Senin, 14 Oktober 2013

Habib Alwi bin Abdullah Alaydrus

Ikhlas sebagai Tujuan…
"Memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara." Di sela-sela kepadatan jadwal kunjungan dakwahnya di Indonesia, tokoh muda yang menjadi salah satu sayap dakwah Habib Umar Bin Hafidz, yang menjadi figur kita kali ini, menyempatkan diri bertandang ke kantor alKisah. Dialah Habib Alwi bin Abdullah bin Husein Alaydrus.

Ditemani Habib Hamid Al-Qadri, Habib Alwi berbagi cerita. Meskipun tak banyak yang bisa dikisahkannya, karena sempit dan terbatasnya waktu, tatap muka singkat itu sudah dapat melukiskan secara utuh kedalaman ilmu dan wawasan pemikirannya meski di usianya yang masih sangat muda.    

Habib Alwi lahir di Bandar Syihir pada tahun 1979 M/1399 H. Pertama kali belajar ilmu syari’at ia dapatkan dari masjid ke masjid. Ia belajar Al-Quran dari Sayyid Salim bin Sa`id Bada`ud. Selain belajar Al-Quran, ia juga sudah menghafal secara intens beberapa matan penting dalam khazanah keilmuan syari’ah, di antaranya matan kitab wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww, karya Syaikh Ibnu Ruslan, dan Aqidah Al-`Awam, karya Syaikh Ahmad Marzuqi. Pada kala itu ia baru menginjak usia kurang dari tujuh tahun.

Setelah itu ia terus menggeluti ilmu-ilmu syari’ah dan banyak menerima ijazah dari guru-guru besar Hadramaut, di antaranya Syaikh Abdul Karim bin Abdul Qadir Al-Mallah, mufti Syihir, Sayyid Ali Masyhur bin Muhammad Bin Hafizh, mufti Tarim, dan Syaikh Salim bin Khamis Al-Habli, ulama besar yang menjadi rujukan banyak ahli ilmu. Dari dan kepada mereka Habib Alwi membaca, antara lain, kitab Al-Yaqut An-Nafis, karya Sayyid Ahmad bin Umar Asy-Syathiri Al-Husaini, dan kitab Tanwir Al-Qulub fi Mu`amalah `Allam Al-Ghuyub, karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi.

Setelah Habib Umar Bin Hafidz mendirikan Darul Musthafa pada tahun 1417 H/1996 M, barulah Habib Alwi mengambil silsilah keilmuan dari Habib Umar Bin Hafizh dan ulama-ulama terkemuka lainnya yang ikut terlibat di Darul Musthafa.

Selain menyelami ilmu di Darul Musthafa, Habib Alwi juga telah menamatkan studi formal strata satunya dari Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hadhramaut, Fakultas Tarbiyah, tahun 2002.
Saat ini, dalam usianya yang masih sangat muda, Habib Alwi dipercaya mengemban jabatan ketua Divisi Halaqah dan Kajian Ilmu Darul Musthafa, yang membawahkan semua halaqah keilmuan yang berpusat di masjid-masjid, baik di dalam maupun di luar Hadhramaut, yang berada di bawah payung Darul Mushthafa.

Yang menarik, dalam setiap halaqah yang diadakan di masjid-masjid tersebut terdapat metodologi dan kurikulum tersendiri dengan materi kitab-kitabnya. Di antara kitab-kitab yang menjadi materi pokoknya adalah kitab Risalah Al-Jami’ah, Safinah An-Najah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah, Matn Abi Syuja’, Al-Yakut An-Nafis, Umdah As-Salikin, Aqidah Al-`Awam, Al-`Aqidah (karya Imam Haddad), Durus At-Tauhid, Jauhar At-Tawhid, Al-Ajurumiyah, Mutammimah Al-Ajurumiyah, Qatr An-Nada, Mukhtar Al-Ahadits, Al- Arba’in An-Nawawiyyah, Nur Al-Iman, Mukhtar Riyad Ash-Shalihin.

Masa belajar pada halaqah-halaqah tersebut selama dua belas tahun, tiap-tiap tingkatan mamakan waktu selama satu tahun. Selain itu, pada halaqah-halaqah yang ada diterapkan pula ujian-ujian secara berkala berdasarkan kurikulum yang ada.

Satu hal lagi yang perlu ditiru, semua kegiatan pembelajaran yang padat dan berbobot tersebut sama sekali tidak dipungut biaya. Bahkan, "Habib Umar Bin Hafidz bila memberikan ceramah atau taushiyah di suatu tempat hanya diberi kopi," ujar Habib Ubaidillah Al-Habsyi, salah satu alumnus Darul Musthafa yang turut hadir di alKisah pada saat itu, menceritakan pengalamannya selama berada di Hadhramaut. Demikianlah contoh yang diberikan oleh Habib Umar dalam mendidik umat dan mengajak mereka ke jalan Allah. Bilapun ada peserta halaqah yang memberi infaq, itu pun hanya beberapa dan sangat kecil nilainya, sekitar 50 sampai 100 ribu.

"Dengan keikhlasan, kegiatan semacam itu akan terus dilaksanakan, baik ada dana maupun tidak. Karena, memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara," kata Habib Alwi.
Selain sebagai ketua Halaqah Ilmu Darul Musthafa, ia juga aktif sebagai salah satu ketua forum kajian keilmuan syari’ah di kota Syihir. Dan meski kesibukannya sangat padat dalam dakwah dan keilmuan, Habib Alwi termasuk tokoh muda yang sangat produktif menulis karya-karya yang dibutuhkan umat. Di antara yang sudah ditulisnya adalah kitab Syarh Al-Warif `ala Al-Mukhtashar Al-Lathif, yang merupakan syarah atas kitab yang lebih dikenal dengan nama Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal, Irsyad Al-Anam ila Ahkam As-Salam, Risalah At-Tilifun wa Ahkamuh, Ad-Dalail Al-Wudhuh fi Qunut Ash-Shubh, Al-Hamzah fi Sharf, Syarh Al-Qawl Al-Mubin fi Tajhiz Amwat Al-Muslimin.

Ada satu pengalaman ruhani yang sangat menarik bagi Habib Alwi, sebagaimana penuturan Habib Hamid Alqadri menukil dari keterangan Habib Alwi. Habib Alwi menceritakan, tatkala menulis kitabnya yang berjudul Al-Manhal Al-Warif, yang merupakan syarah atas kitab Al-Mukhtashar Al-Latif, ia mendapat banyak kritikan dari beberapa orang yang menganggap bahwa mengarang kitab seperti itu hanya membuang energi, sebab kitab-kitab semacam itu telah banyak ditulis oleh orang lain.

Kata-kata itu spontan membuatnya patah semangat, dan ia pun membiarkan kertas-kertas yang berisikan tulisan kitab Al-Manhal Al-Warif tersebut berserakan begitu saja, yang waktu itu masih belum rampung. Dalam keadaan sedih dan bingung itu, Habib Alwi merebahkan diri di antara lembaran-lembaran kertas tersebut hingga akhirnya terlelap.

Dalam kondisi seperti itu, Habib Alwi bermimpi. Ia mendengar telepon berdering dan ia pun segera mengangkatnya dan menanyakan siapa yang menelepon.
"Siapa Anda?"

"Umar Bin Hafidz! Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis itu, ayo baca! Saya ingin mendengarnya.”

Kontan kejadian itu membuatnya bingung dan ia segera mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan tadi.

Sementara ia masih dalam kondisi bingung, tiba-tiba telepon berdering kembali dan Habib Alwi mengangkatnya kembali.
"Siapa Anda?”

"Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal (pengarang kitab Al-Mukhtashar). Coba engkau baca kitabmu itu!"
Habib Alwi semakin bingung, dan telepon kembali berdering.

Setelah telepon diangkat dan ditanyakan, penelpon itu menjawab bahwa ia adalah Muhammad bin Idris Asyafi`i (Imam Syafii). Imam Syafi`i juga meminta hal yang sama.

Kepanikan Habib Alwi semakin bertambah tatkala untuk kesekian kalinya telepon berdering. Seperti sebelumnya ia pun mengangkat telepon tersebut dan bertanya, "Anda siapa?"

"Kakekmu, Muhammad SAW. Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis, ayo baca! Aku ingin mendengarnya."

Seketika Habib Alwi terbangun dan menata kembali lembaran-lembaran yang tadinya berserakan.
Keesokan harinya Habib Alwi berjumpa salah seorang shalih yang tinggal di Syihir. Dengan tanpa diduga-duga, orang itu menegor dirinya.

"Alwi, kenapa engkau menunggu sampai Nabi menegurmu dalam melanjutkan karanganmu itu?"
Habib Alwi sangat kaget dengan pernyataan orang itu, sebab mimpi yang dialaminya malam itu tidak diceritakan pada siapa pun.

Maka setelah kejadian itu, semangat Habib Alwi kembali bangkit untuk merampungkan kitab tersebut.
Setelah penulisan kitab itu selesai dan ia pindah ke kota Tarim, ia bertemu Habib Salim Asy-Syathiri. Ia pun memperlihatkan hasil karyanya itu kepada Habib Salim. Dalam perbincangan itu, ia ceritakan mimpi yang pernah dialaminya.

Mendengar semua itu, Habib Salim menganjurkan agar mimpi itu juga dituliskan pada pembukaan kitab tersebut. Namun, saran itu belum bisa ia lakukan karena beberapa hal.
Selama kurang lebih 17 hari berkunjung di Indonesia, Habib Alwi mengadakan safari dakwah di beberapa kota besar di Indonesia. Di Jakarta, Habib Alwi mengikuti semua majelis yang dikunjungi Habib Umar Bin Hafidz, di samping menghadiri halaqah yang diadakan dan diprakarsai oleh Telkom Pusat di Jln. Gatot Subroto. Di Situbondo, Habib Alwi menjadi pembicara pada seminar “Aqidah Ahlussunnah” yang diselenggarakan Universitas Al-Ibrahimi, dilanjutkan dengan pertemuan di Masjid Awwabin, Bondowoso. Setelah itu ia menghadiri haul Imam Faqih Muqaddam, Muhammad bin Ali Al-Husaini, di majelis Tarekat Alawiyyah Naqsyabandiyyah wa Muhsiniyyah, Bondowoso, pimpinan Habib Haidarah bin Muhsin Al-Hinduan, alumnus angkatan pertama Darul Musthafa. Kemudian Habib Alwi melanjutkan safari dakwahnya ke Banjarmasin, Palangkaraya, Sampit, dan Pangkalan Bun dalam rangka menghadiri Haul Imam Faqih Muqaddam.

Setelah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya ke Ketapang dan Pontianak untuk mengikuti haul Imam Al-Muhajir, Ahmad bin Isa Al-Husaini.

Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Habib Alwi mendapat undangan untuk menjadi narasumber program dakwah di stasiun TV Banjar.

Dalam dakwah, Habib Alwi memiliki pandangan yang tidak berbeda dengan pendahulu dan salah satu guru utamanya, Habib Umar Bin Hafidz. At-Tawassuth, moderat, dalam dakwah adalah jalan paling utama menurutnya dalam meniti jalur dakwah, mengajak manusia ke jalan Allah.

Menurut Habib Alwi, tidak seorang pun diperkenankan oleh syari’at untuk memaksakan seseorang untuk melazimi hukum syari’at, kecuali seorang hakim yang secara sah diangkat oleh pemerintah. Karena, bila setiap orang merasa berhak untuk memaksa orang lain, pastilah setiap orang akan merasa berhak menghakimi orang lain tatkala orang lain itu berbeda pandangan dengan pemikirannya. Bila hal ini terjadi, bukan amar ma`ruf nahi munkar yang diperintahkan syari’at yang ada, melainkan amar wan nahyu bil munkar, memerintah dan melarang yang dilakukan dengan jalan kemunkaran, itu yang terjadi. Dan itu jelas dilarang oleh syari’at.

Wallahu`alam bish-shawab.


Diposkan oleh Majlis Arrahman



Tidak ada komentar:

Posting Komentar