumber: Al Kisah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar