Rabu, 30 Oktober 2013

Habib Muhammad Ridho bin Ahmad Bin Yahya

Teladani Kehidupan Kaum Salaf
Bicara dengan tokoh muda habaib yang kritis ini, banyak hal baru yang kita dapati, terutama pandangan-pandangan berkaitan dengan isu isu hangat yang menyangkut kehidupan kaum muslimin di tanah air.
Suatu pagi di hari Sabtu (2/3/2013), alKisah mendapat kesempatan untuk mewawancarai ulama muda jebolan Rubath Al-Jufri Madinah ini di kediamannya yang terbilang asri dan luas di bilangan Klender, Jakarta Timur. Habib Muhammad Ridho bin Ahmad bin Yahya lahir di Jakarta, 29 Desember 1973. Ayahnya Habib Ahmad bin Muhsin bin Adbullah bin Ibrahim bin Zein bin Yahya. Datuknya, Habib Ibrahim bin Zein, adalah kakeknya yang pertama kali datang dari Hadhramaut ke Indonesia. Ia berlabuh di Palembang dan menjadi guru dan penasehat agama bagi Sultan Badaruddin I. Kemudian Habib Ibrahim bin Zein diambil menjadi menantu oleh sang sultan Kesultanan Palembang Darussalam.

Sedangkan ibunya Syarifah Ruqayyah adalah putri Habib Muhammad Al Attas, seorang wulaiti (kelahiran Hadhramaut) yang menikahi perempuan pribumi asal Betawi, Kebon Nanas, Kebayoran Lama. Kakek ummi ini kemudian sempat kembali ke Hadhramaut untuk suatu urusan, namun wafat disana sebelum kembali ke Indonesia.

Habib Ridho menempuh pendidikan dasarnya di sebuah pesantren hingga tingkat Tsanawiyyah. Kemudian ia melanjutkan studinya ke Madrasah Aliyah Negeri I Mampang Prapatan. Sambil menempuh sekolah formal, ia juga menempuh pendidikan di Madrasah Ats-Tsaqafah, pimpinan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, di Bukit Duri. Tidak itu saja, kemana Sayyidil Walid mengajar, ia usahakan untuk mengikuti pelajarannya, baik di madrasah maupun majelis majelis yang dibina ulama kebanggaan kaum muslim Jakarta ini.

Sekitar tahun 1993, ia berangkat ke Madinah untuk belajar di Rubath Al-Jufri, yang diasuh oleh Al-Allamah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith. Ia belajar di Rubath yang banyak diimpi impikan para pelajar Nusantara itu hingga tahun 2000. Kegemarannya terhadap pelajaran ilmu fiqih seperti terpuaskan dengan diajar Habib Zein bin Smith, yang dijuluki para ulama dengan sebutan “Syafi’iyyu Zamanihi” (Imam Syafi’i di Masanya). Disana pula ia banyak mengenal sosok sosok ulama besar habaib lainnya, seperti Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri dan Habib Muhammad Al Haddar, mertua Habib Zein dan Habib Umar bin Hafidz.

Satu hal yang sangat dipegannya sebagai prinsip dalam belajar di awal-awal kedatangannya di rubath tersebut ialah, selama belajar di rubath ia tak akan berbicara dalam bahasa lain kecuali bahasa Arab. Prinsip lain yang ditanamkan nya ialah target khatam satu kitab dalam beberapa bulan, baik dengan muthala’ah dihadapan guru maupun dengan sesama santri yang lebih senior darinya. Target nya, ia harus menguasai kitab itu dan mampu mengajarkannya kepada yang lain.

Setelah empat tahun di Rubath, Habib Ridho meminta izin kepada Habib Zein untuk istifadah (mengambil faidah ilmu) kepada ulama ulama Madinah lainnya.  Ulama ulama Madinah banyak dikenal mutafannin (kealimannya dalam suatu bidang tertentu).

Di antara mereka itu ialah Syaikh Sayyid Ahmadu Asy-Syinqithi Al-Hasani, yang Habib Zein juga mengambil ilmu darinnya. Syaikh Ahmadu adalah salah satu tokoh ulama senior di Madinah. Usia nya sedikit lebih tua dari Habib Zein. Sekalipun Habib Zein juga seorang yang dikenal kepakarannya, beliau tak segan-segan untuk mendulang ilmu dari ulama-ulama lainnya. “Demikian akhlaq yang juga dicontohkan guru kami , Habib Zein, yang juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmadu, padahal keduanya sama sama dikenal kealiman dan kepakarannya,’’ kata Habib Ridho. Habib Zein dalam bertutur penuh mutiara hikmah. Namun yang lebih berkesan baginya bagaimana tutur itu tampak dalam setiap perbuatan Habib Zein. Tindak tanduk beliau itu adalah cara mendidik beliau.
Selain itu, Habib Ridho juga belajar kepada Syaikh Muhammad Faal, yang belum lama ini meninggal dunia. “Kepada beliau ini, ana mengaji kitab kitab tafsir ushul fiqh Al-Luma’ dan Al-Muwafaqat. Semoga Allah ta’ala merahmati beliau’’. Ujarnya mengenang sosok sang guru. Begitu pula ia mengaji kepada Syaikh Shafwan Ad-Dawudi, yang banyak menulis dan mentahqiq kitab. Syaikh Shafwan diantaranya menulis kitab tentang ushul fiqh, mufradat (kosa kata) Al-Quran, dan manaqib para sahabat dan tabi’in. kepadanya, habib  muda yang tengah menanti kelahiran anak yang ketujuh ini mengaji ushul fiqih, tajwid, ulumul Qur’an, hadits, dan lain lain.

Adapun di rubath sendiri pendidikan nya langsung ditangani oleh Habib Zein, dengan mengkaji kitab kitab fiqh, nahwu, balaghah, hadits dan sebagainya, dari kitab kitab yang kecil hingga besar. Rubath Al-Jufri memang menekankan kualitas dan disiplin ilmu pengetahuan nahwu, fiqh, dan sirah. Dalam sehari materi fiqih lebih dominan diajarkan , bisa empat sampai lima kali pertemuan.

Habib Zein juga menerapkan sistem pendidikan sehari belajar-sehari ikhtibar  (ujian). Pada seminggu sekali juga diadakan ujian nahwu, fiqih dan sirah. Kalau sudah masuk ujian mingguan itu, semua santri tenggelam dalam muraja’ah (mengulang-ulang materi pelajaran). Kegiatan seperti  muhadharah (latihan pidato) setiap malam jum’at juga diadakan bagi santri rubath. Pada malam Rabu rutin dibacakan kitab Shahih Al-Bukhari, yang dilanjutkan dengan kegiatan bercerita ramah.

Kira kira beberapa tahun sebelum dirinya usai belajar disana, kegiatan muhadharah dan ceramah diganti materinya. Dulu biasanya  ceramah agama umum, kemudian diganti  menjadi ceramah yang mengulas kitab, seperti materi materi fiqih dalam Safinah, Zubad, dan lainnya. Ceramah ini tak memegang bahan, tetapi harus dengan kekuatan hafalan dan luasnya pengertian atas matan kitab yang diulas. Tujuannya sudah tentu agar santri Rubath Al-Jufri  terasah pengetahuannya dengan mendalam.

Bersama sejumlah jebolan Rubath Al-Jufri , ia juga membangun sebuah komunitas alumni yang dinamai “Alumni Thaiba” (Keluarga Madinah). Tapi nama itu juga bisa menjadi singkatan “Alumni Thalabah Madinah”.

Membangun Al-Fath
Sepulangnya dari belajar di Rubath Al-Jufri selama kurang lebih tujuh tahun, Habib Ridho langsung terjun ke masyarakat. Ia berupaya agar dapat mengaplikasikan pengetahuannya ditengah umat. Ia mengasuh sebuah majelis rutin mingguan, yakni sebuah kegiatan pengajian khatam Al-Quran. Ia juga melakukan pengkaderan beberapa orang santri , mereka kemudian mengajak jama’ah lainnya untuk bergabung dalam majelis tersebut. “Ana mencontoh kebiasaan di rubath dulu, yang setiap Kamis ba’da subuh ada halaqah membaca Al-Quran dengan membagikan juz juz kepada santri-santri. Biasanya, dalam tempo beberapa pekan kemudian, halaqah itu berkumpul lagi untuk membaca doa khatam  Al-Quran. Nah, ana aplikasikan tradisi di rubath itu disini, dengan membagikan satu atau dua juz kepada jama’ah. Lalu pada beberapa waktu kemudian setelah dikhatamkan kami berkumpul lagi untuk menggelar majelis doa khatam Al Quran”, katanya.

Sambil mengisi berbagai ta’lim tersebut, Habib Ridho melanjutkan studinya ke Institud Agama Islam Al-Aqidah, hingga selesai dan menyandang gelar S.Pd.I. Suatu ketika, enam atau tujuh tahun yang lalu, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, guru seniornya di Rubath Al-Jufri Madinah, berkunjung ke Jakarta. Kesempatannya untuk bertemu sang guru berbuah suatu amanah untuk mengasuh majelis yang namanya diberi langsung oleh Habib Salim Asy-Syatihiri, yakni “Majelis Al-Fath”, yang diambil dari nama masjid Al-Imam Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad di Al-Hawi, Tarim.

Sistem dakwah yang ditekankan Majelis Al-Fath adalah melakukan pembinaan dan pengkaderan , baik di pusat maupun cabang cabang majelis, seperti di Menteng, Pasar Rumput,  Klender, Pulo Gebang, Cipulir, Rawabelong. Di masing-masing cabang iu, kader kader yang telah senior dalam didikan Habib Ridho ditugasi untuk menjadi pemimpin majelis sekaligus manager yang mengatur kegiatan kegiatan dakwah, pendidikan, dan pengajaran agama. Cita cita sebahagian majelis asuhannya ini terwujud dengan berdirinya lembaga pendidikan seperti  TPA, PAUD, dan Madrasah Diniyyah. Bahkan target kedepan juga muncul lembaga seperti pesantren, yang diharapkan ada disetiap kelurahan. Adapun kurikulum nya digodok dengan meng-input materi materi yang didapati dari Rubath Al-Jufri dengan mengkondisikannya sesuai lingkungan dan keadaan setempat.

Intinya, bagaimana dakwah ini tidak sebatas ajang tabligh, tapi juga benar benar peran nyatanya terasa bagi masyarakat sekitar, apalagi di tengah ancaman derasnya budaya asing yang tak mendidik dan tak terkendali, seperti yang tampak dewasa ini. “Ini memang bukan kerja individu atau mengandalkan sosok  pribadi, tapi ini jadi tanggung jawab semua pihak yang punya kepedulian,” demikian pandangan habib yang senang mengoleksi kitab ini.

Program jangka panjang majelis yang diasuhnya ialah membangun sebuah Islamic  Centre lengkap dengan segala aktivitas dan sarana prasarananya. Alhamdulillah usaha usaha ini sudah mulai dirintis di kediamannya di Klender dengan  membina sejumlah santri putra sejak tiga tahun lalu. Habib Ridho juga tengah merintis pembangunan pesantren yang lebih permanen diatas lahan seluas satu hektar di daerah Citeureup, Kabupaten Bogor.

Cita cita lainnya yang juga tak kalah luhur adalah membentuk tim pengajar agama dan pendakwah di kalangan terpelajar di perkantoran perkantoran dan pabrik pabrik di ibu kota dan sekitarnya. “Dakwah kita selama ini kan umumnya terfokus di masjid, mushalla dan majelis ta’lim. Ini sesuatu yang memang sangat baik, sudah umum, dan lumrah. Namun kita juga ingin menyasar ke kaum urban berpendidikan itu, lantaran kita selama ini dakwah dan perngajaran kita jarang yang masuk kekalangan itu”, ujarnya penuh semangat.

Ajak Mereka…
Habib Ridho menengarai, merebaknya masalah ditengah umat dewasa ini  cukup memprihatinkan, dan ini tak lepas dari tipu daya musuh musuh islam. Umpamanya tentang fenomena kelompok Wahabi. Dakwah mereka merebak ditengah kaum terpelajar, mahasiswa dan pekerja perkantoran. Dalam dakwahnya mereka menyertakan permusuhan dan kebencian dengan hujatan atas dakwah kita. Melihat hal ini, Habib Ridho menjelaskan perlunya sinergi dakwah yang disesuaikan dengan dosis pengetahuan di masyarakat.

Masyarakat itu punya standar pengetahuan yang berbeda beda. Ajak mereka melihat amar ma’ruf nahi munkar , isi dengan pengetahuan pengetahuan agama disertai hujjah dan jawaban atas tuduhan sesat wahabi itu dengan ilmu bukan dengan emosi. Peran kita untuk menjawab semua tuduhan itu adalah merangkul mereka  dengan dakwah ilallah dan dakwah yang bermuatan ilmu. “Seperti kita tahu, dalil dalil yang dituduhkan mereka kepada sikap keberagamaan kita ini sangat rentan , kaku, dan dangkal. Kita, Ahlussunnah, tidak kurang dalil. Dalil kita ini sangat penuh dan banyak,” katanya.

Alhamdulillah, bersama beberapa kawan yang aktif dalam dakwah, ia kini membangun sinergi dengan visi dan misi yang sama, seperti denga Habib Muhammad Ahmad Fad’aq, yang aktif menulis. Habib Muhammad Fad’aq diantaranya menulis kitab menangkis tuduhan bid’ahnya peringatan maulid, sebagaimana pernah diulas alKisah beberapa waktu lalu.

“Wahabi dari tahun 1900-an awal sudah ada, tapi ‘jualan-nya nggak laku. Di Madinah dan Makkah dari dulu banyak ulama kita yang jebolan sana. sedikitpun tak ada diantara kelompok Wahabi yang berani menghujat dakwah dan ta’lim ulama ulama kita, karena mereka sadar siap yang mereka hadapi. Mereka tek berani mengusung paham mereka dengan klaim ingin memurnikan ajaran agama dari hal hal yang mereka tuduhkan saat ini sebagaimana yang kita maklumi bersama . lihat saja, disana ada Syaikh Nawawi Banten, Habib Utsman bin Yahya, dan masih banyak lagi hingga yang terakhir ada Syaikh Yasin Al-Fadani, dan ada K.H. Hasbiyallah, ulama Betawi di kampung ini yang pernah mengenyam pendidikan disana. Ulama ulama kita dimasa itu banyak yang bermukim untuk mengajar disana. Kelompok itu tak berani untuk berdebat dan melempar tuduhan ini itu seperti yang ramai sekarang ini. Ini jadi tandanya apa? Fenomena apa?” katanya penuh perhatian.

Fenomena Wahabi yang berkembang dalam beberapa tahun belakangan ini, menurutnya, memang sengaja dan cenderung diciptakan untuk memecah belah umat Islam, dan disana ada penyokong dananya, yang diambil keuntungan dengan perselisihan ini.

Berikutnya juga ada kecenderungan kaum Allamadzhabiyyah (anti madzhab), yang dengan konsepnya menyamaratakan yang keliru dan yang benar, menolak pandangan pandangan fiqih dan madzhab, bahkan menganggap bahwa era madzhab telah usang. “Mereka sendiri ingin membangun sebuah pemahaman baru, dengan fatwa fatwa yang lepas dari acuan yang dibakukan salaf. Seakan akan kedudukan mereka seperti para imam madzhab. Padahal mereka hidup dengan pemikiran yang telah terkontaminasi. Sedangkan para imam madzhab itu adalah generasi yang paling dekat dengan masa Nabi Muhammad saw dan yang dipuji beliau…,” katanya.

Jangan Cuma Nilai

Salah satu kritik yang dilontarkan Habib Ridho tentang kondisi pendidikan kita adalah mindset lebih menekankan output nya pada angka, nilai, bukan sikap pekerti (Suluk dan akhlaq). Orang orang dulu punya adab di hadapan orang tua, guru, saudara yang lebih tua, karena mereka diajarkan seperti itu. Dan guru juga mencontohkan bukan semata dengan kata kata, tapi juga sikap. Ketika belajar tentang zuhud, umpamanya, gurunya juga orang yang mencontohkan sikap zuhud itu. Tapi sekarang orang lebih mengejar nilai. Bukan kebiasaan atau kemahiran , apalagi aplikasi dalam kehidupan.

Sistem belajar orang orang dulu jauh lebih bagus . ketika murid duduk bersama gurunya dalam halaqah, mereka menyimak setiap perkataan guru dan terjalin hubungan ruhani dengan gurunya hingga diluar kelas (halaqah). Maka terbangunlah tarbiyyah ruh (pendidikan ruhani) di dalam lingkungannya. Guru benar benar menjadi teladan dalam aktivitas murid.

Masih  menurut Habib  Ridho, pola pikir yang tepat adalah pola pikir yang sebagaimana diajarkan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam , sedangkan kita kini dihadapkan pada pola pikir Barat, yang materialistis. Inilah perang ideology, yang sering luput dari perhatian kita semua. Maka dari itu, mencari ilmu dan wawasan boleh boleh saja dimasa kini yang serba mudah diakses, tapi carilah ilmu dan wawasan yang menambah manfaat buat bekal di akhirat kelak.

Mengakhiri perbincangan pagi itu, Habib Ridho berpesan , mengutip nasihat Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad, “Lazimkanlah Al Quran, ikutilah sunnah, dan ambillah teladan kaum salaf, sehingga hidayah Allah Ta’ala senantiasa mengiringi…”


Sumber : Majalah alKisah no.06/Maret2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar